“Sungguh, aku
mencintaimu. Dua atau tiga bulan lagi, aku akan ke rumahmu, bicara dengan
orangtuamu, meminangmu. Selama waktu itu, aku tak akan menghubungimu – aku ingin
menjaga hatimu. May, aku pastikan aku setia. Aku hanya tak ingin kesucian niat
ini kita kotori dengan pertemuan-pertemuan kita. Tapi jika suatu saat engkau
merasa ada yang mampu membahagiakanmu, insya allah May, insya allah sesakit
apapun, aku akan ikhlas...”
Seorang sahabat bertamu ke rumah. Kami berdiskusi tentang ‘cinta’
atau lebih tepatnya ‘persiapan rumah tangga’. Banyak yang kami bicarakan, salah
satunya tentang pikiran wanita. Seorang pria tak akan memahami pikiran wanita
sekalipun meneliti seribu wanita. Tapi untuk memahami pikiran seluruh pria,
wanita cukup meneliti pikiran satu pria. Meski menyebalkan, ini kebenarannya –
kenyataannya. Apakah ada pengecualian? Tentu. Untuk mereka, para pria yang
memahami ‘apa itu rasa/hati’. Wanita akan ‘kelabakan’ menghadapi laki-laki yang
seperti itu. Siapa contohnya? Cassanova. Siapa dia? Cari aja di google. (hehe)
Dia bercerita, bahwa wanita muslim yang taat, mencari suami
yang salih, pintar mengenai agama, cerdas. Tapi aku sangkal, karena memang
tidak semua. Aku katakan, The Truth is
Ugly. Kenyataannya saya – ia mengira aku yang paham (sedikit) agama, tidak mudah
diterima wanita muslim yang taat. Di antara berbagai ‘kecacatan’ yang aku
miliki tiga hal yang membuat wanita salihah
enggan ku berikan jaminan.
“Pertama, ‘kecacatan fisik’ bahwa saya terlalu kurus
(kerempeng), kedua, saya tak memiliki kekayaan yang ‘wah’ – miskin, ketiga,
pemikiran saya yang ‘liberal’,”
Karena itulah, aku tak memikirkan tentang persiapan rumah
tangga untuk saat-saat ini. terlebih dengan amanah sosial yang sedang aku
emban.
Bahwa hidup adalah pilihan, untuk sebagian orang benar. Tapi,
ada orang-orang tertentu yang – meski tak masuk akal, hidup atas dasar
keharusan, bukan pilihan.
Suatu pilihan, dapat dikatakan ‘pilihan’ ketika semua
alternatif memberikan kebaikan – yang mungkin tak sama besar. Tapi jika
dihadapkan pada kebaikan dan kejelekan – misalnya, itu bukan suatu pilihan,
melainkan keharusan. Contoh, silahkan pilih, isi buah nangka atau kulitnya. Ini
bukan pilihan, ini adalah keharusan. Tapi jika, silahkan pilih, buah jeruk apa apel
: ini baru pilihan.
Satu contoh manusia yang harus ‘tersiksa’ dalam prinsip ‘keharusan’
adalah aku sendiri. Dihadapkan pada penitian karir di negeri seberang atau
mengabdi pada desa yang Madesu? Jelas ini bukan pilihan, ini ‘pemaksaan’ amanah.
Memilih menunggu kakak menikah atau menikahi wanita salih yang hanya meminta
mahar surat ar rahman? Jelas ini bukan pilihan (seperti buah nangka dengan
kulitnya tadi), melainkan ‘pemaksaan’ : keharusan. Memilih mencintai seorang
gadis dan tinggal jauh dari orangtua, atau tinggal di desa mengabdi untuk
masyarakat lemah? Jelas lagi-lagi ini bukan pilihan, ini ‘keharusan’. Mengatakan
bahwa hidup adalah pilihan di hadapan orang yang hidup atas dasar ‘paksaan’ –
keharusan, itu sangat menyakitkan. Pertanyaan yang dulu aku sering tanyakan
adalah : mengapa aku? Jawabannya? Tuhan tak akan memilih siapapun untuk
mengurusi tugas-Nya, kecuali Diri-Nya sendiri. Orang-orang bisa saja menghibur
: masa depan kamu cerah, kamu dapat surga, pahala. Aku tegas katakan : itu
terlalu rendah bagiku. Aku tak mengharapkan apa-apa lagi dalam hidup ini.
Kata-kata di awal cerita adalah kalimat yang aku katakan
pada wanita kedua : ia yang menginginkan mahar surah ar rahman. Aku tanya pada
guruku, apakah boleh mahar seperti itu? Boleh. Bahkan jaman rasulullah ada yang
maharnya hanya cincin dari kawat, atau Sayyidina Ali Kwh memaharkan baju
perang, ada lagi yang maharnya 30 Juz Alqur’an – karena memang sahabat itu
seorang hafidz. Tapi, baiknya mahar yang bisa digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari. Karena istri-lah yang mengurusi kehidupan sehari-hari keluarga di
rumah.
Saat SMA ,aku juga pakai kata-kata itu pada tiga wanita yang
menyukaiku – meski tak ada kata pinangan. Semua wanita ku anggap sama : mereka
suci. Dan aku tak mau mengotori, apapun alasannya : telah meminang atau bahkan
diizinkan ustadz atau bahkan orangtuanya. Selama ia belum sah, aku akan menjaga
jarak : kecuali memang hal-hal yang darurat / mendesak. Lalu bagaimana dengan
komunikasi sosial, dengan wanita lain? Berbeda hal-nya jika kami dalam satu
lembaga kerja, atau organisasi. Aku bukan tipikal laki-laki yang sok suci. Salaman
dengan non-mahram saja aku masih lakukan – jika memang itu dianggap salah. Tapi
dalam hal pinangan, tak ingin aku mencuri-curi kesempatan untuk berduaan.
Kenyataan memang terkadang menyakitkan. Tapi, rasa sakit itu
yang membuat manusia – mungkin secara tak sadar – menguatkannya. Jika ternyata
wanita yang kita setia – berkorban, katakanlah – padanya menerima pria lain
dalam jangka waktu itu, mengapa kita harus menikahinya : dia tak setia pada
kita yang setia? Kontradiksinya – kebenarannya – adalah, semakin salih seorang
wanita, semakin mudah ia untuk dipinang. Semakin berkah seorang wanita, semakin
mudah maharnya. Wanita yang ‘menjual’ diri karena kecantikan dan kesempurnaan
fisiknya, ia tak lebih istimewa daripada perhiasan. Dan ‘perhiasan’ paling
istimewa hanyalah milik Tuhan. Ketika manusia menginginkannya, ia tak akan
mampu membeli dengan apapun, kecuali dengan ketaatan pada-Nya.