Seorang guru yang sudah
13 tahun aktif dalam pendidikan SD, akan bergabung dengan sekolah itu. Ia kecewa
dengan gaya kepemimpinan kepala sekolahnya yang dulu, akhirnya ia memutuskannya
keluar. Ia seorang tokoh masyarakat yang masih satu lingkungan dengan kampung
sekolah itu. Berkali-kali aku bertanya, “Njenengan
yakin akan masuk sekolah saya?” maksudnya, bukan berarti aku kaget dengan
niatnya itu, melainkan, apakah benar ia siap dengan gejolak sebagian masyarakat
yang memusuhi kami? Itu akan menjadi ‘perang’ serius selama ia ada di sana. Apa
buktinya? Beberapa hari setelah aku berkunjung ke rumahnya, seorang ‘utusan’
para ustadz ‘menggugat’ keputusannya. Tapi apa kata dia?
“Tidak peduli sekolah itu
bagaimana, yang penting di desa ini ada sekolah Islam : dan saya akan berjuang
untuk itu!”
Keren!
“Saya siap diperintah
oleh njenengan, sebagai kepala
sekolah. Selama perintah itu manusiawi,”
Aku tertawa. Aku ceritakan
tentang satu tahun setengah ini ‘menampar diri sendiri’ dalam mengelola lembaga
yang nyaris roboh itu.
“Saya tidak akan
memperlakukan orang seperti orang-orang memperlakukan saya. Ini konotasi –
negatif,”
Ia paham.
Betul, aku masih terlalu
muda untuk memimpin sekolah, terlebih lagi dengan ‘sakit’ yang mungkin
mematikan itu. Tapi aku jamin, aku adalah anak muda pembelajar – cepat. Tak akan
memperlakukan orang lain, jika aku juga tak senang jika diperlakukan seperti
itu. Tak akan menyuruh, selama aku mampu mengerjakannya sendiri. Tak akan
memerintah, jika aku tak mau melakukannya. Aku hanya meminta ketika memang
sedang banyak kerjaan, ataupun sedang sakit. Itupun dengan etika yang sangat
jarang dilakukan kepala sekolah lain pada para guru swastanya.
Bahkan aku tak akan
meminta bantuan tentang progres sekolah itu selama orang lain memang tak mau. Aku
ceritakan sekolah itu yang belum punya tanah alias masih menumpang. Ingin membeli
tanah, tapi tak dibolehkan yayasan : apalagi dananya tak punya. Kemudian membangun
kelas di tanah pribadi yayasan. Konsekuensinya, tak akan mendapat bantuan dari
pemerintah, karena bukan tanah wakaf : syarat utama. Selanjutnya, kelas yang
setengah jadi itu, terbengkalai, tak dilanjutkan pembangunannya. Endingnya? Tahun
ajaran ini siap-siap diusir oleh para ustadz kampung itu yang membenci adanya
kami. Apakah aku menyesal?
Justru aku bahagia.
Hanya sedikit manusia
muda yang diberikan kesempatan oleh kehidupan bertarung membawa nama ‘orang-orang
lemah’ : miskin. Lebih banyak anak-anak muda yang menghabiskan masa mudanya untuk belajar dan heppi ketimbang 'membudak' pada orang-orang lemah. Ibarat seorang komandan perang, aku tak diberikan peralatan
perang. Hanya ada rakyat sipil di belakang sana yang harus dilindungi, dan
hanya disertai beberapa ‘prajurit’ yang tak tahu bagaimana perang. Lebih parahnya
lagi, tak tahu perang itu apa?
Apakah tugas berat? Dalam
hatiku terdalam, terus terang, aku menganggap ini kecil.
Tidak sedikit orang-orang
yang kuceritakan tentang sekolah itu berkata : Pantas kau semakin kurus,
bebanmu luar biasa. Gila!
Tapi, kau tahu, temanku
pembaca, aku masih sempat bermain Plants vs Zombies di laptop kecil secondku
ini.
Hidupku telah melampaui
persepsi. Aku tak lagi punya pandangan tetap akan kehidupan. Terkadang aku
seorang gelandangan di bumi ini, seorang pendidik, seorang prajurit, seorang
sampah, atau apapun, bagaimanapun, aku tak punya pendapat pasti tentang diriku.
Tak tahu lagi bagaimana marah, sedih, senang, kecewa. Aku tak pernah menyangkal
perasaanku sendiri. Dan itu yang ku rasakan saat ini. Bagiku, bahagia adalah
ketika kita telah lupa bahwa penderitaan atau kebahagiaan itu bagaimana. Orang-orang
psikolgi mengatakan : aku ini sakit jiwa. Dan itu, kau boleh percaya, aku
memasukinya saat masih sangat muda : fase itu. Kegilaan!
Beberapa dosen saat aku
kuliah, sudah membaca itu : mahasiswanya ini seorang anak muda ‘sableng’. Sebulan
1x ke Bandung, menemani teman-teman kelasnya yang belum lulus, mengisi kajian
di beberapa organisasi ektra kampus, memberi pemaparan pada teman-teman yang
mau membuat yayasan atau sekolah, atau sekedar diskusi dadakan sebelum pulang :
sampai terkadang saya tak tidur semalaman. Berapa saya dapat uang dari itu?
“Saya ini kepala sekolah!
Tak butuh uang dari mahasiswa!” begitu kesombonganku.
Beberapa dosen ingin
memberi uang sekedar untuk perjalanan pulang, tapi aku katakan :
“Untuk siswa-siswi saya
saja, pak. Saya sudah ada yang bayar : Allah,”
*Dan kepala-ku agak
pusing dua hari ini masuk angin. Tahun 2010 aku kirim buku ke Caknun – sebagai ucapan
terima kasih : sekarang buku itu ada di perpustakaan beliau. Alhamdulillah.