Prolog (kayak yang mau
nulis banyak aja!he)
Pertama tentang banjir.
Kalau nggak salah, banjir
Jakarta itu mulai hari Jumat minggu lalu. Hari ini sudah mulai surut. Saya bukan
mau cerita tentang penderitaan para pengungsi atau para manusia mewah kampret yang tetap hidup enak tanpa
solidaritas. Tapi ini, karena ini blog saya, jadi ini ceritain tentang saya
(halah!).hehe
Semalam ada teman
(perempuan) yang smsnya malam lalu tak sempat saya balas. Bukan apa-apa, tapi badan (atau jiwa?) saya ini kadang seaneh orangnya.
Satu minggu ini sakit, bertepatan atau selama, musibah banjir melanda Jakarta. Tubuh
saya memiliki sistem solidaritas kemanusiaan otomatis. Kalau ada musibah di
negeri ini, tubuh saya ikut-ikutan demam. Waktu gempa Jepang
2011, malahan, selama satu minggu sebelum acara (eh? Emangnya resepsi
kawinan?hehe), sebelum kejadian, saya kena semacam skizofrenia. Melihat kursi
dan meja kampus bergerak-gerak sendiri. Teman saya semakin
yakin, kalau temannya ini (saya) memang orang sableng. (tapi kan jepang bukan
indonesia? Loh! Jepang itu bagian terpenting Indonesia!hehe) Nggak percaya kan?
Saya aja nggak percaya. Percaya mah ke
Alloh sama rasulullah aja. (hihi)
Kedua, menanggapi tulisan
dari blog teman tentang foto Bu Ani Yudhoyono. Siapa dia? Udah, baca aja, ntar
juga tahu.
Tapi sebelumnya, sengaja
saya kagak komen di blog dia, secara kalau saya komen, kagak pernah dibales
lagi. Kayaknya seh dia tahu, kalau komentar saya sebau orangnya. Jadi malas
buat membalas komentar itu. Malahan pernah saya komen ditulisan dia, eh, malah
postingan yang saya komen itu dihapus. Benaran ini mah, komen saya bau, jadi jangan sampai bau komen saya menular ke
postingan yang lain. (hehe)
Dia menulis tentang
komentar-komentar tak beretika (menurut dia,he,jangan marah ya) di instagram (bener kagak
inih tulisannya? Secara saya kagak tau apa ituh instagram, hehe, kamseuuufayy!hihi) foto Bu Ani
Yudhoyono. Saya bukan sedang berbicara tentang politik, apalagi kepemimpinan bapake SBY. Saya termasuk orang yang
menilai ‘payah’ pada kepemimpinan beliau. Tapi, apa seh pentingnya penilaian saya? Wokeh, lanjut.hehe
Katanya, dalam komentar
instagram itu, begitu banyak kalimat-kalimat tak beretika. Justru, karena
beliau (Bu Ani) adalah negarawan (jangan anggap saya memuji beliau ya, sudah
saya bilang saya menilai jelek kepemimpinan politik sekarang. Demi Tuhaaaann!! Tidak
terjadi kontroversi hati –halah!- dalam diri saya!hihi). karena beliau
seorang negarawan, pantas mendapat hujatan seperti apapun.
Pertama, seorang tokoh
memang (jika bukan harus, maka) sebaiknya mendapatkan hinaan seperti itu. Mengapa?
Semacam ‘uji kelayakan’ dianggap masyarakat sebagai tokoh. Wong rasulullah saja disebut orang gila atau penyihir kok,
dilempari batu, disiram pasir gurun kok. Coba, semisal, Bu Ani itu Cuma warga
biasa. Misalnya tukang rujak, atau tukang urut, seperti wanita-wanita yang tak terperhatikan negeri ini. Tidak mungkin
hujatan seperti itu hadir. Yang ada sebaliknya : PENGUMPULAN KOIN KEPEDULIAN, karena
profesi ketertindasan itu.
Kedua, seseorang seperti
apa yang ia ucapkan dan lakukan. Ketika saya menghina, misal, dasar lu kebo! Ya karena memang kualitas
diri saya setingkat kerbau. Tingkatan jiwa saya ‘setinggi’ kerbau. Etika itu,
beda orang bisa jadi beda bentuk. Berbeda untuk orang-orang tua, apalagi kaum terpelajar, umpatan-umpatan seperti, bahkan, maaf, anjing, itu menjadi ‘normal’ di sebagian anak muda. Coba main ke
Bandung, dan berkumpul dengan gerombolan remaja di sana. Maka akan ditemukan anjing-anjing saling keluar dari mulut manusia.
