Saya setuju saat beberapa kawan menyebut saya hanya bisa
‘bicara’. Itu, judul di atas sebagai pembuktian. Saya tak bisa bicara
kepemimpinan, hanya sebatas ‘tentang’. Seseorang bisa jadi sangat pandai bicara
tentang sepak bola, tapi belum pasti ia semahir CR 7 atau Beckham. Seseorang boleh
jadi sangat lancar bicara tentang berenang, tapi belum pasti ia mampu melampaui
kolam renang dengan berbagai gaya – sebelum ia tenggelam. Untuk mengetahui
Jepang, atau bulan, seseorang tak harus ke sana : kata peribahasa. Tapi tentang
paham, rasa – yang tak pernah bohong, mereka yang merasakan bagaimana menjadi
pemimpin pasti paham : apa itu pemimpin, kepemimpinan, memimpin, atau sebatas memimpiin.
Sejarah kepemimpinan barangkali dimulai saat Adam diminta
kesetiaannya pada Tuhan. Walaqod ‘ahadna
ilaa adama minqoblu fanasiya walam
najidlahu ‘azma, Tuhan telah berpesan agar dia belajar memimpin diri
sendiri, membedakan mana dirinya, malaikat, iblis, atau minal jinnati wannas. Tapi dalam dirinya – Adam, tak didapati
kemauan / kesungguhan yang kuat. Maka ‘jatuhlah’ ia.
Kemudian Nuh, Nabi yang sederhana ini, meski diejek lebih
dulu daripada Nabi-Nabi setelahnya, mampu membawa beberapa umat yang masih taat
padanya. Sedangkan orang-orang yang tak mau dipimpinnya – dengan wahyu ilahi,
berkata : ma narroka illa basyar. Mengapa
orang-orang kaya, besar, harus percaya pada seorang manusia biasa? Mereka –
orang-orang kaya – tak melihat apa-apa selain pengikut (orang-orang yang
dipimpin Nuh) adalah orang-orang hina, miskin, lemah.
Apa hubungannya orang-orang kaya/miskin dengan kepemimpinan?
Nuh adalah satu pelajaran penting sejarah umat manusia. Suatu
saat akan ada pemimpin – yang mungkin saat ini masih dirahasiakan Tuhan – yang akan
membuat ‘kapal’ untuk orang-orang hina dan miskin. Mengapa kapal? Mengapa bencana
banjir besar? Pemimpin dengan ‘hak paten’ Nuh akan muncul ketika bumi memang
harus ‘dihidupkan’ kembali – karena telah begitu rusak. Orang-orang kaya tak
peduli sesama, namun mereka semakin dipuja. Sedangkan orang miskin, seakan
nyawanya pun tak berharga. Demikianlah ‘ketidakadilan’ jaman. Mereka yang kaya
dipuja, yang miskin selalu identik dengan kehinaan. Sangat mungkin, seorang
pemimpin sekaliber para nabi tidak terlahir dari organisasi, forum, komunitas,
golongan. Manusia memang hewan berakal, namun sebinatang-binatangnya manusia,
dia bukan binatang, meski dapat lebih hina daripada binatang : Kal an’am bal hum adlolu sabiyla. Dan para
nabi, mereka pernah ‘berorganisasi’ dengan binatang ternak, makhluk yang pada
umumnya lebih susah daripada manusia. Dari padang ‘ternak’-lah kemungkinan
seorang pemimpin kopian para nabi
akan muncul : sang satrio piningit.
Yunus, dia agaknya harus menanggung malu karena
kemarahannya. Mengapa? Agaknya ia lupa, bahwa manusia memang kal an’am, namun seperti Adam, ia lupa. Beruntung,
Yunus ‘hanya’ 40 hari saja dihukum dalam penjara perut ikan, tidak seperti Adam
yang bertahun-tahun mencari Siti Hawa hingga akhirnya bertemu di bawah kaki
Jabal Rahman : Gunung Cinta bagi Adam dan Hawa.
Bagaimana dengan rasulullah, Muhammad shalallohu ‘alaihi
wassalam? Silakan cari sendiri, saya hanya akan sedikit berbagai candaan
rasulullah : seorang pemimpin yang sempurna dan menyukai humor.
Suatu saat ketika sedang berkumpul dengan para sahabat ia
bertemu dengan istri seorang sahabat yang baru saja pergi. Beliau berkata –
candaan beliau untuk menambahkan kemesraan mereka, “Susul suamimu, saya melihat
ketika ia berdiri dari majlis ini, di matanya ada putih-putihnya,” istri
sahabat tersebut tersentak, mengira suaminya terkena penyakit atau apa. Ketika sang
suami ditemui, ia – sang suami, berkata, “Di mataku memang ada putih-putihnya,
tapi bukan karena sakit,” Kalau bahasa anak muda sekarang : Emangnya mata saya
mata biji salak? Yang namanya mata ya ada putih-putihnya lah! (hehe)
Suatu saat beliau bersama Umar mengantar seorang sahabat
yang sedang sakit mata. Sahabat tersebut memakan kurma di belakang rasulullah. Umar
bercanda, “Lihat wahai rasul, dia lagi sakit, tapi kok makan kurma?”
Rasulullah pun menanyakannya pada sang sahabat, “Kamu lagi
sakit kok makan kurma?”
Jawab sahabat, “Ya rasul, yang sakit bukan gigi saya, tapi
mata saya,”
Ada lagi, ketika seorang nenek-nenek mendatangi beliau dan
bertanya, “Ya rasulullah, aku telah beribadah dengan tekun seumur hidup. Apakah
aku akan masuk surga?”
Jawab rasul, “Tidak. Nenek-nenek tidak masuk surga,”
menangislah nenek-nenek itu.
Rasul melanjutkan, “Wa’indahum
qoshirotuthorfi atroba. Di surga,
engkau akan menjadi muda lagi, nek,” bayangkan bagaimana perasaan nenek-nenek
itu.
Atau ketika rasulullah diminta pertolongannya untuk
melindungi seseorang yang akan dibunuh.
“Ya Muhammad, lindungi aku. Aku akan dibunuh,” kata seorang
badui.
“Masuklah, sembunyi di dalam,” setelah ia bersembunyi,
rasulullah berpindah tempat duduk.
“Ya Muhammad! Apa kau lihat si fulan (orang yang sedang
dicari)?” tanya seseorang yang akan membunuh.
“Demi Allah yang
jiwaku ada dalam genggaman-Nya, semenjak saya ‘duduk di sini’, saya belum
melihat orang itu,”
Demikianlah, saya hanya bisa bicara tentang kepemimpinan, karena saya bukan seorang pemimpin – kecuali untuk
diri saya sendiri. Saya semacam manusia pelanggar limataquluna ma la taf’alun. Manusia yang hanya bisa bicara, tanpa
merasakannya : menjadi pemimpin. Adapun amanah yang sedang saya jalankan disini,
hanyalah suatu keberuntungan yang ‘salah
tempat’. Saya bisa pastikan itu :
salah orang.
“Tidak ada yang memaksamu menjadi orang baik, seperti tidak
adanya orang yang mau melihatmu menjadi orang jahat,” kata Jon suatu saat.
“Jika tak ada yang memaksamu jadi orang baik, mengapa kamu
bekerja – menjadi pelayan manusia lemah –
seperti itu, Jon?” tanyaku.
“Karena aku bukan kamu,”
Aku terdiam, berpikir dalam, tak mengerti apa maksudnya.