Ketika kita mengatakan bahwa para ulama itu (setengah) wali,
itu menandakan berkurangnya rasa kita dalam memuliakan rasulullah. Tapi di sisi
lain, kita akan terjebak pada semacam ‘ego’, bahwa semua ulama itu sama
(seperti kita) di hadapan Allah. Itu juga salah. Dalam hal ini, rasulullah
benar benar memberi contoh terbaik, yaitu sifat ra’uf ar rahim atau dalam bahasa kita adalah bijak dan sayang, jika disederhanakan, santun.
Mengapa ketika kita memuliakan wali atau ulama secara tidak
langsung kita mengurangi sikap memuliakan rasul? Siapa yang kita ikuti, rasul
atau ulama (wali) atau (yang katanya) pewaris para nabi? Para ulama mungkin
akan berkata : Anda akan belajar Islam secara langsung pada rasulullah?
(dan ini akan ditertawakan jamaahnya).
Tapi, bukankah rasul berpesan : Aku tinggalkan dua hal yang
jika engkau mengikutinya, kau tak akan tersesat selamanya, kitabullah dan
sunnah nabi?
Jika bukan pada para ulama, kau akan belajar pada siapa dua
hal itu?
Tapi apakah harus berlebihan dalam memuliakan, bahkan
menganggapnya (setengah) wali, sedangkan kita sebenarnya tidak tahu beliau wali
atau bukan karena (jika memang ia wali) hanya sesama wali saja yang mengetahui
sesamanya? Bukankah akal dan hati kita sudah cukup? Inna fii kholqis samawati wal ardli wakhtilaf fii laili wan nahar li
ayatilil ulil albab. Aladzina yadzkurunallaha qiyamaw wa qu’udaw wa ‘ala
junubihim wa yatafakaruna fi kholqis samawati wal ardli ; wa qolu rabbana ma
kholaqta hadza batiila ; subhanaka faqina adzabannar ?
Ulama yang bijak, jika mendengar pemberontakanku ini, barangkali akan berkata : Ya sudah... ananda
pelajari saja ya sendiri, jangan mengusik yang lain.
Tapi mengapa, sebagai ulama yang telah ‘memiliki’ jamaah,
tidak mengajak jamaahnya untuk menjadi ulul
albab (memerdekakan akalnya), justru menguatkan perintah bahwa taklid
(buta) itu tak apa apa? Bukankah itu akan menetapkan umat agama ini dalam
kebekuan berpikir?
Apa yang membuatmu berkata umat ini menetap dalam kebekuan
berpikir?
Dari jamaah kita (nahdliyin), ulama mana yang menjelaskan
dengan gamblang tentang tarekat, agar tak terjerumus pada kemusyrikan dan
mubadzir (atau bid’ah)? Ulama mana yang menceritakan dengan bijak tentang wali
sembilan, tanpa mengurangi rasa cinta kita pada rasulullah, karena yang kita
ikuti bukan wali sembilan, tapi rasulullah? Ulama mana yang menjelaskan dengan
terang tentang tawassul, bahwa itu bukan menitip
doa (washilah), melainkan
mendoakan, dengan semacam hierarkis :
Rasulullah ; Ulama pendahulu ; ahli kibur?
Pada akhirnya, aku tahu, bahwa
benar firmanNya wa lana a’maluna wa lakum
a’malukum : bagiku amalku, bagimu amalmu. Kita bebas menentukan apa yang
kita lakukan, tanpa ketakutan akan ‘karomah’ ulama yang akan mengutuk kita
(karena tak mengikutinya). Karena sebenarnya agama ini mengajak kita untuk
sadar tentang konsekuensi logis : famanihtada
falinafsih wa mandlola fa’innama yadlilu’alaiha. Siapa yang mendapat
petunjuk, itu untuk dirinya sendiri ; begitupun sebaliknya, siapa yang sesat
(jika saya sesat) maka untuk dirinya sendiri.
Dalam hal ini, sifat rasulullah ra’uf ar rahim (santun), ketika
menanggapi pengikut ulama atau ulama itu sendiri, menuntut kita untuk tetap bersikap
baik, tidak menghujatnya, mengejeknya, tetap menghormatinya apapun tindakannya
; meski juga tidak mengikutinya (karena yang kita ikuti adalah rasulullah).
Di sisi lain, dengan pertanyaanku
tentang ulama yang kaya :
Mengapa sebagian ulama seakan
mempertontonkan kekayaannya? Siapa sebenarnya yang dicontoh, bukankah
rasulullah mengajarkan kesederhanaan?
Rasulullah juga manusia, kami
mencontoh rasulullah, tapi tidak dengan sifat manusianya.
Mengapa dipisahkan begitu?
Karena berbeda, Muhammad menjadi
rasulullah ketika mendapatkan wahyu. Muhammad sebagai manusia biasa ketika
wahyu tak bersamanya.
Lalu, ini yang ku sebut dengan
liberal. Ulama ulama kaya yang memisahkan Muhammad sebagai rasulullah dan
Muhammad sebagai manusia biasa. Jika pun Muhammad adalah manusia biasa, aku
yakin (karena yang kuyakini hanya beliau dan Allah), ia akan tetap menjadi
manusia yang paling sempurna, paling layak dicontoh sepenuhnya, bukan setengah
setengah (mencontoh kerasulannya, tapi menolak kemiskinannya). Seseorang
dikatakan miskin bukan karena mereka tak
bekerja, tapi karena rizkiNya hanya bisa untuk makan sehari hari. Allahumma
sholli ‘ala sayyidina muhammad ; semoga engkau memaafkan kami rasulullah. Amin.