Iki sakdurunge kanda
Adam mulai hidup di surga, ketika ia tak menginginkan
apa-apa. Demikianlah kontradiksinya, surga didapatkan mereka yang tak
menginginkannya, namun kontinyu berjalan dalam jalan-Nya. Anugerah kedua
setelah surga (rumah), adalah wanita, dalam kasus Adam, yaitu Hawa. Demikianlah
kontradiksinya, ketika manusia tak menginginkan apapun, ia ‘diberikan segalanya’
tanpa ‘susah payah’. Kemudian terjadilah kisah perhelatan batin seorang manusia
(Adam-Iblis) ketika terlalu lama berada dalam kenyamanan. Kisah Adam, terulang
pada Habil. Ia tak menginginkan apa-apa selain menuruti keinginan yang
dicintanya : Tuhan. Habil tidak peduli pada Iklima – betapapun cantiknya. Habil
juga tak tahu apa yang sebenarnya Tuhan inginkan, yang ia tahu hanyalah apa yang
terbaik yang mampu ia kerjakan – sebagai pecinta yang tulus. Habil tidak lari
atau melawan sekuat tenaga untuk mempertahankan Iklima, karena ia memang tak
menginginkan apa-apa. Ia hanya siap untuk apa-apa. Ketika kakaknya datang,
Qabil, Habil hanya sedikit ‘berdebat’ mengapa ia hendak membunuhnya. Setelah itu,
tanpa perlawanan berarti, ia terbunuh. Kisah pertempuran saudara di masa
mendatang pun terilhami dari kisah ini.
Demikianlah kontradiksinya, mereka yang menuruti keinginan
Tuhannya, dasar kehidupannya akan melewati batas pengetahuan : manusia umum. Ia
tak tahu itu adalah keinginan Tuhan, yang ia tahu – adalah, bahwa itu bukanlah
keinginannya. Mengapa bukan keinginan setan / iblis? Bisikannya adalah satu
kepastian, yaitu memilih kenyamanan atau kepentingan diri personal. Lalu keinginan
siapa jika bukan keinginan Tuhan, juga bukan keinginan diri sendiri? Demikianlah
kontradiksinya, hidup mereka akan melampaui batas akal / pengetahuan. Orang-orang
gila, banyak orang menyebutnya.
Isi
Esai ini sebagai permintaan maaf saya pada teman-teman
diskusi di Bandung. Sekitar bulan Maret dan April mendatang, saya nampaknya
belum bisa bermain ke sana, menyapa teman-teman yang butuh teman diskusi. Ini
adalah kontradiksinya (Contradictio Sien Quanon), saya tahu tentang diri saya,
bahwa pengetahuan yang Tuhan titipkan pada saya – sebenarnya – masih sedikit
dan sangat mungkin dangkal. Mungkin, saya katakan. Karena itu, saya senang
dengan diskusi, sarana bertukar informasi / pengetahuan / omong kosong yang
sejenak menyegarkan jiwa kita dari rutinitas kehidupan. Mengapa omong kosong? Siapa
yang bisa menjamin, apa yang saya katakan adalah kebenaran? Saya sendiri tak
berani. (hehe)
Saya ingin berdiskusi tentang ‘makanan’ Jin, yaitu oksigen
murni, atau bagaimana mendeteksi diri ketika kita berada bersama Jin, atau
jiwa, atau bagaimana caranya Jin merekayasa energi ‘sesajen persembahan’ yang
ia gunakan untuk naik ke ‘catatan kehidupan’ di atas langit, atau tentang
bahasa binatang (jangkrik, sapi, kucing, kambing, semut), atau tentang alam
pikiran / akal / berpikir yang menjadi sumber keyakinan kita, atau tentang
semacam ‘revolusi’ pemuda / mahasiswa agar keluar dari kebekuan berpikir, dan
banyak hal lain yang saya rahasiakan selama hidup di sini. Demikianlah kontradiksinya,
di sini saya masih ‘anak kecil’ yang belum boleh banyak bicara. Di sini, saya
lebih senang tersenyum – sesakit apapun keadaan – dan diam.
