Sebuah dongeng untuk para ibu yang tak bersyukur – sebelum tidur
sore.
Seorang anak yang taat terbaring sakit. Mungkin ia sekarat,
mungkin ia telah melihat malaikat maut. Lalu dia memanggil ibunya, lalu
berkata, “Ma, mau-kah untuk kali ini saja mama mendengarkan ceritaku?”
Sang ibu mengangguk.
Ia pun bercerita.
Tentang seorang anak yang idiot. Tapi ia rajin bekerja. Mencari
air, mengumpulkan ranting, merapikan rumah. Ia tak pernah mengeluh, apalagi
meminta lebih. Ia idiot, namun tak mau melihat ibunya sedih. Tapi, meskipun ia
idiot, ia tak tuli. Sang ibu yang iri melihat anak-anak saudaranya yang sehat
dan cerdas sering mengeluh pada tetangga.
Andai anak saya cerdas...
Andai anak saya bisa berpikir...
Andai anak saya seperti anak-anak yang lain...
Saya pasti sudah kaya, dan tak akan miskin begini.
Suatu saat sang anak mencari ranting cukup jauh dari
rumahnya. Ia menemukan seekor rusa yang terjerat kakinya. Ketika ia menolong
rusa itu, nampak ia menunjukan sesuatu pada gundukan tanah di dekatnya. Lalu menggalilah
sang anak pada tanah itu, dengan tangan kosong. Semakin dalam ia menggali,
menggali, ternyata ia menemukan dua tiga koin emas. Pikir sang anak, barangkali
ibuku akan senang dengan ini. benar saja, sang ibu senang bukan main. Hari itu
ia makan enak, belanja kain selendang indah untuk dipamerkan. Koin-koin
selanjutnya pun ditemukan. Sang ibu sudah hidup senang, tak pernah mengeluh,
karena sekarang di rumahnya terisi banyak benda-benda mahal. Tapi, ia tak
memperhatikan anaknya yang semakin hari semakin lelah. Tubuhnya lemah,
kuku-kukunya kotor. Lalu ia pun sakit. Oleh dokter diminta untuk dirawat,
karena sakit di tangannya akan merambat. Tapi sang ibu tak mau. Lambat laun,
tangan sang anak membusuk, luka bernanah, tapi karena ia anak yang baik, ia tak
merintih. Ia merasa senang ketika melihat ibunya senang. Ketika menemui dokter
kembali, tangannya tak mampu diselamatkan. Kini, selain idiot, ia tak memiliki
tangan. Tapi ia bukan anak manja. Ia tetap bangun pagi, meski tak bisa mencari
air lagi, ia masih mampu mengumpulkan ranting dan mengikatkannya pada kaki,
untuk keperluan tungku dapur rumah. Kerja kerasnya membuat ia semakin lelah. Semakin
ia memaksakan diri, ia semakin lemah. Untuk yang terakhir kalinya, ia tak
sampai ketika dibawa ibunya menemui dokter. Ia meninggal di tengah perjalanan. Sampai
ini, sang ibu tersadar, menangis sedih. Tapi, ada yang membuatnya semakin sedih
ketika ia lihat kotak kayu di bawah kasur tidur sang anak. Sebuah kotak kayu
berisi koin emas dan surat yang nampaknya dituliskan orang lain.
Ibu, jangan mengeluh
lagi ya. Ini aku kumpulkan untuk ibu. Aku akan baik-baik saja meski orang
menyebutku jelek. Bukan salah ibu aku begini, aku masih bisa bekerja dan
menemani ibu. Aku sayang ibu.