“Bukankah, kau sudah terbiasa berlelah-lelah untuk suatu hal
yang sia-sia? Lalu, mengapa kau malas? Berbahagialah dalam ke-absurd-an ini,”
Betapa putus asanya!
Semakin memperlajari kitab suci itu, semakin terlihat saja
betapa kecilnya dunia ini. Tapi, seperti kerikil di tengah jalan, bisa jadi itu
menggelincirkan kendaraan kita. Apa yang diharapkan manusia dalam hidup ini?
kekayaan? Selain itu akan kita tinggal, kelak bisa saja itu menjadi sumber
konflik kekeluargaan. Agar hidup nyaman, makan kenyang, dan bisa liburan kapan
saja, lalu dengan itu bersyukur nikmat atas apa yang diberikan Tuhan? Mengapa Tuhan
memberikan itu pada kita? Karena kerja keras dan kecerdasan kita? Itu juga yang
Qorun katakan! Karena kasih sayang Tuhan? Mengapa tidak dibagi, pada mereka
yang hidup tragis?
Jodoh yang sempurna? Betapa konyol. Tanya mereka yang baru ‘berlayar’.
Bergulirnya waktu, mereka akan semakin paham, betapa sempurna itu bukan satu,
tapi sepasang. Jika pun kita (yang lajang) tiap sebelum makan berimajinasi
tentang jodoh yang kita inginkan (apa susahnya bermimpi?), maka apakah itu
harus? Keharusan membuat hidup ini berat. Barangkali, kita berkata : tak apa
berat, jika memang terwujud. Itu akan menjadi ambisi, menjadikan seakan jodoh
kita sederajat dengan materi, mobil atau rumah mewah : dehumanisasi. Hanya manusia
rendah yang mau disamakan dengan benda mati. Ah, tapi, manusia bangsa ini
bukankah memang demikian – rendah? Ya, ya, selalu ada pengecualian – mungkin.
Yang paling baik adalah mereka yang ‘gila’. Ketika orang-orang
berlomba untuk mendaki tinggi, ia malah meluncur turun. Hanya manusia yang
bisa, karena bidadari terlalu suci untuk turun ke bumi. Ketika orang-orang
berlomba terbang, ia malah kuat-kuat menancapkan kaki di bumi. Ketika orang-orang
berlomba melesat, ia malah merenggangkan tangan merangkul sesama. Itu yang aku
sebut ‘gila’. Orang-orang yang tak diterima di surga, namun juga ‘aneh’ berada
di bumi.