Betapa putus asanya (!)

Java Tivi
0

“Bukankah, kau sudah terbiasa berlelah-lelah untuk suatu hal yang sia-sia? Lalu, mengapa kau malas? Berbahagialah dalam ke-absurd-an ini,”

Betapa putus asanya!

Semakin memperlajari kitab suci itu, semakin terlihat saja betapa kecilnya dunia ini. Tapi, seperti kerikil di tengah jalan, bisa jadi itu menggelincirkan kendaraan kita. Apa yang diharapkan manusia dalam hidup ini? kekayaan? Selain itu akan kita tinggal, kelak bisa saja itu menjadi sumber konflik kekeluargaan. Agar hidup nyaman, makan kenyang, dan bisa liburan kapan saja, lalu dengan itu bersyukur nikmat atas apa yang diberikan Tuhan? Mengapa Tuhan memberikan itu pada kita? Karena kerja keras dan kecerdasan kita? Itu juga yang Qorun katakan! Karena kasih sayang Tuhan? Mengapa tidak dibagi, pada mereka yang hidup tragis?

Jodoh yang sempurna? Betapa konyol. Tanya mereka yang baru ‘berlayar’. Bergulirnya waktu, mereka akan semakin paham, betapa sempurna itu bukan satu, tapi sepasang. Jika pun kita (yang lajang) tiap sebelum makan berimajinasi tentang jodoh yang kita inginkan (apa susahnya bermimpi?), maka apakah itu harus? Keharusan membuat hidup ini berat. Barangkali, kita berkata : tak apa berat, jika memang terwujud. Itu akan menjadi ambisi, menjadikan seakan jodoh kita sederajat dengan materi, mobil atau rumah mewah : dehumanisasi. Hanya manusia rendah yang mau disamakan dengan benda mati. Ah, tapi, manusia bangsa ini bukankah memang demikian – rendah? Ya, ya, selalu ada pengecualian – mungkin.


Yang paling baik adalah mereka yang ‘gila’. Ketika orang-orang berlomba untuk mendaki tinggi, ia malah meluncur turun. Hanya manusia yang bisa, karena bidadari terlalu suci untuk turun ke bumi. Ketika orang-orang berlomba terbang, ia malah kuat-kuat menancapkan kaki di bumi. Ketika orang-orang berlomba melesat, ia malah merenggangkan tangan merangkul sesama. Itu yang aku sebut ‘gila’. Orang-orang yang tak diterima di surga, namun juga ‘aneh’ berada di bumi.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)