‘Tanpa bukti, apakah sesuatu dapat dikatakan kebenaran?’
Alasan mengapa aku seakan tak mau ‘menuntut ilmu’ pada
seseorang yang, katakanlah, lebih berilmu, adalah karena ‘kesombongan’. Tidak sedikit,
para seniorku dulu saat kuliah yang menganggapku sesat/gila/atau bahkan murtad
: suspect yang wajib dihindari. Berapa banyak mahasiswa yang karena hanya
sekali dua kali mengikuti sesi diskusi denganku, mereka memilih meninggalkan
ustadz mereka, lalu bergabung dengan forum diskusi kami yang ‘liberal’ :
membahas apapun tentang hidup. Mengapa, mengapa aku seakan begitu menyebalkan?
Justru ketika aku memutuskan untuk tidak belajar pada
seseorang, itu adalah rasa penghormatanku. Mengapa? Di dalam kepalaku, ada
banyak sekali pertanyaan tentang kehidupan ini, yang jika itu ku diskusikan
dengan niatan baik, siapapun akan merasa sedang dites, atau diuji sedalam mana
pemahaman hidupnya. Jika itu terjadi, aku telah membuat seseorang mengotori
jiwanya. Bagaimana bisa? Membuatnya marah, dan berburuk sangka. Jangan jangan
aku yang berburuk sangka? Sebelumnya, aku telah mencoba berulang kali, dan
hasilnya, adalah yang ku tulis itu.
Lalu apa yang aku lakukan, dengan pikiran yang tak pernah ku
tutup ini? otodidak. Resikonya? Tersesat, menjadi aneh, asing. Tapi, itu resiko
untuk seorang yang tak pernah berhenti ‘mencari’ kebenaran. Kebenaran apa? Tuhan.
Orang orang tua, atau mereka yang bijak akan mengatakan,
bahwa aku masih terlalu muda, harus banyak belajar lagi. Apakah, pernyataan ‘terus
belajar’ hanya diperuntukan untuk manusia muda? Bagaimana dengan orang orang
tua, apakah mereka sudah boleh berhenti belajar? Lalu mana penerapan long life education atau menuntut ilmu
dari buaian sampai liang lahat (tholabul
ilmi minal mahdy ilal lahdi)?
Pikiranku tumbuh di alam berpikir yang selalu ragu. Bertanya,
bertanya, dan bertanya. Siapa guru yang selalu senang dengan pertanyaan
pertanyaan dengan nada seakan menggugat seperti itu?
Lalu, bagaimana denganku, sebagai seorang pendidik, apakah
senang dengan anak yang suka bertanya? Jawabannya, ya. Aku akan senang sekali,
jika ada anak anak di sekolah itu yang ‘sensitiv’ dalam hal bertanya. Aku menghormati
guru guru belajarku, tapi tak akan melakukan kejelekan yang mereka pernah
lakukan : sebal pada siswa yang kritis.
Tugas seorang pendidik, aku seringkali berkata pada para
guru sekolah itu, seakan seperti mengemban ‘setengah tugas nabi’. Mengapa? Karena
pada merekalah, ‘ilmu’ berada. Tersesatnya seorang guru, akan menjadi sesat
sebanyak orang yang mendengarkannya. Mungkin, ini yang sedang terjadi dengan
umat ini.
Seorang guru, pendidik, ulama, adalah mereka yang tak pernah
menutup pikirannya. Terbuka pada hal hal baru, pembelajar sejati, mengemban
tugas setangah nabi. In other word, guru
adalah nabi tanpa wahyu.
Guru yang bagaimana?
Bukan, bukan mereka yang tersibukan mencari dan mengumpulkan
imbalan : harta. Bukan mereka yang menjadikan kecerdasan sebagai alasan
pertengkaran sesama orang pandai. Bukan mereka yang merasa cukup dengan ilmu
yang dimilikinya. Bukan mereka yang menganggap anak, atau manusia sebagai objek
dari apa yang dipikirkannya. Bukan mereka yang kasar, menutup diri, menganggap
diri paling suci, paling benar.
Ia adalah seorang penuntun jalan kebenaran. Penuntun yang
tak pernah berhenti, karena pencarian kebenaran di dunia ini tak mungkin
ditemukan. Pertanyaan pertanyaan :
Siapa aku?
Darimana asal muasal semua ini?
Jika Tuhan menciptakan, maka sebelumnya Ia berpikir. Mengapa
Ia ‘berubah’ dari ‘tidak berpikir’ menjadi ‘berpikir’ untuk menciptakan dunia?
Dan pertanyaan menyebalkan, jalan terjal penemuan Tuhan,
lainnya.
Seorang teman pernah bertanya :
Apa bukti adanya Tuhan?
Adanya alam semesta dan seisinya.
Jika alam semesta dan seisinya tidak ada, apakah Tuhan tetap
ada?
Tetap ada.
Jadi, apa bukti yang, membuktikan bahwa ada atau tidak
adanya alam semesta, Tuhan tetap ada? Apakah sesuatu dapat dikatakan ‘kebenaran’
jika tanpa bukti?
Pertanyaan pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang ‘tidak
penting’. Omong kosong, percuma, tak berfaedah, kata sebagian ‘ulama’. Dan seorang
guru yang baik, ia tak akan mematahkan semangat pencarian anak anaknya. Sebaliknya,
ia akan menuntun, menemani, sejauh apapun anak anaknya berjalan, mencari, agar
ia tak tersesat dan melukai dirinya sendiri.
Seorang guru, dengan tugas setengah nabi, akan selalu
menguatkan kesadarannya, bahwa apapun yang terjadi dalam hidup ini, ujian hidup
akan datang. Menjadi orang baik atau pun jahat, pintar ataupun bodoh, kaya atau
pun miskin, berkuasa atau teraniaya, ujian akan tetap menimpa. Bahwa semua
predikat keduniaan, harta, anak, suami/istri, jabatan, semua akan tertinggal,
dan sama sekali tidak bisa menolong apa apa ketika manusia sekarat. Hanya orang
yang selalu mencari kebenaran lah, yang mencatat perjalanannya, melahirkan buku
atau catatan kebaikan, yang akan terus hidup, meski tubuhnya telah mati.
Semua manusia akan mati, kecuali ia yang menulis.
Tugas seorang guru itulah, yang sebaiknya menyadarkan semua
manusia tanpa terkecuali, untuk mencatatkan sejarah hidupnya. Lebih khusus,
mereka yang tertindas dalam hidupnya. Surga dan neraka tak akan pernah kita
ketahui, sedang penderitaan hidup (untuk mereka yang hidup teraniaya) adalah
kenyataan yang dialami, secara langsung, kontan, dalam hidup ini. Jika bukan
dengan catatan yang nantinya ‘dinikmati’ orang orang setelahnya, kenikmatan apa
yang bisa didapat (sedang surga belum tentu kita mendapatkannya).