Seorang pemuda
terbangun di pagi hari dengan satu pikiran mengganjal : yang selalu mengganggu
tidur malamnya. Sesaat setelah ia terjaga, ia memikirkan sesuatu yang akan ia
tinggalkan dalam akhir studinya. Ia berpikir tentang generasi penerus yang,
selain ‘melek buku’, juga ‘melek pena’ – menulis. Ia berpikir, harus ada
orang-orang yang bisa ia wariskan sedikit kemampuan menulisnya. Harus ada
orang-orang muda yang bisa meneruskan jejak langkahnya : menjadi ‘tukang’
kritik. Ia berpikir, di kampus tempat ia melakukan studi, harus ada yang mau
menjadi ‘sang pencerah’ untuk kaum yang masih ‘tertidur’. Ia berpikir, kritik
pada para penguasa dan penindas harus selalu ada. Jika kritik itu tak mampu
mencabut suatu kebijakan bodoh – sangat mungkin tidak bisa – di kampus itu,
maka paling tidak ia memberi ‘pencerahan’ pada sesamanya : bahwa mereka sedang
dianiaya. Ia berpikir, harus ada orang-orang yang siap menderita dianggap
‘orang gila’ karena tindakannya. Tindakan tiada henti mengingatkan sesamanya,
bahwa mereka tengah dipermainkan oleh penguasa. Dan orang-orang itu, haruslah
manusia-manusia yang suka pengalaman baru, suka berpikir, dan merasakan
perasaan orang lain. Agar tidak hanya bisa bicara dan mengritik, tetapi juga
mengalami – atau minimal memikirkan/merasakan – apa yang dialami orang lain.
Apa jadinya jika ‘si cendekiawan’ yang suka mengritik itu tak merasakan
beratnya menjadi ‘kaum yang dilemahkan’, hanya mampu bersuara saja – seperti
kentut?
‘Si pemuda’ telah
menyiapkan warisan berupa dua buku panduan untuk mereka yang siap ‘terbuang’ :
disepelekan. Namun ia ragu, apakah ‘berhala’ – buku-bukunya – itu cukup untuk
menciptakan manusia merdeka? Atau jangan-jangan, kelak mereka hanya seperti
boneka-boneka ventrilonquist yang digerakan oleh ‘benang-benang’ penguasa? Ia
ragu, suatu saat buku – tak berharganya – itu justru menjadi penguatnya untuk
mendukung para penindas. Bukankah buku tak pernah memiliki hati?
Keraguan itu
menguatkannya. Harus ada manusia-manusia yang terbuka matanya. Siap mengritik
apa saja yang membuat ‘rakyat’ kampus tidak merasa bahagia. Terlepas kritiknya
itu dipedulikan atau tidak oleh ‘rakyat’, ia harus tetap bergerak. Ia harus
tetap bertindak, ‘menendang’ kebijakan-kebijakan yang tak memihak. Dan tanggung
jawab ini, harus dimiliki oleh manusia-manusia yang berhati sekaligus berakal.
Bukan manusia-manusia yang puas dengan kedangkalan logikanya – menjadikan
mereka seperti iblis impoten, bukan juga manusia-manusia yang sok memiliki
hati, bertindak layaknya malaikat yang lepas dari kesalahan diri. Ia harus
manusia : yang memiliki hak untuk benar dan melakukan kesalahan. Ia harus
manusia yang dalam hatinya mampu merasa, sekaligus radikal dalam berpikir.
Suatu saat manusia ini mungkin tergiur dengan tawaran penguasa, namun jika
hatinya masih hidup dan ‘sang akal’ kontinyu dalam kejernihan : ia akan
bertahan dalam penghinaan.
‘Si pemuda’ berpikir,
jika manusia-manusia yang hendak diinisiasinya hanya memiliki akal, ia tak
mungkin mampu menerima kontra-kritik. Ia harus berhati. Kritik tanpa
kontra-krikik hanya akan menjadi bencana. Satu bencana untuk ‘si cendekiawan’
pengritik, satu bencana lagi untuk ‘rakyat’ yang jatuh terlalu memujinya. ‘Si
cendekiawan’ yang tak berhati, ia akan melawan ‘sang kontra-kritik’ : jelas itu
salah sasaran. Ia mungkin pada akhirnya akan berbalik mendukung ‘penindas’ jika
tak legowo menerima kritik dari
sesamanya. ‘Si cendekiawan’ harus rela melepaskan keterkenalan, harus bersih
dari unsur pemujaan – massa ,
harus jernih pemikirannya baik dalam menanggapi kontra ataupun tawaran dari
penguasa. Ia tak boleh jadi pahlawan yang suci dari kritikan. Ia tak boleh jadi
pahlawan, yang hidup jauh dari kerumunan orang-orang. Ia tak boleh jadi
pahlawan, yang setiap langkah dan ucapan, menjadi bahan tepuk tangan. Ia harus
menjadi manusia sederhana, selalu kontinyu menjadi bawahan kebenaran universal.
Tiba-tiba ‘si pemuda’ terhenyak, ia menggumam, “Berimajinasi, selalu lebih mudah daripada aksi,” barangkali ia pesimis, bahwa tidak ada lagi manusia muda yang seperti impiannya. Manusia yang mudah tersenyum manis di tengah-tengah
Ditulis Rabu, 22 Februari 2012, dua bulan sebelum kelulusan tanpa wisuda yang tak masuk akal.