Sabtu, 15 Oktober 2011
Jangan dibaca, jika saudara tak pernah bertanya pada diri sendiri,
”Benarkah aku memiliki hati?” sekarang kita berbicara tentang hablum minal alam
– cinta pada alam. Ini hanyalah tulisan orang gila.
Nyaris semalaman aku tak bisa tidur ’hanya’ karena suara tangisan bayi
kucing, yang tak jelas. Entah itu bayi kucing, atau kelelawar yang tengah
sekarat. Pikiranku melayang, jika memang itu bayi kucing, kemungkinannya ada
tiga : ditinggal induk, lapar, atau kedinginan. Namun karena memang hatiku
telah mati – mana mungkin hati yang diciptakan untuk merasa, tak mampu
merasakan ’denyut nadi’ alam? – aku meneruskan baca buku tentang setan dan
iblis.
Keesokan paginya, aku cek ke lokasi, yaitu di belakang kosan – kosan saya
di lantai dua. Aku lihat dengan senter hape yang redup. Dan benar, dugaan
semalam memang terbukti. Ada bayi kucing yang mungkin baru berusia beberapa
hari. Lebih sialnya, tiga kemungkinan yang aku buat, benar! Rasa bersalah
mendadak merasuk dalam hatiku. Puluhan pertanyaan mengganjal dalam pikiranku.
Siapa yang membuang bayi kucing ini? Kenapa di buangnya di sini? Kenapa Tuhan
tak memberikan pendengaran bagi orang yang lewat, agar sekedar mengintipnya?
Kenapa Tuhan justru ’menyuruhku’ agar – paling tidak – mengecek salah satu
hamba-Nya? Bukan masalah jika aku tengah memiliki sedikit rizki-Nya, aku bisa
membeli susu untuk diminumnya. Aku pikir, makanan pun akan percuma, karena
masih bayi. Hanya membutuhkan susu dan kehangatan. Sayangnya, Tuhan memposisikanku
dalam keadaan kere meskipun baru pertengahan bulan – saya sudah tak meminta
lagi pada orang tua meskipun jelas-jelas mampu. Apa yang bisa saya perbuat?
Membiarkan bayi kucing itu mati pelan-pelan? Mengacuhkannya dengan mengatakan,
”Ah, kucing ini, bukan manusia?” atau... aku mengusulkan untuk mencoba ke DPU –
Dewan Peduli Umat – Masjid Darut Tauhid. Bagaimanapun, hewan juga hamba Tuhan,
pikirku.
Langkah sudah terayun, hampir keluar gang kosan. Namun aku berpikir
kembali. Jika aku meminta pertolongan pada mereka hanya untuk bayi kucing,
apakah tidak terdengar ’sedikit’ gila? ”Ustadz, saya mau minta bantuan. Tolong
kasih bayi kucing ini susu,” begitu? Konyol! Aku bolak-balik sampai empat kali.
Hingga akhirnya aku benar-benar sampai di depan masjid. Masalah selanjutnya
muncul. DPU belum buka mungkin sekitar jam delapan. Dan sekarang tengah ada
pengajian – acara dalam rangka ultah DT (Darut Tauhid). ’Setan’ menggangguku kembali. ”Kau pikir
sajalah, lihat mereka, sedang asyik membicarakan syurga, dan mengantisipasi
agar jangan masuk neraka. Lalu kau dengan seenaknya mengganggu, hanya karena
teriakan bayi kucing???”
Mungkin benar, Tuhan memiliki selera humor yang ironis. Ia memberiku ’tugas
kecil’ ini pada orang yang tepat – seharusnya hanya memikirkan diri sendiri
dalam kondisi seperti ini. Sayangnya, rekan-rekan kosan tengah mudik. Aku tak
bisa berbuat apa-apa selain mencurhatkannya pada para pembaca. Sempat aku
menghardik Tuhan. ”Heh, Tuhan! Kau ini kan maha kuasa, mengapa kau membiarkan
bayi kucing itu menderita? Aku ini tak tahan melihatnya!” namun justru
pertanyaan itu membalik pada diriku. ”Bukankah kau – manusia – aku jadikan
khalifah – wakil-Ku – di bumi untuk menjaga dan memeliharanya?” hingga tulisan
ini dibuat, aku masih dihantui pertanyaan-pertanyaan ’menyebalkan’ dan – tentu
saja – bayi kucing yang terus meronta, memanggil kekasih-Nya, siapa saja yang
mau membantu bayi kucing itu.
Aku pikir, kalau aku ke DPU, sebenarnya bukan bayi kucing yang meminta
pertolongan, melainkan aku sendiri yang membutuhkan penghidupan 15 hari
mendatang. Benar-benar konyol. Aku hanya tidak ingin melihat penderitaan di
dekatku. Layaknya penderitaan hamba Tuhan sesamaku. Tak apalah menderita
kelaparan – rasul saja sering tak makan hingga tiga hari, anggap saja sebagai
toleransi kepada sesama manusia yang tengah tertindas, kaum marginal di
pinggiran kota sana.
