Pertama,
tentang wanita :
Manusia tak
akan mampu selalu menyangkal dirinya sendiri. Tak akan bisa selalu menyangkal
perasaan atau pikirannya sendiri. Seorang pembohong besar pun – saya mungkin
termasuk, tak akan selalu mampu menyembunyikan ‘dirinya’ sendiri pada setiap
orang, pada setiap waktu. Terlepas dari psikologi yang telah mendeteksi
kebohongan orang, atau teknologi, secara fitrah
– asasi – manusia tak akan mampu selalu menyangkal apa yang dirasakannya
dalam diri.
Aku pun
sama. Berapa sajak yang aku buat tiap malam, untuk ‘ia’ yang aku belum tahu
siapa. Manusia tak akan mampu selalu melawan ‘arus hidup’. Ketika seseorang
dihadapkan pada masalah A, ia harus fokus di sana, sebelum masuk ke persoalan
selanjutnya. Dalam konteks teman hidup, ada sebagian orang yang memang, ketika
tengah menghadapi persoalan tertentu – bukan wanita, ia mampu mencari sekaligus
menjadikan seorang wanita itu teman hidup dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut. Dan aku pastikan, aku tak termasuk. Beberapa kali mendekati wanita,
beberapa kali itu juga akhirnya kembali pada rumitnya persoalan sosial yang aku
hadapi disini : bisa disebut ‘gagal’.
Celotehan apapun
tentang kesendirianku ini, sama sekali tak berpengaruh. Karena jauh dalam diri,
aku pastikan bukan persoalan susah untuk mendapatkan wanita yang aku inginkan –
jika memang aku masih memiliki keinginan. Terlebih lagi, dengan background keluarga, atau jabatan yang
sekarang sedang aku ‘duduki’. Banyak rekan guru yang bercanda tentang
kelajanganku ini. tapi, bagiku itu ekspresi kepedulian : yang aku tanggapi
dengan bercanda juga.
“ Njenengan kok nggak nikah-nikah sih? Bla
bla bla...” goda mereka.
“Nanti, saya
menunggu Citra Kirana yang masih sibuk syuting,” atau
“Nggak ada
yang mau sama saya, pak. Nggak ada yang mau diduain,
wkwkwk,”
Dari beberapa
pengalaman – katakanlah, kegagalan – aku fokuskan untuk ‘merapikan’ persoalan
disini dulu. Permasalahan yang, menurut banyak orang yang aku ceritakan, hanya
orang gila yang berani menanganinya. Kegilaan inilah, yang membuatku tak bisa
memutuskan wanita ‘biasa-biasa saja’ untuk ku jadikan teman hidup. Pertama, tak
akan ku cari orang dekat, karena ia akan melihat keluargaku : bukan melihatku. Aku
tak akan menikahi wanita yang jasadnya menghormatiku, tapi tidak dengan hati
dan pikirannya. Tak bisa juga aku menikah dengan wanita yang masa bodoh dengan
perjuanganku : sebagai single fighter.
Ia akan mati muda, jika ia paham apa yang sebenarnya dihadapi suaminya. Dan terakhir,
aku tak akan menikahi wanita yang setuju dengan resepsi pernikahan. Hanya ada
walimah – selamatan, tak ada resepsi (pesta). Tak dicontohkan rasulullah, juga
tak disunahkan para sahabat. Apalagi menggunakan masjid untuk resepsi : rumah
Tuhan kok untuk pesta? Jika orangtuanya menginginkan itu – resepsi, cari saja
pria lain : yang aku yakin masih banyak yang lebih kaya dan tampan. Seorang pejuang
tak akan disenangi oleh wanita ‘biasa’, yang takut akan kemiskinan, takut akan
masa depan. Siapa yang membiayai hidup? Manusia? Sombong sekali! Tuhan yang
menjamin rizki, bahkan makhluk yang manusia tak sanggup menghidupinya. Terpenting
adalah perjuangan, upaya tak kenal henti sampai mati. Apakah aku seorang
pemalas, pengangguran Madesu? I’m a
headmaster! Walaupun, jika kehidupan memintaku menjadi – semisal – tukang
cilok, aku pun mampu : dengan otak yang diamanahi ilmu.
Pernah aku
katakan pada salah satu sepupu, bahwa hidupku ini tak modal. Bagaimana dengan
istri? Ia ‘akan datang sendiri’. Apakah dia percaya? Tentu tidak. Sampai saat
inipun aku tak percaya dengan apa yang aku hadapi di sini. Tapi, kenyataan
memang demikian. Apa yang aku inginkan menjauh, apa yang tak pernah
terbayangkan, datang. Bagaimana jika usia ternyata tak sampai pada momen
pernikahan? Maka, fihiinna
qoshirotuththorfi lamyathmitshuna insun qoblahum wa la jann... ‘di sana’,
dimensi yang tak tersentuh manusia dan jin, telah lama menanti seorang teman
hidup yang kekal, tak pernah tua, memahami, ‘menyelimuti’, dalam keadaan apapun
: hadiah sebagai seorang single fighter.
