Sudah lama aku ingin bercerita tentang ini.
Rasa hormatku pada mereka para pemuda, laki-laki atau perempuan, yang selalu bekerja membantu orangtuanya.
Angkat topi pada anak-anak muda yang menenteng gitar sendirian, dari rumah ke rumah.
Pada para pemuda pedagang kali lima.
Tukang becak, tukang cilok, ontong-ontong.
Aku paham bagaimana rasanya bekerja sendirian.
Menyusuri jalan sendirian.
Bertahan hidup sendirian.
Di sisi lain, di dekat kita, begitu banyak manusia muda tertawa dengan kemewahannya.
Tuhan maha adil, kawan. Hanya saya keadilannya di luar logika kita : mungkin ini yang menjadikan-Nya ‘tak adil’.
Hanya orang belagu, sok tahu, yang menjelaskan keadlian Tuhan tanpa ‘wahyu’.
Titipkan anak-anakmu padaku, kawanku, dan akan aku jadikan mereka para pemegang kunci langit.
Cerita pertama :
Seorang wali siswa bercerita tentang anaknya.
“Guru kelas anak saya (SD), bertanya pada seluruh siswa di kelas, ‘Siapa yang tidak sholat shubuh?’ katanya. Anak saya heran, kenapa banyak temannya yang tidak sholat shubuh tak mengangkat tangan, dan anak saya sendiri lah yang mengacungkan tangan, jujur. Anak saya diminta maju oleh gurunya, tapi bukan untuk diberikan penghargaan karena kejujurannya, lalu baru diberi pemahaman tentang sholat, justru sebaliknya, dia dimarahi di depan teman-temannya yang sudah tak sholat juga tak jujur,”
Mataku berkaca saat mendengar cerita ini. Ingin saya meneriaki guru itu “Goblok!”, tapi, aku sadar itu tak bisa saya lakukan (selain bukan guru sekolah saya, juga) aku punya cara ‘kejam’ yang lebih menusuk guru-guru seperti itu dengan ‘santun’.
Cerita kedua :
Seorang wali siswa berkata pada guru sekolah saya kelas satu, “Tinggalkelaskan saja bu (anak saya itu), memang susah di atur dan nakal,”
Guru saya itu menyampaikannya di evaluasi mingguan guru. Saya tersenyum mendengarnya. Memang ada beberapa anak yang suka disuruh keluar oleh guru kelas satu, dan saat itu terjadi, pasti saya yang menemani dia bermain sambil belajar di ruang kepala sekolah. Di satu sisi, saya tak bisa memaksa guru yang kurang berkualitas untuk tetap memasukan dia di kelasnya. Di sisi lain, aku menegaskan pada para guru agar jangan ada siswa yang tak belajar di sekolah ini (sekalipun kondisinya amat sangat memprihatinkan, dari hampir seluruh segi).
Menyedihkan bagaimana?
Cerita ketiga :
Tahun 2012 bulan Juli, aku belum diwisuda saat itu (kuliah 4th8bulan) di salah satu PTN di Bandung. Kakak saya yang kelima, mengamanahkan saya untuk mengerjakan tugas-tugas kepala sekolah tanpa SK. Katanya, “Ini pembelajaran selama satu tahun, baru kamu bisa jadi kepala sekolah,” siapa yang menginginkannya? Saat itu, sekolah sedang berjalan tiga kelas (SD).
Sebagian tugas aku kerjakan, entah dengan baik atau tidak, yang pasti aku sungguh-sungguh, meski belum terjawab pertanyaan “Mengapa aku disini, di tempat yang tak ku inginkan?”
Bulan Oktober, aku tak mengikuti wisuda : tetap di sekolah, memimpin pembinaan. Bulan November sakit keras (tapi tak mau dirawat karena saya membenci rumah sakit dan obat), setelah aku tahu beban ‘seperti apa’ yang sebenarnya akan ditimpakan padaku. Dan aku tak bisa menolak, apapun yang diminta orangtuaku : sami’na wa atho’na.
Bulan Januari, SK itu turun. Satu amanah yang, jauh di dalam hatiku merasa itu ‘kecil’, tapi sangat pelik.
Sekolah itu belum memiliki gedung, masih menumpang di suatu madrasah, yang sebagian besar ustadznya meminta kami membubarkan diri. Dan itu tak bisa diselesaikan bahkan oleh para sesepuh desa/agama. Kini, sekolah itu sudah empat kelas, dan kami belum memiliki gedung atau bahkan tanah untuk didirikan bangunan. Ditambah lagi, madrasah itu hanya punya empat kelas. Jadi tahun ajaran baru ini harus disiapkan minimal satu kelas lagi. Aku ingin memperjuangkannya – tanah, tapi ditahan oleh yayasan dan mantan kepala sekolah. Itu satu persoalan.
