Jejak-jejak masa lalu yang tertinggal

Java Tivi
0
(Acak, dari buku 'Pursuit of Love')

Mei 2013, masih saja ingatan itu mampu mengganggu ketenangan batinku. Ingatan tentang seseorang yang benar-benar ‘menampar’ kesadaranku dalam-dalam. Kenangan seorang wanita, yang bahkan, tujuh tahun ini tak bisa aku lepas ‘kepedihannya’ saat ku mengenang dia.

“Apakah aku mengganggumu?” kata bayangan itu – dalam pikiranku.

“Tidak, tidak. Engkau selalu ku datangkan saat ku tidak dalam pekerjaan,” jawabku sekenanya. “Menikahlah, agar aku tenang. Seperti wanita-wanita ku dulu, yang aku bahagia dalam pernikahannya. Kesendirianmu membuatku sengsara,”

“Apa kau selalu memikirkanku?” tanyanya.

“Selalu. Engkau selalu saja mampu mencuri waktu ku saat ku senggang. Aku bahagia saat bekerja, tapi saat ku tenang, kau selalu datang. Itu membuatku merasa pedih. Bukan karenakau telah meninggalkanku, tapi karena kau masih sendiri,”

Rasa damai dalam hati ini selalu goyah, saat ku mengenangnya. Aku pikir, barangkali harus ku cari jejak-jejak yang tertinggal di belakang kaki, beberapa fase sebelum aku bertemu dengannya, 2007 lalu.
***
Sms terakhir dari seseorang yang ku kenal di tahun 2006, tidak ku baca. Sms itu adalah pesan balasan terakhir dari seorang wanita pertama, yang mengangkatku begitu tinggi, lalu melepaskanku hingga jatuh tak berwujud bentuk. Sms yang langsung saja dihapus oleh seorang teman, karena aku begitu kecewa, bahkan tak kuat melihat namanya di layar kecil itu. Nama dan nomernya ku punya, tapi fisik dan jiwa, ia bersama yang lain.

Tradisi kehidupan disini memang ‘kejam’. Alam mendidik generasi disini dengan begitu tega. Saat kau telah mampu berdiri dan berjalan sendiri, kau akan dilepas begitu saja. Tanpa penuntun, tanpa penyemangat di belakangmu. Untuk bangkit berdiri saja, kau membutuhkan energi yang banyak, terlebih lagi berjalan sendiri, menghadapi takdir apapun yang ada di depan mata. Tapi itu satu keharusan menjadi manusia asli. Melewati fase-fase waktu, dengan dada tegap dan kepala yang tak tertunduk sedikitpun.

Juni 2007, aku mengikuti les bimbel di Bandung, tempat kampus yang aku tuju. Aku telah mampu melepas ia yang bahagia bersama sang pangerannya, namun sedikitpun belum mampu melupakan rasa sakit dalam dada saat mengingatnya. Di hari-hari libur, aku berkunjung ke desanya, berharap bertemu dengannya, melihat kekasihnya, dan berkata, “Ah, ternyata dia tidak setampan aku,” lalu aku sadar, ketampanan bukan jaminan seorang wanita jatuh hati. Tapi uang, nampak selalu berarti.

Dua kampus menerimaku saat ujian negara : Semarang dan Bandung. Aku memilih yang kedua, berharap ada kesempatan bertemu dengannya, sebatas menyapa, “Hei, apa kabarmu dengan kekasihmu yang baru? Bahagiakah? Syukurlah,” tapi ternyata tidak. Dan di tahun pertama di kampus yang baru, aku melihat ia, seseorang yang menyingkirkan bayangan wanita lama, yang menarik-tarik keberharapan khayal dalam pikiran.

Namanya Aliva – kata kakak tingkat pembimbing, pandanganku tercekat pada matanya yang bertanya, “Maukah kau menjadi temanku?” itu, pagi hari pada 27 Agustus 2007. Aku tak berani berkata apa-apa. Pertama, luka dari masa lalu masih begitu terasa. Kedua, di tempat yang baru itu, aku ini siapa? Mengaguminya dalam diam, ku rasa itu tindakan yang tak sia-sia. Aku tak tahu, di tahun-tahun masa depan, ia benar-benar mengubah hidupku. Bukan dari depan dengan sentuhan lembut tangannya, tapi dari belakang setelah ia ‘menampar’ hatiku begitu memar. Lebih dalam, dari wanita masa laluku dulu.

Detik begitu cepat hingga kini ku terbawa di tahun yang begitu jauh : 2013.
Kuliah hari pertama di mulai, 1 September 2007. Kelas baru, orang-orang baru, status jenjang yang baru, tapi dengan hati yang lama : terasa begitu kecewa. Seseorang yang kusebut Aliva itu, sejenak ku simpan bayangannya. Aku tak tahu, bayangannya begitu betah melekat bahkan hingga saat ini. Barangkali, itu konsekuensi. Sejenak ku mengesampingkannya, namun tak ku lupa fakultas dan jurusan di mana ia belajar. Dengan tekad, suatu saat akan ku bawa bukti cinta itu ke hadapanmu.

Tahun berlalu begitu cepat. Ia tampil di atas panggung dunia kampus, sedang aku hanya dalam skala lokal : jurusan. Satu film selesai di tahun 2009, dan dua buku sebagai awal. Dua buku itu ku sampaikan, pada ia, sebagai janji dari diriku sendiri. Namun sayang, pekerjaan kehidupan tak sempat memberi kesempatan pada kita, sekedar menyampaikan ‘terima kasih’ secara berhadapan. Aku titipkan dua buku itu, lewat teman dekatnya. Setelah itu, aku hanya menyapanya dari kejauhan. Mengganggunya tiap malam dengan kata-kata mesra – subyektif. Membangunkan kedamaian tidurnya di waktu pagi menjelang subuh.

Tahun 2010, ia memutuskan untuk melupakanku. Barangkali ia terganggu dengan rayuan dangkal kepalaku, di tiap malam itu. Bahkan, tiga tahun setelah itu, aku masih saja mengira bahwa ia masih mengenal siapa aku. Membayangkan dari kejauhan sana, ia membaca tiap tulisan-tulisan hasil perasan pikiran dan perasaanku tiap hari. Ah, begitu indah ku rasa jejak-jejak lama itu. Keberharapan, keinginan, kerinduan, telah ku lepas bebas. Tak berharap, tak berkeinginan, meski nampaknya masih sanggup merindukannya. Entahlah. Jika keberharapan dan keinginan telah tiada, mengapa masih merindukannya? Sebenarnya, ada satu tanya yang begitu mengganggu : Watak ataukah sebatas kekhilafan ketika kau meninggalkanku tanpa sebab? Jangan kau lakukan itu pada selainku. Sungguh, itu sangat berat. Begitu pedih. 

#Ditulis Mei 2013

Bacaan selanjutnya

Mengembalikan separuh jiwa yang hilang                                              Seorang pria cengeng 
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)