“Ayah, mengapa ayah mau menjadi seperti ini – berjuang mengorbankan
diri untuk orang lain?” tanya anakku sambil menyeka darah di wajah dan leherku.
“Nak, cintailah orang-orang lemah. Suatu saat nanti, engkau
akan mendapatkan jawabannya (yang memuaskan, dari dirimu sendiri),”
Rasa sakit tertinggi adalah, ketika kita menyadari bahwa
Tuhan yang selama ini kita bayangkan, tidak ada. Tuhan yang selama ini kita
sembah, tidak ada. Karena Ia tak bisa dibayangkan, tak mampu akal
memikirkan-Nya. Setelah semua perjuangan, pengorbanan, upaya keras manusia
ditujukan hanya untuk/karena Tuhan, ternyata Ia yang kita ‘bayangkan’ tidak
ada. Itu rasa sakit yang awalnya, terasa sangat berat.
Tapi, ternyata ada rasa sakit puncak yang lebih berat dari
itu. Yaitu kesadaran – setelah perjalanan intelektual-spiritual yang melelahkan
– bahwa kita adalah.... Tuhan : itu sendiri. Ini sangat amat sakit. Amat sangat
berat terasa. Kubah akal manusia pecah, saat menyadari ini.
Beberapa hari ini, sangat sering rasanya bermimpi
berpetualang, berkelahi, namun berkali-kali itu pula aku menang, dengan
kecerdikan dan – tentunya – luka-luka. Petikan dialog di atas adalah epilog
dalam mimpiku yang ke-empat. Setelah berkelahi mendatangi markas musuh
sendirian, membakar markas itu, lalu meledakan jembatan yang menghubungkan
tempat musuh dengan masyarakat. Dialog kecil itu, antara aku dan anakku yang
sedang membersihkan luka-luka tubuhku, dan mengobati mataku yang terbutakan
sejenak oleh debu baterai yang dihaluskan.
Banyak pertanyaan yang menemaniku hari-hari ini tentang itu.
atau mimpi perkelahian yang ternyata adalah diriku sendiri – dan anehnya aku
selalu menang. Mimpi dalam perjalanan, ketika banyak orang tertipu oleh
bayangan, aku mampu melihat langsung sumber bayangan. Mimpi menyelamatkan anak
kecil, lalu melakukan pelarian, bergelantungan di kabel listrik yang landai dengan
telapak tangan terbalut kaos – agar tak begitu terasa daya listruknya.
Jika misalnya itu adalah prototipe hidupku, apa benar aku ‘sehebat’
itu? Selalu menang, meski dengan luka-luka yang membekas dalam?
Tapi apapun itu, meski porsi tidurku berkurang di malam
hari, aku sudah bisa membiasakan bangun di sepertiga malam, menyapa-Nya, tanpa mengharap apa-apa, tanpa
meminta apa-apa, tertakuti oleh neraka, atau terambisi oleh surga, atau sebatas
dunia yang begitu sedernaha. Jika keinginan dalam diri manusia berhenti, maka
akan terasuki oleh keinginan-keinginan Tuhan. Apakah aku menginginkan itu?
Insya Alah, tidak sama sekali.