“Pencarian Tuhan tak akan pernah sampai pada kesimpulan. Tak
akan pernah sampai pada tujuan : selama manusia masih hidup. Manusia hanya
mampu semakin dekat, atau semakin jauh : jika ia tersesat,”
Sejenak merenungi apa yang terjadi saat ini, aku masih
merasa ‘tak percaya’. Bukan karena merasa menderita, sungguh. Sebaliknya,
semacam syndrome kerendahan diri yang begitu akut belum mampu aku hilangkan. Merasa
tak pantas, tak percaya, bahwa aku menjadi ‘seperti ini’. Ibarat manusia,
mungkin aku lebih pantas mendapat predikat ‘the cave men’ alias manusia goa,
manusia primitif. Atau seperti manusia goa ilustrasi dari Plato, yang
mendapatkan cahaya, lalu tak mau hidup di dalam goa lagi. Entahlah.
Saat SMP, dua tahun aku masuk di kelas unggulan. Selama dua
tahun itu pula aku ‘stress’, merenungkan mengapa aku dikumpulkan dengan anak
anak seperti mereka? Aku tak merasa cerdas, sedikitpun. Akhirnya, tahun ketiga
ku buktikan, bahwa aku tak pantas bersama mereka, masuklah aku ke kelas ‘neraka
jahanam’. Nyaris tak ada yang paham setiap guru menjelaskan materi, termasuk
aku. Konyol. Tapi aku, saat itu, memiliki mimpi, ingin menjadi polisi yang
benar benar baik, atau tentara yang suatu saat ikut perang lalu gugur di medan
pertempuran.
Ketidakpercayaan bertambah, saat mendaftar di SMK semi
militer. Tertolak, lalu akhirnya menyerah, ingin menjadi petani saja membantu
orangtua di sawah. Aku tak percaya, aku tertolak dari sekolah impian itu. Masuklah
aku di SMA paling sekarat. Satu kelas dengan berandalan, tak pernah mau
belajar, menghendaki kebebasan. Gila. Ini membuat ketidakpercayaanku semakin
tinggi. What the h*ll, aku satu ‘kandang’
dengan manusia manusia bebas seperti mereka? Tapi justru, di sekolah itu aku
menjadi ‘aku’. Pintu gerbang perjalanan intelektual dan spiritual.
Dari SMA paling Madesu itu, aku terlempar jauh pada kampus
nan megah dan indah. Hampir tiap selesai isya aku termenung di masjid, “Ini
pasti mimpi,” aku tak pernah percaya, seorang ‘manusia primitif’ seperti aku
mampu masuk kampus seperti itu. Gila. Aku gila. Dikenal orang sebagai laki laki
stress yang suka senyum senyum sendiri. Mereka tak paham yang aku rasakan,
bahwa belajar di tempat seperti itu, bahkan tak pernah terbayangkan setitik
impian pun. Gue keren, men ! Teriak
gila aku pada diriku sendiri.
Pencarian Tuhan pun dimulai. Aku mulai meragukan kehidupanku
sendiri. Bisa jadi ini semua adalah mimpi. Maka di pintu kamar kos, aku tulisan
besar besar THIS IS JUST A DREAM! Konflik batin sering terjadi, bukan hanya
karena petualangan intelektual saja, tapi juga pengalaman hidup, penderitaan manusia,
‘ketololan orang orang cerdas’, juga cinta. Ketertolakan mutlak.
Aku menulis :
Aku melihatMu, saat aku kehilangan diriku
Dan aku melihat diriku sendiri saat aku kehilanganMu
Atau,
Seseorang yang mencari Tuhan, seperti seseorang yang mencari
suara dalam kegelapan malam. Saat cahaya mentari mencerahkannya, ia sadar bahwa
yang ia cari cari selama ini adalah dirinya sendiri.
Atau
Tuhan menciptakan semua ini dengan bahan bahan dari diriNya
sendiri. Lalu, siapakah aku jika tercipta dariNya?
Atau
‘aku lebih hebat dariMu, Tuhan. Aku dapat tersenyum,
sedangkan Engkau tidak,’ kataku.
‘kau kira senyum itu milik siapa? Aku!’ jawabNya.
‘hahaha’ aku tertawa sendiri.
‘juga tawa itu, juga milikku!’ kataNya lagi.
Tawaku semakin riang. Begitu mesra saat saat itu.
Kini aku sadar, bahwa pencarian Tuhan tak akan pernah sampai
pada kesimpulan. Tak akan pernah sampai pada tujuan : selama manusia masih
hidup. Manusia hanya mampu semakin dekat, atau semakin jauh : jika ia tersesat.
Selama akal mampu mendefinisikan, menjelaskan Tuhan, maka pasti itu salah. Karena
memikirkanNya pun (menggunakan akal) sudah pasti salah : tak akan sampai.
Tentang cinta, yang pertama adalah wanita pemilik dunia. Kedua,
wanita salih mulia. Ketiga, wanita cerdas cendikia. Semuanya gagal, dan itu
menjadikan hati kecilku berbisik : apakah jodohku kombinasi dari tiga kualitas
itu? Satu ketidakpercayaan yang sangat ‘berat’. Aku akan merasa sangat amat
tidak pantas.
Seorang teman bercanda, ‘biasanya, orang salih sepertimu itu
dapatnya wanita semacam PSK atau wanita jalang,’
‘ajib, lu doain gua kok gitu? Tega amat. Lagian, sebelah
mana dari diri gua ini yang kelihatan salih? Gembel seh iya. Haha,’ jawabku.
‘gua bukannya doain, tapi biasanya. Cuma biasanya doang,’
‘yaaa... kagak mau lah,’
‘tapi kalau Tuhan berkehendak begitu, gimana lu?’
‘yaaa... poligami,haha,’
‘dasar lu, kagak mau rugi,’
Hahaha....
Dalam hati kecilku, siapapun wanita itu, walillahi ‘aqibatul umr... hal hal yang
di luar kuasaku, semua ku ‘lemparkan’ pada Tuhan. Karena memang padaNya lah
semua urusan kembali. Aku tak memikirkan itu, dan mungkin itu yang membuatku
tak percaya dengan keadaan ketika itu (wanitadengan tiga kualitas itu) terjadi.
Lagipula, apakah ada wanita seperti itu di bumi? Mungkin di surga, iya, di
surga. Mungkin. Karena yang ku yakini hanya dua : Tuhan, dan rasulNya. Selain itu, mungkin, ya, mungkin.