Kedua,
tentang Single Fighter :
Kata itu
sebenarnya ‘konyol’, karena memang tak mungkin manusia mampu berjuang
sendirian, meski terkandang memang benar. Dulu aku anggap begitu, ketika begitu
banyak persoalan aku ‘terima’, tanpa ada orang yang mau mengangkatnya bersama. Sampai
saat ini, aku tak pernah berhenti bertanya : siapa aku? Tak pernah lagi aku
bertanya : mengapa aku? Karena itu adalah keputusasaan – meski aku telah
melampaui itu. Jawaban-jawaban tentang itu – siapa aku? – selalu terjawab dalam
beberapa persoalan. Tapi ketika permasalahan baru datang, seakan jawaban itu ku
revisi. Jawaban itu tak cukup, untuk menjawab pertanyaan itu dalam kondisi
(masalah) yang baru itu.
Epicurus,
filsuf Athena yang lahir setelah 7 tahun wafatnya Plato mengatakan : seseorang
tak akan bahagia karena empat hal. Pertama, pemahamannya tentang Tuhan yang tak
benar. Dua, ketakutan akan kematian/masa depan. Tiga, selalu merasa tak puas. Empat,
mencari kekayaan tanpa kebijaksanaan/kesederhanaan.
Kini, semua
pemahaman (konsep) yang logika tawarkan tentang Tuhan, telah ku tolak. Tuhan maha
pengasih dan penyayang, itu benar selama tak memasuki wilayah logika/akal. Ia
jauh tak terkira, dan dekat tak masuk akal. Apapun yang akal asumsikan tentang
Tuhan, itu adalah dugaan. Tuhan seperti apa yang dipersangkai hamba-Nya, itu
juga benar, maka hilangkanlah prasangka. Karena, dapat dikatakan prasangka
baik, setelah kita melakukan prasangka buruk : pada Tuhan. Semua hal yang
logika tawarkan tentang Tuhan, tak berlaku lagi untukku. Pahala, surga,
kemudahan hidup, aku telah menyingkirkan semua itu. Tidak ada yang penting,
selain perjuangan dalam jalan kebaikan : sekalipun bukan untuk/karena Tuhan. Satu-satunya
perantara antara diri manusia dengan Tuhan adalah hati. Logika berpikir tinggi,
tapi terputus : dan itu harus diserahkan pada hati. Dalam wilayah diri dan
logika, Tuhan ‘tak ada harganya’.
Tentang kematian/masa
depan. Ku tulis di atas, yang terpenting adalah perjuangan tanpa henti dalam
jalan kebaikan – universal. Aku lebih memilih mati sebagai pejuang, daripada
hidup mapan dengan istri cantik : sebagai pecundang. Tidak mungkin manusia
ditakdirkan sendiri, karena kehidupan selalu memberi ‘tanda’/petunjuk, siapa
manusia yang akan menjadi rizki kita. Hanya saja, selain kita pura-pura buta,
lebih sering kita menganggap rendah orang lain. Kita, karena aku pun mungkin
begitu, mungkin. Seperti kata Einstein : aku tak memikirkan masa depan, karena
itu sebentar lagi juga datang. Untuk apa dipikirkan? Hanya orang gila yang tak
memikirkan masa depan? Einstein itu gila atau jenius?
Ketiga,
tentang kepuasan. Tingkat pertama adalah manusia penyabar. Ia yang menerima
keadaan, dan pelan-pelan mengubahnya. Kedua, mereka yang syukur, atau qona’an
(merasa cukup). Mereka yang menerima dengan senang ketika miskin, juga merasa
puas ketika mendapat kemudahan. Tingkat terakhir adalah tingkatan manusia gila
: ikhlas. Ada dua orang dalam kategori ini. pertama adalah mereka yang ‘telah
mencapai surga’, merasa bahagia dalam penderitaan atapun kesenangan : mukhlisin
(orang-orang ikhlas). Kedua, orang-orang terpilih : mukhlishin. Orang terpilih
inilah yang akan hidup ‘memberontak’ pada tatanan masyarakat yang sudah mapan. Tidak
diterima oleh masyarakat, juga tak bisa diusir masyarakat : karena ‘kemampuannya’.
Terakhir,
tentang kebijaksanaan/kesederhanaan. Di jaman ini, siapa yang kaya tapi
bijak/sederhana? Kaya, tapi tetap melestarikan jalan kaki/bersepeda. Kaya, tapi
tak merasa memiliki apapun. Kaya, tapi selalu ‘mengalirkan’ apa yang
didapatkannya. Mereka yang berprinsip : kekayaan untuk ‘dialirkan’ dan
kecerdasan untuk pelayanan sosial.
Empat hal
ini, hanya ada dalam seseorang yang telah ‘dinjak-injak’ kehidupan begitu kejam. Telah ‘dekecewakan’ oleh Tuhan
terlalu dalam. Telah ‘diludahi’ orang-orang karena kemiskinan (kesederhanaan)
hidupnya. Telah merasakan kehidupan yang begitu pahit. Dan, tentang rasa
pahitnya hidup, ku buatkan satu bait untuk ia yang masih disembunyikan oleh
alam :
Hidupku ini sangat pahit
Tapi, kau tahu apa yang membuatnya
manis?
Engkau, hanya engkau, manisku