11 November 2013 pukul 18:54
Selepas dhuhur, seorang siswa bercerita pada Jon,
"Pak, hari minggu kemarin ada orang gila ke mushola kita, hihihi,"
cerita ia sambil tertawa senang. "Dia nyari-nyari Allah, ketuk-ketuk pintu
mushola,"
Tok tok tok...
Tok tok tok...
Cerita ia sambil menirukan.
"Cari siapa, om?" tanya siswa Jon.
"Cari Allah," jawab orang yang disebut gila itu.
"Allah-nya nggak ada," jawab siswa Jon.
Allah-nya nggak ada...?
Jon tertegun.
Dimana Ia, jika memang 'nggak ada'?
Qur'an hanya mengatakan : faidza sa'alaka ibadi,
anni fa'inni qorib.
Ia tidak berada di langit atau di
bumi, tidak juga di dimensi Jibril, atau
malaikat terbawah 'penjaga' bumi semisal
2 tamu yang mendatangi rumah Ibrahim. Mereka, para malaikat, hanya 'tahu',
bahwa Tuhan ada dan mereka mengemban tugas-Nya untuk menemani
manusia. Mereka yang baik akan mendapat kabar gembira, semisal istri Ibrahim yang
tua dan mandul. Mereka yang tak bisa disebut baik,
akan mendapat tamparan, semisal kabar dari Malaikat Takhaluk yang datang
bertamu itu.
Siapa yang tak gila dengan jaman seperti ini? Jaman primitif, yang manusianya
mematerikan Tuhan -yang tak pernah datang, menjadi berhala memang telah lewat.
Tapi berhala yang tak harus berbentuk patung, yang manusia sembah hingga
menganggap itu adalah kemurahan Tuhan telah mendatangkannya : yang membuat
orang semakin gila.
Apakah Tuhan berwujud pengemis tua kumal, seperti yang mendatangi kaum yahudi
saat jamuan malam untuk Tuhan?
Lalu, akan manusia cari kemana Ia? Kepada siapa manusia menyembah, jika yang disembah
ternyata 'nggak ada'?
Pertanyaan itu, terbawa hingga sujud-sujud Jon.
Lama ia bersujud, sambil terus memikirkan itu.
Lama ia bersujud, sambil merenungkan pelajaran dari
siswanya itu.
"Kepada siapa aku bersujud, jika ternyata Ia
memang 'nggak ada' (di depanku, menerima sujudku)?"
Lalu suara kecil di hatinya berbisik...