Persoalan selain itu apa?
Kepala sekolah secara resmi memang saya, tapi kepala sekolah sebelumnya, kakak saya sendiri, ingin selalu memegang palu kebijkan meski telah mengundurkan diri : memilih aktif dalam perpolitikan. Dan perjuangan tanah itu tertahan, karena menunggu hasil pemilu legeslatif yang beliau ikuti. Ibarat hakim, saya hakim tanpa memiliki palu. Ketika ada kebijakan (yang saya buat tanpa sepengetahuannya) yang baik untuknya, sekolah, dan masyarakat, sama sekali tak ada penghargaan, entah dari yayasan ataupun darinya. Ketika ada kebijakan yang ‘mengagetkan’, pasti dengan terburu-buru saya mendapat teguran : kecurigaan, bahwa saya ingin menguasai sekolah itu (astaghfirullah). Sejak Januari itu, saya naikan honor guru yang memprihatinkan, meski khas sekolah minus. Ini teguran pertama. Sebagai konsekuensi, honor untukku tak ku ambil : memang dari awal aku masuk juga tak mengambil honor. Semua aku kembalikan, untuk tambahan honor guru. Menejemen, struktur, sistem sekolah saya ubah nyaris total. Ini teguran selanjutnya. Sebagai ‘anak kecil’, saya terlalu lancang untuk berbuat ‘seenaknya’ tanpa izin mantan kepala sekolah. Dan saya memang menghindar dari perdebatan, karena itu justru akan mempermalukannya : yang tak paham pendidikan. Sebentar, tak paham pendidikan, tapi membuat sekolah dhuafa, juga tanpa persiapan gedung sendiri, lalu ia menuju perpolitikan?
Mulai Januari itu, aku instruksikan setiap hari Sabtu ada pembinaan guru. Ini berkaitan dengan rekrutmen guru oleh kepala sekolah dulu yang ‘asal masuk’. Dalam pembinaan itu, pelan-pelan aku ‘bersihkan’ paradigma berpikir tentang pendidikan, sekolah, anak-anak, dan pendidikan masyarakat. Di sore hari Sabtu itu, aku juga ‘diwarisi’ pengajian orangtua siswa dan guru. Di pagi hari mendidik anak-anak, siangnya membina guru, sorenya para ibu yang usianya jauh di atasku. Sampai saat ini pertanyaan awalku belum terjawab : siapa aku, mengapa ada di sini? Orang bijak mungkin akan menjawab, “Untuk mencerdaskan mereka” apakah tak salah, menempatkan anak muda di tengah-tengah masyarakat yang tak mengenal siapa anak muda itu? Bukan apa-apa, tapi konsekuensinya adalah, anak muda itu akan diremehkan, sangat diremehkan. Meski itu sama sekali tak pengaruh bagiku.
Teguran selanjutnya adalah – paling pelik saat itu, tentang keputusan saya untuk memberhentikan dua guru yang tak fokus. Bekerja seenaknya, dan suka memerintah kepala sekolah : yang ‘anak bau kencur’ ini. Orang-orang mengatakan, itu mungkin sensitivitas saya saja sebagai anak muda. Jauh di luar itu, saya punya bukti dari jauh-jauh hari untuk memberikan banyak surat peringatan. Dan di akhirnya, di akhir tahun pelajaran saat saya memberikan pembinaan (evaluasi besar), ia sendiri yang mengatakan tak punya alasan ‘mengapa ia harus dipertahankan di sekolah ini’. Salah satu elemen yang saya lakukan dalam evaluasi itu adalah psikotes. Dalam psiko tes inilah, dapat terukur kesungguhan guru tersbut dalam membangun sekolah yang memprihatinkan ini.
Sekolah itu dikhususkan untuk kaum lemah ekonomi, sedikitpun kami tak ingin memungut biaya. Lalu darimana operasionalnya? satu-satunya ketergantungan sekolah itu adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang membuat saya tak bisa sedikitpun ‘menampar’ kebijakan pemerintah : tangan yang terbiasa meminta tak akan mampu digunakan untuk menjewer (menampar). Maksudnya? Pemerintah memberikan kebijakan apapun dalam pemerintahannya, aku diam (sial!). Sekalipun secara operasional sekolah itu minus, aku belum mau memberanikan diri mengetuk pintu-pintu calon donatur (jika ada). Katakan, ini idealisme anak muda. Terkadang memang aku merasa bertarung dengan diriku sendiri. Di satu sisi aku harus ‘menafkahi’ sekolah itu, tapi di sisi lain aku enggan ‘meminta’ sekalipun atas nama pendidikan – katakanlah – kaum tertindas.
