Bulan Februari awal, pertanyaan ini juga ditanyakan oleh
seorang sahabat muda PMII UPI Bandung, saat aku memberi kajian. Sesuai dengan
tema yang mereka inginkan, kami membahas novel ‘Dunia Sophie’, buku yang aku
sendiri belum pernah membacanya : apalagia beli, tak punya uang. (hehe)
Sampai saat ini, aku sendiri membedakan tugas akal dan hati
(rasa). Akal aku persilahkan untuk terus bertanya, berontak, bergejolak,
terlebih dengan apa yang dinamakan ‘kenyamanan’. Hati, sebaliknya, aku pinta ia
untuk selalu yakin, pada Tuhan dan utusanNya, tanpa bertanya. Karena bertanya
itu tugas akal. Jadi, di satu sisi aku mempertanyakan segala hal, termasuk
Tuhan. Namun aku masih mampu melakukan ibadah, bahkan sesekali mengalami ‘skizofrenia’
(ekstase/trance).
Baiklah, kita mulai bahas saja.
Jika yang ‘ada’ hanya Tuhan, lalu dengan apa Ia membuat ‘ada’
semua ini?
Akal tersesat, dan hanya ‘melihat’ satu jawab : Dari Tuhan
sendiri.
Jadi, jika bahan dasar alam semesta dan termasuk manusia
adalah Tuhan, kita adalah...... Tuhan?
Saat aku mengatakan ini di hadapan sahabat-sahabat PMII, aku
tertawa, sedang mereka – hampir semuanya – memegangi kepala mereka : depresi
mendengar pernyataan itu.
Aku sampaikan pada mereka agar jangan pulang dulu sebelum
penjelasan saya selesai. Karena nantinya akan benar-benar ‘tersesat’. Lalu aku
jelaskan lebih lanjut.
Tingkat pemahaman manusia akan Tuhannya, paling tidak ada
tiga :
1. 1. Manusia menganggap Tuhan adalah sosok maha besar
yang berada nun jauh di atas langit. ‘Bayangan Raksasa’ yang selalu mengawasi,
memberi pahala pada mereka yang baik dan menyiapkan surga, memberi dosa pada
mereka yang jahat dan menyiapkan neraka, yang mengatur segala kehidupan langit
dan bumi. Tuhan adalah ‘Diri Personal’.
2.
2. 2. Tuhan berada di dalam segala sesuatu (prinsip
imanensi) dan Tuhan mengatasi/berada di atas segala sesuatu (prinsip
transendensi). Ini, sudah mulai rumit untuk ‘dicerna’. Terakhir,
3. 3. Hanya Tuhan-lah satu-satunya yang ‘Ada’. Jika kita
‘ada’, maka kita adalah Tuhan.
Persoalan tentang pemikiran ini sangat amat rumit, bagiku. Mungkin
bagi pembaca di sana, ini mudah – terserah. Setiap aku menjelaskan ini pada
teman yang bertanya, aku sarankan untuk tidak meninggalkan sholat apapun yang
terjadi. Karena terus terang, justru aku banyak mendapat jawab dari
pertanyaan-pertanyaan ‘menyebalkan’ ini dari sana : sholat.
Tingkatan itu, apakah benar? Tentu saja, belum tentu. Semua itu
dirumuskan oleh akal, sedangkan akal, dipertanyaan sebelumnya sudah aku
asumsikan ia tak akan mampu mencapai wilayah ketuhanan. Apakah dibenarkan
seseorang yang berpikir seperti itu? Galileo ‘menjawabnya’ : Jika Tuhan tak ingin
manusia memikirkan-Nya, mengapa Ia memberi kita otak?
Tentu, untuk sampai pada pemikiran itu, aku sendiri
berkali-kali ‘depresi’, dan sangat banyak teman yang menyebutku ‘gila’ / ‘sableng’
saat masih kuliah. Semua itu aku awali dari kuliah.
Jika kita adalah Tuhan, untuk apa sholat / ibadah kita? Jawabannya
mudah : untuk diri kita sendiri. Lho, kita ‘kan Tuhan, mengapa harus sholat? Kita
sholat untuk menyembah ‘diri’ kita sendiri. Satu yang pasti, kita memiliki
seorang penuntun. Siapa? Rasulullah. Selanjutnya, itu adalah asumsi akal – jika
kita ‘ada’, maka kita adalah Tuhan – jadi tak bisa kita imani. Sesuatu yang
layak kita yakini adalah wahyu, bukan hasil dari akal kita. Apakah wahyu tak
dapat dirasionalkan? Sebagian dapat, sebagian belum. Mengapa? Potensi akal
manusia yang berbeda-beda.
Mencari asal-usul alam semesta, seperti mencari asal-usul
Tuhan.
Apakah tak boleh? Galileo, sekali lagi, telah menjawabnya.