Cerpen
“Ayah, aku ingin menjadi sepertimu,”
“Tidak, nak. Engkau terlahir dariku agar mampu menjadi lebih
baik kami, ayah dan ibumu,” kata ayah. “Sebuah rumah dibangun untuk tempat
tinggal, tapi seorang anak tidak terlahir untuk diam di dalamnya. Keluarlah,
jemput pertualanganmu dengan berani,”
Bibi selalu cerita, ayahku tak pernah menggendongku ketika
aku menangis. Jatuh saat bermain, bersepeda,
atau berkelahi dengan teman
bermain, ia tak pernah menggendongku saat menangis.
“Ayah kamu itu pernah menjadi perhatian ibu-ibu di TK tempat
kamu sekolah. Kamu menangis, tak mau dijemput pakai sepeda. Kamu ingin dijemput
naik motor ibu kamu. Ayah kamu tersenyum dan bilang saat kamu menangis, ‘Ayah
temani kamu menangis ya,’ lalu ia membuka buku, dan membacanya di samping kamu
yang menangis,” cerita bibi suatu saat. “Tangan kanan ayahmu memegang buku,
tangan kirinya bermain bola karet kecil, memantul-mantulkannya di tanah,”
lanjut bibi. “Ibu-ibu yang ada disana saat itu kagum pada ayahmu yang sabar
mendengarkan tangis anaknya, sambil tersenyum dan tenang membaca buku. Apa yang
terjadi setelah itu? Kamu tiba-tiba diam, mengambil bola karet ayahmu, dan
memainkannya. Setelah itu ayahmu berkata sambil membelakangi tubuh kamu, ‘Ayo,
gendong. Ini hadiah, karena kamu sudah lebih kuat – berhenti menangis,’lalu
ayahmu membelikanmu es krim. Apa kamu lupa saat itu?” tanya bibi.
Aku sendiri sudah agak lupa tentang kenangan itu. Tapi
kejadian seperti itu memang tak jarang ayah melakukannya. Pernah suatu saat aku
menangis saat pulang sekolah (SD), aku berkelahi dengan teman kelas. Bukannya membanggakan
anaknya, atau mendatangi anak yang sudah membuatku menangis, ia malah berkata, “Nak,
kamu boleh berantem. Tapi, setelah itu kamu sebaiknya mengerti, dia adalah
teman kamu. Teman, nak, bukan lawan,” ucapnya. “Ini, berikan pada temanmu itu,”
dengan senyum khasnya, ayah menyodorkan bolu kukus, mengisyaratkan padaku agar
memberikan itu pada temanku. Saat itu aku masih kecil, tiap anak kecil mudah
bertengkar dan sebaliknya, kembali akrab. Tidak ada kebencian yang
berlarut-larut, meski sebelumnya kami berguling-guling di tanah lapang,
berkelahi sungguh-sungguh.
Ayah bekerja sebagai guru honorer SD swasta. Sedangkan ibu
bekerja sebagai pegawai asuransi. Saat kecil, aku sebenarnya lebih senang
dijemput ibu dengan motor. Lebih cepat dan enak. Naik sepeda membuatku
kepanasan, lama, tapi yang membuatku nyaman adalah suara ayah ketika bernyanyi.
Jika tidak sambil bernyanyi saat memboncengku pulang, beliau membacakan cerita
binatang atau cerita pendek. Suaranya merdu, baik ketika mengaji ataupun
bernyanyi.
Suatu saat ia menyanyikan lagu bintang kecil. Tapi, bait ‘di
langit yang biru’ ia ganti dengan ‘di langit yang tinggi’. Itu membuatku
bingung, karena yang diajarkan guruku di TK, itu bait ‘di langit yang biru’.
“Kok di langit yang tinggi sih, Yah?” tanyaku saat itu.
“Lho, salah toh? Yang
bener gimana?” tanya ayah padaku.
“Yang bener, di langit yang biru, Yah. ‘Kan di sekolah suka
nyanyi itu,” ucapku lagi.
“Hehe,” ayah tertawa kecil. “Coba kamu lihat ke atas sana –
langit,” ayah menunjuk dengan telunjuk tangannya ke langit. “Di langit yang
biru di atas sana, adakah bintang yang kelihatan?” ayah tersenyum.
“Eh?” selain sering mengajakku bernyanyi, ayah juga suka
sekali mengajakku berpikir dan berimajinasi. Seperti saat itu, aku sadar
aku-lah yang salah.