Teringat dengan cerita dari seorang teman – orang tua, di Bandung Timur. Ia
mengunjungi anaknya yang kuliah, dan mengekost. Saat teman kosannya keluar –
beda kamar, sang ayah bertanya, ”Kalau itu siapa, Le?” si anak menjawab, ”Ndak
tahu, pak.” bahkan, teman satu kosan saja ia tak tahu menahu. Pembicaraan itu
menyambung pada masalah ukhuwah islamiyah. Jalinanan persaudaraan, yang
kebanyakan orang islam pahami hanyalah sebatas sesama muslim. Kita menganggap,
bahwa Islam hanyalah dasar kita sekedar untuk berkomunikasi – silaturahim –
sesama muslim. Tidak sesama manusia – apapun agama dan sukunya, tidak juga pada
alam. Islam tersekat hanya untuk muslim.
Mungkin orang-orang modern memang akan menggali kuburannya sendiri. Tidak
membutuhkan orang lain. Tidak melakukan komunikasi, saling mengenal satu sama
lain. Alqur’an kita baca, namun setelah dibaca, kita ’injak-injak’ dengan daki
kaki kita. Alqur’an menganjurkan agar kita saling mengenal, saling memahami,
saling menolong apapun latar belakang kita – seperti yang dicontohkan sang
rasul, namun kita summun, bukmun, ’umyun.
Orang modern tak punya software dalam otaknya, untuk saling berbagi, saling
mengakrabi. Hingga orang-orang yang katanya mayoritas di negeri ini – muslim –
tak mampu mengakrabi orang-orang yang teraniaya oleh struktur negeri. Orang
muslim modern, hanya berbicara di tempat bersih dan suci, hanya mau
berkomunikasi dengan para jamaah yang berjidat hitam. Tidak dengan mereka yang
hidup di jalanan, atau bahkan menjaga alam yang terdekat dengannya. Kita, yang
mengaku muslim modern, mengaku cerdas, normal melihat dan mendengar, namun tak
mampu merasakan apa yang dirasakan sesama kita. Tuhan seakan sia-sia memberikan
hati pada manusia. Karena pada kenyataannya, akal dan nafsu yang terfasilitasi
indera dan fisik, lebih nikmat.
Mata kita memang terbuka, tapi penglihatan kita tertutup. Telinga kita
memang normal, namun pendengaran kita rusak. Mulut kita memang sehat, namun
ucapan – yang baik – tak mampu keluar. Kita punya mata, telinga, dan mulut,
namun hati kita mati. Masih mampu bersenang-senang – tanpa berbagi dengan yang
membutuhkan, di atas penderitaan anak-anak kecil di jalanan, yang seharusnya
mereka tak boleh bekerja sebelum waktunya. Kita masih bisa berfoya-foya, di
atas penderitaan orang tua kita. Kita ’mati’ dalam kehidupan kita.
Bagaimana mungkin bumi tak hancur, jika selalu lebih banyak orang yang
merusak daripada orang yang memperbaiki. Kita menganggap manusia yang berTuhan,
namun Tuhan hanyalah hiasan yang terpajang dalam masa silam. Tuhan tidak ada
dalam masa kini. Ia telah mati. Yang hidup sekarang adalah kita. Tuhan tak bisa
apa-apa. Kita bebas berbuat semau kita. Mari kita cemari lingkungan kita dengan
gas kendaraan-kendaraan kita. Mari kita beli tanah-tanah pertanian untuk kita
jadikan kompleks perumahan. Toh para petani sudah tak mau lagi bertani, selain
mahal selama perawatan, juga khayal dalam hal hasil. Kita tebang hutan dan
perkebunan, kita jadikan semua lingkungan perumahan indah.
Untuk para pemuda, kalian tak perlu belajar! Gunakanlah waktu sebaik
mungkin untuk bersenang-senang. Hidup hanya sekali. Kita hanya mengurusi diri
kita sendiri. Tak perlu pedulikan orang lain. Masa bodo dengan orang tua kita
yang menangis darah untuk membesarkan dan mendidik kita. Tak usah peduli dengan
negara yang hilang sedikit demi sedikit, syukur-syukur kita menjadi negeri
tetangga yang hidup lebih kaya. Tak perlu memikirkan persoalan bangsa. Semua
bisa impor, termasuk jablay.
Mana mungkin, aku yang sering membicarakan perjuangan untuk kaum tertindas,
tak berkutik dihadapan ’hanya’ seekor bayi kucing?
La ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadzolimiin... Tidak ada
tuhan selain Engkau wahai Allah, maha suci Engkau sesungguhnya akulah yang jahat
dan kejam. Ampuni makhluk-Mu yang lemah ini Wahai Allah....