Malam ini, mulai datang lagi untuk mengaji di majlis dekat
rumah. Lama sekali rasanya, tak mendengar ceramah-ceramah fikih. Malam ini,
sang ustadz bicara tentang ‘talaq’, alias cerai. Istri dapat mengajukan cerai –
talak khulu, sekalipun sedang haid. Tapi tak boleh diceraikan selama masih masa
haid. Mengapa? Tidak dijelaskan. Tapi aku punya jawaban sendiri. Masa haid
adalah masa emosional untuk wanita. Sangat mungkin suami merasa
tersinggung/marah dengan istri yang (misalnya) sangat sensitif dan emosional. Atau,
bisa jadi suami marah karena tak bisa berhubungan, karena memang tak boleh
berhubungan ‘senyawa’ ketika istri sedang haid.
Selesai ceramah, konsumsi dibagikan. Dapat sepotong gorengan
pisang dan segelas air mineral. Lama aku memandangi dua makanan itu. Mengapa? Imajinasiku
melayang saat masih kuliah. Nikmat sekali rasanya ketika ada yang mengirimi
makanan, sekalipun itu hanya gorengan atau roti kukus. Pernah ibu kos
mengadakan selamatan anaknya yang menikah. Baunya harum sangat makanan yang
sedang dimasak. Bunyi piring dan sendok sampai terdengar ke kosan atas - kamarku. Entah saat itu bersuara pelan atau
keras – saya lupa, ibu kos mengirim sepiring nasi plus daging rendang : ajib!
Memang apa yang saya katakan (kalau nggak salah sih Cuma dalam
hati)?
“Cuman ngasih baunya, kurang asem, bikin ngiler aja nih ibu
kos,” haha
Saat itu hari Kamis, aku puasa. Bukan karena sunnah atau
apa, tapi memang lagi kere segila-gilanya. Sampai sekarang, kalau puasa tak
pernah diniati untuk apa-apa, selain solidaritas kemanusiaan. Aku tinggal itu
nasi plus daging ‘mewah’ di atas cpu komputer, sedang aku pergi sholat maghrib.
Apa yang terjadi setelah sholat? Kurang asem, dagingnya hilang!
Kurang ajaaaaarrr...!!!
Haha
Saya cari-cari daging itu, tak mungkin diambil tikus. Karena
tikus yang bersembunyi di tumpukan baju tak sebesar daging itu. tak mungkin
kecoa. Tak mungkin teman kamar lain – yang jangankan beli satu daging, 10
daging juga bisa. Setelah capek mencari, akhirnya saya makan juga itu nasi
putih plus sayur rendang tanpa daging. Uasem
tenan.
Kosan ku itu tak pernah dikunci. Karena memang hanya ada
komputer butut dapat pinjaman teman, tumpukan baju yang multi fungsi jadi
bantal tidur – tempat bersembunyi tikus dan kecoa, dan buku-buku yang aku yakin
tak ada yang tertarik membacanya : karena sebagian besar buku-buku ‘aneh’. Tikus
di tumpukan baju sepertinya sudah pergi, ketika tiba-tiba loncat menyambutku
yang baru pulang kuliah. Sedangkan kecoa, semua mati : mungkin akibat virus
mematikan bau mulutku saat tidur. Haha
Makan nasi putih tanpa lauk bagi saya sudah sangat biasa. Bahkan
di awal bulan, sering sangat saya hanya makan nasi putih plus kerupuk. Kasian sangat
yak? Hadeeeh...
Efek dari makan ala kadarnya baru terasa sekarang. Tak bisa
makan makanan mewah, karena tiap dibelikan pasti tak habis dimakan. Kemarin malam,
mengantar teman ke calon mertuanya. Sepulang itu, saya diajak makan di warung
makan, pesan soto dan daging kambing. Padahal Cuma lima tusuk, tak habis saya
makan. Akhirnya pakailah jurus kampungan saya : bungkus aja mbak.hehe
Tentang persiapan pernikahan, itu ketiga atau keempat
kalinya aku menemani teman ke calon mertuanya. Banyak sekali pelajaran yang aku
ambil. Tentang keikhlasan orangtua, keegoisan orangtua/anak, ketragisan cinta
tak sampai – ini saya sendiri (haha), atau keikhlasan seorang anak muda.
Calon besannya, mengharapkan menantu seorang ustadz. Seorang
laki-laki dengan hafalan kitab kuning : Jurumiyah, Safinatun Najah, Salamut
Taufiq, nashaihul ibad, riyadhus sholihin, dll. Saya paham, orangtua selalu
khawatir kalau-kalau anak perempuannya menikah dengan salah orang. Tapi, apa
sih di dunia ini yang bukan ujian? Kullu nafsin
dza’iqotul maut, wa lanablukum bisy syari wal khoiri fitnah... setiap yang
bernafas akan mati, dan kami jadikan kejelekan dan kebaikan sebagai ujian. Apakah
sudah pasti, jika ada label ‘ustadz’, maka ia orang baik, orang salih? Apakah semua
orang yang berpenampilan ‘umum’ – anak muda – pasti pemikirannya dangkal, buruk?
Apakah bisa, seorang awam menjadi ustadz hanya dalam dua sampai empat bulan? Tuhan
tak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan. La yukalifullah nafsan illa wus’aha, atau di ayat lain, yuridullahi bikumul yusro wa la yuridullahi
bikumul ‘usro, Dia menghendaki kemudahan bagi hambaNya, bukan kesulitan. Innama ‘al’usri yusro...
Saya katakan pada teman saya itu, apapun yang terjadi saya
akan menemani kamu. Lihat saya, orangtua seperti beliau ingin menantu seorang
ustadz, yang bisa ceramah, yang cerdas agama, semisal saya, tapi apakah orangtua seperti beliau menerima dengan kecacatan saya dan kemiskinan saya? Jelas tidak. Karena itu
saya tak menginginkan istri seorang wanita karir. Kecuali jika Tuhan
menghendaki saya untuk itu. Dan yang jelas, saya tidak tertarik dengan wanita yang sudah disukai orang lian. Saya sudah tak menginginkan apa-apa. Tapi selalu
siap untuk apa-apa. Insya Allah.