Suatu saat lagi, ayah menceritakan tentang asal-usul ayam
dan telurnya saat aku SD kelas 5.
“Lebih dulu mana, ayam atau telur?” tanya ayah.
“Ya ayam dong, Yah. Telur ‘kan dari ayam,” jawabku mantap.
“Tapi ‘kan ayam juga dari telur?” ayah tertawa kecil.
“Eh? Iya ya,” aku berpikir sejenak. Mencoba menggali data
pengetahuan yang diajarkan bu guru di sekolah, tentang cara berkembang biak
binatang mamalia. “Ah, nyerah,” aku tak bisa menjawabnya. “Memangnya ayah tahu
jawabannya?”
Dengan senyum khasnya, ia bercerita, “Begini ceritanya. Dulu
yang diciptakan pertama adalah ayam, tapi ayam jantan,”
“Lho, kok ayam jantan, Yah? Yang bertelur ‘kan ayam betina?”
sergahku. Mungkin karena terlalu sering diajak ayahku berpikir, aku seringkali
bertanya pada siapapun. Di sekolah, aku tak begitu disukai bu guru, karena
terlalu banyak bertanya. Bu guru lebih suka anak yang diam dan penurut.
“Ya, ayam jantan. Lalu, ayam jantan ini melakukan perjalanan
keliling bumi. Tapi, saat dia tahu di bumi tidak ada teman, ayam jantan berdoa
pada Tuhan agar memberinya teman. Dan saat ayam jantan tertidur, diambilah oleh
Tuhan satu tulang rusuk ayam jantan untuk dijadikan ayam betina. Nah, darisana
baru terciptalah telur dan mereka berkembang biak,” ayah tertawa.
“Ahh... Ayah ngarang,” ketusku.
“Hehe,” ia mengusap
kepalaku. “Teruslah belajar. Tak harus di sekolah, karena jika kamu memang
ingin belajar ilmu pengetahuan, kamu tak harus ke sekolah. Tapi di sana, kamu
belajar berteman, berkelompok. Jadilah anak yang baik,”
Yang aku banggakan darinya adalah ketabahannya. Ia berangkat
mengajar dengan sepeda yang sudah tahunan ia pakai. Ia tak pernah mengeluh. Ketika
ibu memintanya menjemputku dengan sepeda, ia tak pernah menolak. Sebaliknya,
sebenarnya ada ketidaksenangan ketika ibu mulai sok hebat di rumah. Selalu mengatur,
menyuruh, dan menceritakan betapa sibuk dan penting pekerjaannya. Ketika aku
menangis di depannya, ibu segera memberiku uang agar diam dan keluar bermain. Atau
jika sedang marah, ibu memarahiku dan menyalahkan ayah yang lebih dulu pulang
ke rumah. Pernah suatu saat orangtua ibu datang dari kota. Bukannya ibu membela
ayah atau membanggakannya, ibu malah menambahi beban pikiran ayah.
“Aku sibuk, pak. Seharusnya suamiku yang bekerja mencari
uang. Ini malah aku yang bekerja,” kata ibu pada bapaknya.
“Tapi, bukankah dia juga bekerja?” tanya kakek. Nuansa bijak
terlihat dari wajahnya.
“Bekerja sih bekerja, tapi paling gajinya Cuma buat jajan
Nanda – aku – saja,” jawab ibu. “Sedang kebutuhan sehari-hari itu pakai uang
saya,”
“Bagaimana dengan Nanda, dia baik-baik saja? Bagaimana sekolahnya?”
tanya nenek.
“Alhamdulillah, baik-ba-,” ayah belum selesai menjawab.
“Tambah nakal tuh. Padahal yang pulang duluan ke rumah itu
seharusnya memperhatikan dia. Aku jadi tak bisa mengerjakan tugas-tugas kantor kalau
dia menangis. Susah disuruh berhenti,” ketus ibu.
Ayah hanya tersenyum, menyeruput teh-nya.
Sebenarnya, gaji ayah tak kecil. Hanya saja, ia terlalu
dekat dengan masyarakat. Setiap masyarakat datang meminta bantuan, jika memang
sedang ada uang, ayah pasti membantunya. Jika tidak, ia selalu menawarkan
bantuan tenaga atau pikiran. Seperti ketika Mang Roso datang, ia mau meminjam
uang untuk membeli janur di pernikahan anaknya.
“Eum, kalau uang terus terang saya belum menerima gaji,
Mang,” kata ayah, jujur. “Tapi kalau memang buat janur, di kebun saya ada beberapa
pohon kelapa yang sepertinya ada janurnya. Kalau saya ambilkan bagaimana?”