Tapi tentang perjuangan tanpa batas, jangan ragukan saya. Serius.
Aku berpikir, jika secara infrastruktur aku tak mampu cepat membangun, maka segi lain lah yang harus aku kuatkan : suprastruktur (SDM). Dengan siapa aku berdiskusi mencari solusi sekolah itu yang ruwetnya membuat orang menilai saya telah gila? Tak satu pun. Tentang ini, aku bersyukur Tuhan memberikan ‘penyakit skizofrenia’ padaku sejak kecil : berdiskusi dengan diri sendiri. Sisi SDM aku kuatkan dengan pembinaan tiap minggu, untuk membendung masyarakat yang menginginkan kami bubar, menggusah (mengusir) kami dari tempat tumpangan, tuntutan kepemilikan tanah sendiri, menjadi orangtua anak-anak yang kurang dipedulikan orangtuanya, menjaga nama baik sekolah dengan politik, meningkatkan kualitas berpikir, public speaking, cerdas menulis (saya menulis 9 buku semua belum/tak diterbitkan), demi visi membangun bersama bangsa lewat desa itu.
Semua training keguruan atau apapun yang berbayar, enggan ku ikuti. Pertama, karena kebanyakan hanya bicara teoritis (yang sombongnya, aku meremehkan pembicara). Kedua, memang aku tak memiliki sumber dana, bahkan aku pernah berhutang bensin satu liter pada orangtua siswa. Kedua, selama saya masih mampu berpikir out the box aku rasa itu cukup. Ketiga, tiap bulan saya ke Bandung, menjadi ‘teman diskusi’ (saya tak senang disebut pembicara/pemateri) di dua organisasi besar ekstra kampus, juga menjadi ‘teman diskusi’ beberapa pegawai bank swasta besar : semuanya aku gratiskan. Dan itu rutin, jika di Bandung itu tiap bulan, di sini tiap minggu. Selama itu tentang ilmu, itu GRATIS. Sesuatu dapat dibayar jika itu materi atau barang dagangan.
Januari ini, ada seorang guru yang sudah 13 tahun dalam pendidikan SD, masuk sekolah itu. Beliau guru pramuka saya waktu SMA. Kerjanya cakap dan link bantuannya sangat banyak. Tapi ketika saya ceritakan satu persatu persoalan yang saya hadapi – sendiri, beliau stress.
“Njenengan serius mau masuk sekolah itu?” tanya saya. Maksudnya, sekolah itu cukup rumit (jika tidak bisa dikatakan sangat rumit). Beliau salah satu tokoh NU, sedangkan para ustadz madrasah adalah orang yang seorganisasi dengannya. Ini akan seperti saya mengadu antar mereka. Sebelumnya, mengapa organisasi agama seperti itu kok ikut-ikutan? Itu salah satu yang menambah keruwetan : bagi banyak orang. Yayasan didirikan oleh para tokoh NU lokal, partai politik yang diikuti mantan kepala sekolah adalah partai keagamaan yang dibenci sebagian orang-orang NU : ortodoks. Saya sendiri sempat ditanya oleh banyak orang, termasuk oleh guru pramuka saya yang baru masuk itu, “Islam njenengan Islam apa?” hadeh. Saya yang pasti bukan kader partai apapun, tentang Islam, saya bisa (disebut) apa saja : NU, Muhammadiyah, Persis, LDII, Sunni, Syi’i, atau apapun saja. Satu yang pasti, aku mencintai rasulullah, dan orang-orang miskin : ilmu ataupun harta.
Di sini, aku diamanahi sekolah : mendidik anak, guru (desa), dan sebagian (kecil) masyarakat. Di Bandung, aku diamanahi beberapa anak muda dengan semangat dahsyat, yang kapan saja mereka bisa ‘tersesat’, kehilangan semangat. Apa yang suka mereka diskusikan denganku? Filsafat dan tasawuf. Di sini, beberapa pegawai Bank swasta itu (jika jadi), mereka juga menginginkan menjadi ‘ulul albab’. Para manusia yang menginginkan akal dan hatinya selalu sehat.
Pertanyaannya kembali ke atas : siapa aku, hingga aku diberikan amanah seperti itu dalam kondisi yang serba tak punya? Spiderman?
Gubrakk!
hehe