(hehe)
Tulisan inti :
Nah, ini baru yang ingin
aku tulis. (memangnya yang di atas ga pengin lu tulis? Kok panjang bener?he)
Sekolah itu mulai
memasuki fase ‘darurat’. Kelas hampir lima, tapi jangankan gedung milik
sekolah, tanah pun belum punya. Jika sekolah swasta lain cukup ringan dengan
membangun kelas satu persatu, aku harus membangun kelas, sekaligus lima kelas. Huuffyuuuh...!
(hehe)
Ada dua tanah wakaf milik
yayasan kami. Satu tanah wakaf, tertulis untuk didirikan masjid dan kami tak
ingin mengambil resiko di kemudia hari sekolah ini terlilit masalah pelik lagi.
Jadi, alternatif adalah tanah wakaf kedua. Tapi, tanah wakaf kedua diwakafkan
oleh ahli wakif tanah yang kami pakai sekarang. Dan itu menjadi persengketaan
masyarakat. Bagaimana dengan membeli tanah? Sekolah itu untuk kaum lemah
ekonomi, uang darimana? Dari donatur? Siapa? Kami tak punya (banyak) link
donatur besar. Jadi? Bingung saya! (haha)
Sebelumnya, pernah ada
seorang teman (perempuan, lagi, ini yang bikin saya meragukan kelelakian saya,hehe) membaca cerita-ceritaku. Dia bilang,
“Amazing. Nyata
banget ceritanya,”
Eh, koplak!
Dikiranya saya ini sejenis penulis yang menjadikan
ketertindasan masyarakat hanya sebagai objek tulisan? Hampret!
Banyak ustadz yang
membenci sekolah itu mencibir : kita lihat saja – anak kecil itu (saya, 25th) bisa
bertahan berapa lama.
Ini menjadikan semangat
saya terbakar api neraka (lebaaaayyy!!).
Akan aku upayakan,
sekolah itu akan bertahan bahkan lebih lama dari usia para ustadz itu. Aku tak
mengharapkan apa-apa dalam hidup ini. Hanya ada dua
pilihan : Menang atau hancur, demikianlah peperangan. Ketika orang-orang menganggapku ‘gila’ karena perjuangan ini, yang ‘tanpa
imbalan’, aku berkata dalam hati, “Tuhan, Engkau izinkan aku hidup untuk ‘perang’
saja aku sudah sangat senang,” karena, untuk apa aku dilahirkan jika bukan
untuk ‘perang’. Jiwa ksatria dalam diri ini mengalir deras bak banjir Nuh
(lebaaayy, lagi!).he
Apapun kata orang,
prinsipku adalah : kata-kata dan suara (termasuk musik)
semuanya mengalir. Maka, ketika seseorang terganggu dengan ucapan atau suara
apapun, dapat dipastikan dalam pikirannya ada sumbatan.
Semisal ada orang kentut,
jika kita tak senang, pasti ada sumbatan dalam pikiran : yang diwakilkan oleh
hidung. (hihihi)
Bagiku, segala yang
tampak ini adalah palsu. Tapi manusia agaknya membutuhkan kepalsuan, selama
masih hidup dalam diri dan pikirannya sendiri. Manusia dalam perjuangan kaum
tertindas (uidih, keren!he), ibarat ingin menjual dirinya pada Tuhan yang tak
terlihat. Tapi setan menggodanya dengan kenikmatan dunia yang tampak. Satu-satunya yang tak bisa ku sebut palsu dalam dunia ini adalah
wajah cantik kamu (ini yang cowok jangan baca! Sayah kan normal!haha).
Jika merujuk pada bacaan
sebelum sholat, maka sholatku, hidup dan matiku, semua karena Dia : Allah. Uangku
(jika memang punya) adalah untuk sekolah itu dan orang yang membutuhkan (siapa
yang butuh duit receh?he). Ilmuku (jika memang punya) untuk semua orang yang
membutuhkan pencerahan. Aku tak akan datang di suatu tempat, kecuali memberikan
pencerahan disana (belagu banget!hehe). Sedangkan pujian yang orang tujukan
padaku, itu untuk Tuhan, yang memang satu-satunya yang pantas menjadi sumber
pujian.
Lalu apa untukku?
Semua ketidakpercayaan,
kecurigaan, kelemahan, semua kehinaan yang dibutuhkan untuk menguatkan manusia
lemah seperti aku.