Pagi ini,
hujan turun menyapa para pekerja pagi. Em, bukan hanya pekerja ternyata, tetapi
juga pelajar. Bahkan, anak-anak muda itu – pelajar, nampak lebih semangat pagi
ini. Keluar dari gang rumah, bertemu dengan anak SMP yang seragamnya setengah
basah kuyup mengayuh sepeda ontel. Sesampainya di sekolah, subhanallah, anak-anakku tetap berangkat. Ini terkadang yang
membuatku haru. Sekolah ini tak memiliki apa-apa yang mampu dibanggakan, tapi
mereka tetap semangat dan – masya Allah – senang dengan keadaan apapun. Alasan ini
yang membuatku berdiri tegak : Tenang, nak. Bapak akan bekerja lebih keras
lagi, agar kalian dapat bersekolah dengan ‘layak’.
Tentu saja,
aku salah menilai mereka jika menggunakan ‘alat ukur’ semangat belajarku, dulu.
Aku hanya seorang pelajar berandal, pemalas, tukang tidur. Mungkin aku bukan
termasuk siswa cengeng, ketika dijewer atau dimarahi tak menangis : saat TK
ataupun SD. Tapi juga bukan siswa ‘baik’, tak bisa disebut penurut atau cerdas.
Tapi, lihat aku sekarang, jika bukan suatu kebetulan, pasti ‘ujian’ ini adalah ‘kesalahan
Tuhan’ : sebagai leader lembaga pendidikan formal.
Terkadang aku
setuju dengan ucapan Kyosaki : If you
want to be rich, don’t go to school. Bukan aku yang bilang, tapi salah
seorang motivator dunia yang ‘ahli’ tentang kekayaan. Dan beberapa kali aku
menyampaikannya pada para guru sekolah ini.
Sekolah tak
menjamin seseorang sukses. Berapa banyak sarjana-sarjana yang persis setelah ia
pulang berfoto ria menggunakan toga, di rumah ia bingung : akan bekerja di
mana? Gelisah akan bayangan pengangguran, kerja kecil, atau menjadi orang ‘kecil’
– miskin. Pikiran-pikiran sesat, aku katakan. Tidak ada pekerjaan kecil, yang
ada adalah ‘manusia kecil’, manusia berjiwa kerdil yang tak menerima keadaan
dan tak mau mengubahnya. Kita kira, Nabi Sulaiman belajar di mana hingga ia
menjadi manusia terkaya sejagat raya? Lulusan MBA kah? Kuliah doktoral
menejemen keuangan / bisnis? Kehidupan yang mendidiknya. Bakat dari ayahnya
yang ia miliki yang membuat itu – selain ‘pendidikan’ alam yang ia alami. Menjadikan
apa yang dimilikinya terus bertambah, tak bisa berkurang.
Bukan sekolah
yang menjadikan seseorang sukses : materi atau pun hati. Kecuali, mungkin ‘sekolah
kehidupan’. Apa yang kita ingat, atau, berapa persen pengetahuan sekolah yang
masih kita ingat sekarang? Hal-hal yang membuat anak-anak kita hebat di masa
depan adalah itu – di atas. Meski hujan mereka tetap berangkat, gemar membaca,
diskusi, mencari ilmu di manapun itu : perjuangan tak kenal lelah. Kemudian,
doa orangtua dan guru.
Bagaimana keadaan
tokoh-tokoh besar seperti Davinci, Mozzart, Edison, atau, Einstein? Mereka ‘pemalas’,
bahkan, Einstein lebih suka berkhayal di bukit belakang sekolah.