Mengapa kau takjub dengan pelabelan? Si anu ustadz / kyai –
ia hebat. Si fulan kepala sekolah muda – dia hebat. Si itu pejabat – dia keren.
Tidakkah kita paham, di negeri kita ini terlalu banyak manusia-manusia kerdil
yang duduk di tempat tinggi? Kau ingin buktiny? Idza wusida al amru illa ghairihi ahlihi, fantadziri ashsha’ah... negeri
ini buktinya!
Bagaimana caranya memahamkan orang-orangtua tentang zaman
yang ‘macam ini’? aku mengerti mengapa qur’an berkali-kali bilang : apa kau
ingin menjadikan semua manusia itu Islam? Seakan Dia berkata : kata siapa Aku
(Tuhan) menginginkan kehidupan ini ‘baik-baik saja’? maka kerusakan,
kehancuran, pun ‘diridoi-Nya’.
Di satu sisi, kita tak mungkin menganggap diri sudah baik,
atau bahkan lebih baik dari orang lain. Tapi di sisi satunya, orang-orang dan
masyarakat kita mempertontonkan ketidakbaikan. Misalnya? Pejabat A
menjelek-jelekan pejabat B, tapi keduanya tak merasa bersalah dan yakin bahwa
dirinya adalah baik. Ustadz A di pesantren A mengejek ustadz B di pesantren B,
begitu juga sebaliknya. Tapi keduanya menganggap masing-masing sebagai hamba
yang baik, dan tak merasa salah ketika menjelekan sesama saudaranya. Jika kita
mendengar ada orang yang sedang menjelekan orang lain – sekalipun itu benar,
maka apakah kita juga akan turut lebur dalam perbincangan konyol itu? tapi dia
pejabat lho, orang cerdas. Tapi dia ustadz / kyai lho, orang alim. Masak kita tidak ‘takdzhim’ pada orang
hebat seperti mereka?
Pertanyaannya adalah, siapa yang anak-anak muda sekarang
harus contoh? Rasulullah telah ‘mati’.
Maka aku sampaikan pada anak-anakku itu :
Jangan jadi orang
cerdas, jangan jadi orang pintar. Jadilah orang berilmu. Orang cerdas akan
dibayar murah. Lima juta, 10 juta, 20 juta, 50 juta per bulan, itu murah. Karena
setelah itu, kau akan mati beserta kecerdasanmu. Tapi orang berilmu tak bisa ‘dibeli’.
Ia hanya bisa dibeli dengan cara mengangkat martabat orang-orang tertindas,
orang miskin, orang-orang lemah. Mereka tak peduli jutaan atau milyaran, karena
orang berilmu hanya peduli pada Tuhan : dan manusia yang dititipi-Nya. Suatu saat
kau jadi sarjana, pura-pura bodoh saja. Zaman sekarang cari orang bodoh susah,
karena semua orang bodoh mengakui dirinya pintar. Tapi ketika ada masalah
pelik, cepat-cepatlah kau tangani. Berjuang, bukan untuk uang atau kepopuleran –
itu rendah, tapi untuk kehidupan, untuk Tuhan.
Ketika suatu amanah diberikan pada orang awam – bertopeng
titel, maka tunggulah kehancurannya.