Lalu mengapa bulan-bulan itu tak bisa main ke sana?
Demikianlah kontradiksinya, saudaraku maju ke medan ‘pertempuran
kekuasaan’, jika pun itu (medan tempur) adalah Dasamuka, aku adalah
Sengkuni-nya. Seperti apapun negatifnya dunia perpolitikan, jika ‘bagian diriku’
mengikuti itu, aku tak mungkin lari. Seperti apapun kerasnya watak saudaraku,
aku mencintainya sebagai bagian dari diriku. Sengkuni paham bahwa Dasamuka
adalah sosok yang buruk, tapi ia paham bahwa membela musuh saudaranya berarti
mengkhianati bagian dirinya sendiri. Sedangkan menutup mata dari perhelatan yang
saudaranya ikuti, adalah sikap seorang pecundang : bukan ksatria sepertinya. Untuk
apa Sengkuni berada di sisinya, jika ternyata ketika bertempur ia hanya diam
dan menutup mata?
Sosok Arjuna berbeda lagi. Ia memiliki dasar hidup
(filosofi) : Digdaya tanpa aji-aji, sugih tanpa banda, menang tanpa ngasorake. Ia
sadar yang dilawan adalah saudaranya sendiri. Ia paham, bahwa menang atau
kalah, selama ia hidup ia harus terus berjuang. Ia tak bisa mendebat Khrisna,
karena memang Ia ‘tak ada’ : Ia adalah diri Arjuna sendiri.
Digdaya tanpa aji-aji. Bermakna, berkuasa / memimpin tanpa
senjata. Seperti Adam yang dianugerahi surga dan Habil yang dianugerahi Iklima
(surga dunia). Para pemimpin dunia yang tak menginginkan kekuasaan , namun
kehidupan mengangkatnya menjadi pemimpian, ia pasti ‘orang gila’. Tak punya
apa-apa yang bisa dibanggakan, atau bahkan ia tak tahu apa-apa (maqam tertinggi setelah lelah
mencari-Nya), yang ia tahu adalah ‘keinginan-Nya’.
Sugih tanpa banda. Kaya tanpa materi atau keterikatan /
belenggu. Demikianlah kontradiksinya, mereka yang menginginkan dunia, mereka
harus membeli, berjuang, berkorban banyak hal. Sebaliknya, ia yang tak menginginkan
dunia – tapi cinta perjuangan keras, tak terikat terbelenggu, akan ‘kaya’ meski
tak punya apa-apa. Banyak orang mungkin menghinanya karena ketiadaannya, namun
ia bahagia. Itu mengapa, aku sebut tadi, orang-orang seperti itu adalah
orang-orang ‘gila’.
Menang tanpa ngasorake. Menang tanpa menjatuhkan, menyakiti,
membunuh. Apakah dapat dikatakan menang, jika itu didapat dengan menjatuhkan,
menyakiti, apalagi membunuh : memutus ikatan persaudaraan? Demikianlah kontradiksinya,
mereka yang menang dengan menjatuhkan, tak akan menyadari bahwa Tuhan
menjauhinya. Atau, barangkali mereka tak peduli Tuhan dekat atau tidak, karena
Tuhan – mereka kira – dapat dikerangkeng hanya dengan menghafal ucapan-ucapan-Nya,
atau melakukan perintah-Nya. Seperti kata Yesus pada murid-muridnya yang
munafik : di depan-Ku kalian mendengar, tapi di sana kalian ingkar (dengan
membawa-bawa nama-Ku). Atau seperti kisah Jibril dan Mikail, mengapa Jibril
berada di atasnya :
“Aku selalu menuruti perintah-Nya, sedang kau tidak. Mengapa
kau lebih disayang-Nya?” kata Mikail.
“Engkau menuruti perintah-Nya, sedang aku menuruti
keinginan-Nya meski Ia tak memerintahkan – karena itulah aku di atasmu,” jawab
Jibril.