Jon berkisah ...
Bahkan, cahaya lampu itu akan membuat si kecil (bayi si Jon)
kaget dan ketakutan. Kau tahu, ketika si kecilku itu sering terbangun di tengah
malam, sebenarnya itu adalah suara batin ibunya. Aku mendengar kearifan ini
dari para pendahulu desaku. Ketika anak masih berusia Balita, fenomena bayi
adalah suara jiwa ibunya yang tak terungkapkan. Saat ia seringkali terbangun di
malam hari – misalnya, yang sebenarnya ingin ‘digendong’ bukanlah si kecil,
melainkan ibunya : agar ‘digendong’ sang ayah. Aku pernah bertanya pada para
sesepuh itu saat aku masih sangat muda, “Mengapa istri tak membangunkan saja
suaminya lalu mengatakan apa yang diinginkannya?” apa jawab beliau?
“Istri yang baik, akan serba salah dalam keadaan itu. Ia
takut sang suami kelelahan, atau tertidur pulas, atau bahkan menolak dan lebih
memilih tidur. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari keinginan yang tak
terwujudkan – meski itu kecil,” itu hanya satu kearifan, dan aku punya banyak pelajaran
lainnya tentang ‘fenomena bayi’. Tapi, cerita ketika si kecilku terbangun, em,
aku tak mau melanjutkan. Barangkali di sana – pembaca – masih ada yang belum
cukup dewasa.
Cahaya – lampu – ibarat pencerahan. Ketika seseorang memberikan
pencerahan pada orang-orang yang tertutup pikirannya, akan seperti cahaya lampu
itu untuk si kecilku. Mereka kaget, mereka takut, atau bahkan menganggapnya –
seseorang itu – bodoh/gila.
Tapi, kisah perjuangan anak manusia tak akan pernah
berhenti, hanya berganti aktor. Kini, aku juga harus memikirkan anak dan
istriku, selain memikirkan pendidikan untuk mereka yang aku jaga. Apakah kini
aku pragmatis? Aku tak tahu. Terus terang, aku tak tahu sedikitpun tentang masa
depan. Tentang solusi yang tepat dan cepat untuk pendidikan yang ku kelola. Semua
itu begitu rumit, kompleks, lebih sering menemui kebuntuan daripada jalan
terang. Tapi aku tak menyerah, sedikitpun tidak. Pada akhirnya, Tuhan selalu
memberikan pilihan, jalan hidup. Beruntunglah bagi mereka yang diberikan
pilihan. Dan berjuanglah secara total untuk mereka yang hanya diberikan satu
jalan : Tuhan. Tapi, akan seperti apa cerita kita 100 tahun lagi, ketika kita
memilih nyaman? Ah, toh para pahlawan yang tak dikenal selalu lebih banyak
daripada yang dikenal. Seringkali aku bingung sendiri, hidup ini untuk apa –
secara universal? Bangsa ini diperjuangkan mati-matian, toh rusak juga pada
akhirnya. Apakah berlomba mengumpulkan kebaikan? Untuk apa kita mengumpulkan
sesuatu jika tak tahu akhirnya? Ada kehidupan setelah kematian? Apa yang mampu
menjaminnya? Mungkinkah hanya kegilaan (keikhlasan)? Terkadang aku lebih senang
jika seseorang mengatakan bahwa hidup ini untuk kesia-siaan, namun ia terus
berjuang keras. Berjuang untuk kesia-siaan. Manusia macam apa yang bisa?
Seikitar satu bulan lagi, ‘cahaya lampu’ itu akan aku
sorotkan pada orang-orang yang terlibat dalam pendidikan itu. Entah aku harus menganggap
diri ini sehebat apa, mana mungkin aku menceramahi kakak dan bapakku sendiri
tentang masa depan pendidikan, tentang peradaban? Resikonya sangat besar. Kecuali,
mungkin, jika aku menyampaikannya dengan amat sangat santun. Betul, aku tak
pandai berhitung angka. Tapi aku cukup mampu untuk menghitung resiko apa yang
akan kami hadapi, jika langkah yang ku tawarkan itu tak terlaksana. Betul, aku
tak pintar membaca peta. Tapi aku cukup mampu memetakan persoalan yang saat ini
mengelilingi kita, bak musuh yang siap menyergap. Siapa komandannya? Siapa sang
pemegang ‘cahaya lampunya’? Bocah termuda, yang dalam pandangan orang-orang di
dekatnya tak pernah dewasa.
Dari kecil, aku tak suka merengek ketika meminta sesuatu. Satu
dua kali, ya, aku pernah – meski aku lupa saat meminta apa. Bahkan, ketika
bapak membelikan sepeda, beliau hanya mengajakku jalan-jalan. Baru ketika
hampir sampai di toko sepeda alun-alun, beliau berkata, “Ada uang sekian, mau
buat DP motor, atau beli sepeda?” dengan polosnya, aku memilih sepeda – balap. Aku
tak meminta, tapi seringkali diberi sesuatu yang sebenarnya aku tak cukup
pantas untuk itu. selain sekolah itu, lihat istri dan jagoan kecilku. Ia seorang
yang, ah, terkadang aku takut membawanya jalan-jalan. Takut banyak yang
melirik, naksir, atau bahkan main mata. Anakku, si jagoan kecil berhidung
mancung, itu membuatku bangga. Meski di satu sisi, aku selalu khawatir, apakah
dia akan mengalami ‘takdir’ yang pernah diterima ayahnya? Aku tak tega.
Tentu saja, sekalipun ini urusan besar, aku tak akan
merengek meminta ideku itu diwujudkan. Tidak, sama sekali. Mungkin hanya
memberikan selembar kertas pada yayasan. Selembar kertas pengunduran diri. Ini sudah
aku diskusikan dengan istriku suatu saat.
“Apakah tidakada cara lain?” tanya ia.
“Ada, tapi engkau dan si kecil akan semakin terbebani,”
“Bagaimana jika yayasan menolak, karena memang Cuma mas yang
mampu melakukannya sebaik ini?”
“Itu resiko. Tapi kemungkinannya tidak. Kakak memiliki
banyak kader unggulan, termasuk dalam pendidikan. Aku rasa, aku bukan
satu-satunya orang yang cakap dalam masalah ini,”
“Bagaimana jika ibu dan bapak menolak?”
“Itu yang paling berat. Tapi, jika beliau mengizinkan, aku
akan tinggal di rumah ibumu. Tak apa kan, jika aku bekerja sebagai petani /
berkebun dan mengajar ngaji anak-anak kecil selepas maghrib di sana?”
Ia tersenyum.
“Tapi, bukankah itu seperti seorang pemimpin yang
meninggalkan medan perang? Mas tak takut disebut pecundang?” tanya ia lagi.
“Jika memang ada pemimpin yang lebih baik, mengapa harus
aku? Ah, sejak muda, aku hanya peduli penilaian Tuhan – dan aku bersyukur Tuhan
(personal) tidak ada,”
“Mas yang bilang sendiri, Tuhan tak akan memberikan
Tugas-Nya kecuali pada Diri-Nya sendiri?”
Ah, aku lupa, ternyata sudah begitu banyak yang aku ‘doktrinkan’
pada istriku.
“Mmmh... Kita berdoa saja ya, mudah-mudahan semua baik-baik
saja,”