Kini pemahaman
tentang surga dan neraka harus diganti. Neraka bukan hanya untuk para penjahat,
melainkan sebaliknya, untuk orang-orang ikhlas yang tak merasakan bahwa ia
sebenarnya berada dalam penderitaan (neraka). Sebaliknya surga, teruntuk mereka
yang kaya, namun tetap rajin ibadah. Untuk itulah surga ada.
Kesimpulannya, adalah konsep keadilan. Surga adalah neraka untuk para penjahat, tetapi juga tak
berarti untuk para mukhlisin : orang-orang ikhlas. Karena orang ikhlas, akan
ditempatkan di mana saja, sama saja : rasanya. Neraka adalah surga, untuk para
penjahat, juga bisa saja untuk para mukhlisin : orang yang tetap bahagia di
mana dan kapan saja mereka berada. Orang-orang yang hidup kaya dan rajin
ibadah, mereka akan di masukan ke surga berdampingan dengan rasulullah yang
hidup miskin. Tingkatan surganya juga hanya satu level. Berbeda dengan
orang-orang miskin, yang harus mendaki tangga super tinggi dan jauh untuk
menjangkau surga rasulullah, meski dulu di dunia sama-sama miskin. Konsep adil.
Jadi hiduplah kaya,
atau, meminjam istilah para ulama kaya : HIDUP ITU HARUS KAYA (HARTA). Hadits yang
digunakan juga shahih, yaitu hadits yang diucapkan rasulullah ketika Ka’ab bin
Malik akan menyerahkan semua hartanya, setelah ia terlepas dari ‘fatwa’ munafik
: tersebab menolak pergi berjihad. Lebih baik meninggalkan anak istri dengan
kekayaan, daripada mereka harus meminta-minta : mengemis. Di sisi lain, agaknya
rasulullah ‘munafik’ dengan apa yang diucapkannya itu. Karena saat beliau
wafat, keadaan Fatimah sangatlah miskin, bahkan hanya beberapa orang – sesama orang
miskin – yang melayatnya. Begitupun para sahabat. Umar yang menaklukan Persia,
wafat hanya meninggalkan beberapa dirham. Khalid bin Walid, sang panglima
perang nan gagah, hanya meninggalkan sedikit dirham dan seorang budak yang
sebenarnya sudah ia bebaskan. Sholahudin Al Ayyubi, tabi’it tabi’in, sang ‘pangeran
yerusalem’, wafat hanya meninggalkan tak lebih dari 60 dirham. Akan sangat
wajar, jika fastabiqud dunya alias
mengejar dunia dilakukan para penerus nabi – ulama. Karena ulama memang harus
kaya. Ulama yang tak kaya, tak akan dianggap oleh masyarakat. Tak peduli
anggapan Tuhan bagaimana : yang penting kaya dan rajin tahajud. Jikapun
rasulullah dan para sahabat ‘menyebarkan’ hartanya seperti kran penyiram air
mancur – yang menyebar ke segala arah – itu ‘kan dulu. Jaman telah berubah.
Seorang anak muda
harus ‘terhukumi’ sesat hanya karena mengatakan : aku tak berharap lagi bahkan
pada Tuhan. Orang-orang tak tahu kehidupan seperti apa yang membuatnya berani
berkata seperti itu. Ia telah gila, tak mampu membedakan mana penderitaan mana
kesenangan : karena dua-duanya membuatnya bahagia. Ia telah kehilangan hasrat
hidupnya, bahkan hasratnya untuk berhasrat, keinginannya untuk berkeinginan. Ia
tak berpikir apa-apa, karena itulah disebut gila, sableng. Apakah itu yang
disebut ikhlas? Tidak mungkin, seorang gila disebut ikhlas. Orang-orang ikhlas adalah
para ulama. Sebagian ulama kaya : merekalah para mukhlisin sebenarnya.