Mengapa, meski kita dalam musibah, tapi tetap mengucap alhamdulillah dalam setiap sholat kita?
Freud pernah berkata tentang imajinasi : Orang orang yang
bahagia, tak pernah berfantasi. Itu (berfantasi) hanya dilakukan oleh orang
orang yang tak puas dengan kehidupannya. Apa benar? Bisa jadi, ia mengukur
keadaan mental orang lain dengan standar yang ia miliki.
Kabar baik hari ini, adalah, bahwa sebagian siswaku menerima
dana BSM (beasiswa miskin). Entah mengapa harus pakai kata ‘miskin’. Aku rasa
itu terlalu merendahkan, meski secara denotatif, itu benar.
Kabar tidak baiknya, seorang tetangga, ia kembar, perempuan,
keduanya masuk rumah sakit, ditambah, ayahnya juga sakit : meski tak harus
dirawat di rumah sakit. Mereka adalah bibi dari salah seorang siswa sekolah
itu. Seorang manusia yang baik, ia tak mungkin melepaskan diri dari penderitaan
sesamanya. Anggap saja, rasa peduli kami pada mereka berdua adalah cerminan
kecil derita kami atas musibah negeri ini.
Sekalipun kitab suci sudah sangat jelas menerangkan tentang
musibah kehidupan, namun tetap saja seringkali akal tak mampu menerima
kenyataannya. Wa lanabluwanakum syai’im
minal khoufi wal juw’i wannaqshim minal amwali wal anfusi watsamaroot... di
kalimat yang lain, Ia berkata kullu
nafsin dza’iqotul maut, wa lanabluwkum bisy syari wal khoiri fitnah... dan
kalimat penenangnya adalah aladziyna idza
ashobathum mushibah, qolu innalillahi wa inna’ilaihi roji’un... barangkali,
kita akan berkata : kami paham, Tuhan. Kami paham. Tapi... mengapa terasa
begitu berat?
Bisa jadi, rasa berat mereka yang tertimpa musibah, bukan
karena musibah itu sendiri. Melainkan melihat orang orang di bagian bumi sana
(sangat mungkin itu kita), merasa tak terjadi apa apa dengan saudara mereka
disini. Atau, para ulama yang hanya mampu berceloteh tentang kesabaran dan
kepasrahan, tapi ketika mereka kembali ke rumah, mereka dapat makan kenyang dan
tidur nyenyak seakan tak terjadi apa apa pada mereka yang lemah. Atau, pada
para pemimpin. Mengapa, jika yang salah adalah para pemimpin negeri, namun yang
tertimpa bencana adalah rakyatnya? Bukankah wa
la taziruw wazirotun wizro ukhro? Seseorang tak memikul beban kesalahan
orang lain? Syukur, jika para pemimpin kita sadar, lalu benar benar fokus
menolong kita yang sedang dalam bencana, sampai benar benar hilang bencana ini.
tapi bagaimana jika tidak? Bagaimana jika mereka justru cuek, atau lebih
parahnya lagi, malah menggunakan bencana ini sebagai ajang popularitas? Barangkali,
ini yang dinamakan tragedi.
Selepas isya ini, aku bertanya pada diriku sendiri :
mengapa, meski kita berada dalam bencana, musibah, tapi tetap saja dalam sholat
kita mengucap alhamdulillahirobbil alamin
arrahmanir rahim...? Apa yang disebut misteri barangkali ini, ketika akal
berusaha terus menerus menggali pencerahan yang ingin Tuhan sampaikan. Agama ini
mengajarkan ‘kegilaan’, tetap ‘bahagia’ meski berada dalam bencana. Kegilaan,
bahwa apapun yang dicelotehkan para ulama yang ‘tak berkepedulian’, tak akan
menjadikan kita tak merasa puas atas hidup ini. Apapun yang dilakukan para
pemimpin jahat itu, kami tak akan berputus asa terus mendoakan mereka agar
mendapatkan hidayah, atau diganti dengan yang lebih amanah. Bisa jadi, kami,
rakyat, yang tertimpa bencana, karena tak pernah mau mendoakan para pemimpin
jahat itu agar disadarkan. Apapun yang dilakukan para pemimpin zalim itu, tak
akan membuat kami berubah menjadi manusia jahat. Karena kami para ‘pembaca’ qulhuw allahu ahad... bahwa kami
bersaksi hanya satu Tuhan kami, yaitu Allah, dan apapun yang diputuskanNya,
kami menerima : ikhlas.
Aku harap, kata kata di atas bukan sekedar fantasi, atau
ungkapan picisan candu penenang hati. Bukan sebatas ekspresi skizofrenia atas
bencana bertubi tubi di negeri ini. Jika pun bermimpi itu mahal, tak ada yang
tahu apa mimpi kita selama itu tersimpan rapi dalam hati. Negeri ini tak pernah
kekurangan mimpi (itu tak harus impor), kita hanya kekurangan orang yang mampu
memasukan mimpi mimpi itu ke dalam kepala anak anak kita.