“Wah, apa ndak merepotkan,
pak guru?” kata Mang Roso, sungkan.
“Enggak apa-apa, Mang. Sudah, nanti sore saya ambilkan,
nanti malam kesini lagi ya, ambil janurnya,”
“Njih njih, pak
guru,” kata Mang Roso senang.
Dan ketika Mang Roso ingin membayar janur itu di malam
harinya, ayah seringkali menolak dengan santun. Terkadang alasannya untuk
belanja istri di rumah, terkadang alasannya untuk tambah-tambah biaya hajatan. Barangkali,
sifat ini yang ibu tak suka dari ayah. Sosok suami yang sok kaya tak ingin
banyak uang. Sebaliknya, ayah selalu merasa tak senang ketika ia menerima uang
dari orang miskin. Dua sifat ini sangat bertolak belakang di rumah kami, hingga
suatu saat, muncul-lah teman ibu dengan mobilnya ke rumah. Mereka nampak
bercanda mesra ketika keluar dari mobil. Dari kejadian inilah, ibu selalu
mengejek ayah yang seakan tak mau kaya. Sok merasa cukup, sederhana, padahal
bodoh dan miskin. Mulai kejadian itu, ayah dan ibu sering tak akur, meski ayah
lebih suka diam dan tersenyum kecil. Entah apa maksud senyum ayah itu, tapi
yang pasti, meski ayah punya kesempatan untuk memarahi balik ,ayah tak pernah
marah. Jika dihitung-hitung kesalahannya, aku lebih sering melihat ibu yang
salah. Entah itu pulang malam di antar mobil bos-nya, atau kecerobohan lain di
rumah, semisal kejadian hilangnya sepeda ayah di malam hari.
Kini, sudah tujuh tahun ayah berpisah dengan ibu, mereka
bercerai. Tapi, tidak seperti anak-anak yang lain, aku tak menjadi anak galau
atau manja karena orangtua yang tak bahagia. Mungkin ini karena didikan ayah
saat aku kecil. Menyenangi buku, bermain, bernyanyi, membiarkanku saat menangis
– agar aku kuat, bersahabat dengan teman yang membenci, dan sifat lain yang
sangat jarang aku temukan pada ayah atau ibu teman-temanku.
“Ayah, dari kecil aku selalu bertanya, sebenarnya apa yang
membuat ayah begitu sabar pada kami (aku dan ibu)?” tanyaku suatu saat.
“Karena aku seorang
ayah,” jawabnya sembari tertawa kecil.
“Tapi, aku tak melihat ayah teman-temanku bersikap seperti
ayah?”
“Eum, maka kamu termasuk anak yang beruntung,” ayah tertawa
lagi. “Tapi, kamu tidak beruntung karena kamu tak bisa lahir dari ayah yang
kaya,” wajahnya nampak tenang, bijak.
“Ah, ayah merendah. Aku bisa lulus sampai magister juga
karena ayah, bukan? Mungkin bukan uang ayah yang membuatku berhasil, tapi
ketabahan dan keistimewaan ayah selama membesarkanku,”
Ayah tersenyum.
“Suatu saat anakku lahir, aku ingin menjadi seperti ayah,”
ucapku.
“Kamu ingin seperti ayah yang berpisah dengan ibumu?” tanya
ayah dengan tatapan bercanda.
“Ah ya, itu enggak lah. Jangan sampai. Aku pastikan, ibu
menyesal meninggalkan ayah. Terlebih lagi, ayah menjadi tokoh masyarakat
yang ditinggikan di desa ini,” jawabku. “Kalaupun misalnya ayah mau menikah
lagi, ada lho yang mau sama ayah, haha,” ucapku nakal.
Ayah hanya tertawa kecil.
“Tidak, nak,” kata ayah tiba-tiba. “Engkau terlahir dariku
agar mampu menjadi lebih baik dari kami, ayah dan ibumu. Sebuah rumah dibangun untuk
tempat tinggal, tapi seorang anak tidak terlahir untuk diam di dalamnya. Keluarlah,
jemput pertualanganmu dengan berani,” nasehatnya. “Masih banyak daerah di
negeri ini yang membutuhkan anak muda cerdas sepertimu. Kembalilah ke rumahmu
ini, ketika ayah atau siapapun yang menjaga desa ini dari kerusakan moral,
telah tiada,”
nice story ^.^
ReplyDelete