1.
Untuk apa dunia dan segala isinya ini ada?
Pertanyaan akan
aku bahas lebih dulu dari kata ‘ada’. Dalam konteks filsafat umum (atau mungkin
juga bisa disebut sebagai filsafat barat), terbagi dalam konsep ‘kebenaran’. ‘Ada’
secara inderawi (kebenaran empiris), ‘ada’ secara rasional (kebenaran
logis/logika), ‘ada’ secara metafisik (kebenaran metafisis). Tentu, ini
pendapatku pribadi, bahwa ‘kebenaran tidak mungkin jamak’. Kebenaran harus dan
hanya satu (Esa, satu yang tak bisa dijelaskan). Justru, jika kebenaran ada
banyak (terbagi) maka akal tak bisa menerimanya. Atau, kebenaran boleh banyak,
tapi kebanyakan itu adalah – sebenarnya – satu : ini lebih absurd. Dan pertanyaan
di atas akan bermuara pada pencarian hakiki, yaitu Tuhan.
Dalam ranah
berpikir filsafat, para pemikir akan menolak jika, katakanlah, berfilsafat,
tanpa dengan berpikir runtut / sistematis. Jika ditarik dari pertanyaan di
atas, maka akan muncul banyak pertanyaan lagi, bahkan mungkin sebelum
pertanyaan tersebut.
Contoh :
(sebelum untuk apa dunia ini ada) Apa benar dunia ini ‘ada’? bagaimana ia
menjadi ada? Siapa yang meng-ada-kannya? Dan mungkin masih banyak lagi – meski tanpa
membawa-bawa nama Tuhan.
Sebelum menjawab
itu : untuk apa dunia ini ada?, aku akan membahas tentang ‘ada’ (meski
sebenarnya mungkin tak mudah dijelaskan).
Yang ‘ada’
adalah yang kekal, yang tak pernah berubah, yang nyata. Jika dunia ini
berubah-ubah, apakah dunia ini ‘ada’? filsafat itu pekerjaan orang-orang ‘gila’,
selain tak akan menemukan akhir tujuan (selalu meragukan apapun, bahkan jawaban
yang sebelumnya ia ‘temukan’ dengan mantap), alam berpikir akan terus bekerja,
tanpa akhir kecuali kelelahan / mati. Dari proses tiada akhir itulah, mereka
yang mendapatkan pemahaman akan menjadi bijak, sedang yang tersesat akan
menjadi ‘negatif’.
- Lalu apa jawabannya? Mungkin. Dunia ini mungkin ada, mungkin tidak ada. Ini yang disebut dengan 'nisbi'. Lalu untuk apa semua ini - ada, jika itu hanya ‘mungkin ada’?
Kita bahas
makin dalam.
Indera manusia
terbatas (kita lihat bintang itu kecil, padahal besar. Kita lihat rel kereta
semakin jauh semakin menyempit, padahal tidak), atau bahkan mudah tertipu. Jika
indera kita menipu, lalu hasil penangkapan indera (yang terbatas dan mudah
tertipu) itu masuk ke akal, bagaimana akal akan menghasilkan ‘kebenaran’ jika
yang diolahnya saja, katakanlah, setengah benar : karena kemungkinan terbatas
dan tertipunya indera.
Lanjut.
Konsep ‘ada’
adalah produk akal. Kita telah bahas di atas bahwa akal tak bisa mengolah
sesuatu yang setengah benar menjadi benar. Bagaimana dengan konsep ‘ada’
tersebut, bukankah itu – konsep ‘ada’ – hasil olah akal? Sampai ini, aku masih
berproses, belum menemukan jawaban yang ‘mantap’. Kecuali, aku menyerahkannya
pada ‘iman’. Atau jawaban ‘praksis’ : ada atau tidak ada dunia – aku tak peduli
– aku akan menjadi orang baik.
Sebelum menjawab
sebelum dunia ini ada, kita runut dari pertanyaan : mana yang ‘ada’ lebih dulu,
manusia atau dunia (tempat tinggal)? Jika dunia-lah yang lebih dulu ada, maka
akan terjawab untuk apa manusia ada. Menempati, mengolah, memimpin, dll. Tapi,
inilah kegunaan filsafat, dari tujuan – awal – itu akan terus muncul
pertanyaan, terus, terus, dan terus. Pertanyaan-pertanyaan yang akan, bisa
berakibat baik, atau sebaliknya, buruk untuk dunia dan sesama manusia. Tapi jika
pertanyaan langsung dengan kalimat : Untuk apa dunia dan segala isinya ini ada?
Dan kita tak runtut berpikir, kita akan menemukan ‘kesesatan’. Berpikir runtut
saja belum tentu membawa kita pada kebijaksanaan, apalagi tak runtut. Dalam filsafat,
tak mengenal kata ‘yakin’, wahyu, atau iman. Karena semua itu kita harus
ragukan, dalam beberapa sisi. Seperti qur’an dan sejarah nabi, kita belum
bahas.
2.
Dunia ini terbuat dari apa (pertanyaan yang diajukan filsuf sebelum Socrates)
3.
Apa yang dilakukan atau dikerjakan oleh manusia?
4.
Bagaimana seharusnya manusia hidup?
5.
Bagaimana seharusnya manusia hidup baik secara moral (Socrates)?
6.
Apa itu yang baik (Plato)?
7.
Apa artinya mengetahui (Aristoteles)?
8.
Apa artinya mengeksis?
9.
Apa makna eksistensi? (Yudaisme)
10.
Apa makna hidup manusia, sejarah, penderitaan?
11.
Apa makna eksistensi dunia (Kristianitas)?
12.
Apa arti NYATA atau REAL?
13.
Apakah dunia ini nyata atau ilusi? (Hindu)
14.
Apa makna penderitaan?
15.
Apakah penderitaan sesuatu yang nyata?
16.
Apakah penderitaan bisa diatasi atau diakhiri? (Budhisme)
17.
Apakah hidup ini tidak memiliki makna (eksistensialisme)
18.
Apakah hidup ini absurd? (Camus)
19.
Apakah manusia bebas?
20.
Apakah manusia bebas dalam menentukan eksistensi dan tujuan hidupnya? (Jean
Paul Sartre)
21.
Bagaimana manusia bisa hidup dalam cara yang terhormat?
22.
Bagaimana agar manusia bisa hidup dengan keluarganya dan hidup secara
terhormat? (Confusius)
23.
Bagaimana kita menjadi yakin akan sesuatu (Descartes)
24.
Bagaimana manusia hidup dalam dunia yang dikuasai ilmu pengetahuan? (John
Dewey)
25.
Bagaimana manusia hidup dalam dunia yang dikuasai teknologi?
26.
Bagaimana manusia hidup dalam dunia dengan berbagai persoalan dan perubahan?
selanjutnya akan dibahas satu persatu. insya allah.