Nuh, Syu’aib, Sholeh, Khidir, Muhammad, semua mengatakan : Wa ma fa’altuhu ‘an’amriy... Apa yang ku
lakukan ini bukan atas kemauanku.
Satu dialog saat kami makan di warung soto dengan seorang
sahabat setelah menemui calon besannya.
Dia : Saya
juga sadar pak, saya ini bukan siapa-siapa bapak (dia panggil saya ‘pak guru’
karena aku tak mau dipanggil ‘ustadz’). Sampai ini pun, saya sudah sangat
bersyukur. Bapak mau menemani saya belajar agama, sampai ke calon besan saya.
Aku : Antum (kamu) pernah merenungkan, mengapa
saya, yang bukan siapa-siapa antum, mau menolong sampai sejauh ini – sedang saya
bukan orang yang mengharap pamrih/imbalan?
Dia : Em,
enggak, pak.
Kemudian aku ceritakan tentang ‘Tugas Langit’, yang
sebenarnya tiap manusia mengemban itu. Suatu tugas yang secara garis takdir
telah terikatkan dengan tiap jiwa manusia sebelum ia dilahirkan. ‘Tugas Langit’
seperti itu bukan pertama kali, tapi berkali-kali bahkan saat aku masih sangat
muda. Terlepas itu sepele atau besar, yang menjadi tanda adalah bahwa kita
tidak menginginkan itu – untuk kita kerjakan. Tentu, aku tak bisa menyebut itu
keinginan Tuhan, karena aku tak memiliki ‘bakat’ kenabian : ustadz saja saya
bukan kok. Aku hanya tahu, bahwa apa yang aku kerjakan itu bukan tindakan yang
ingin aku lakukan. Termasuk, memimpin sekolah ini.
Lalu, bagaimana bisa seseorang tidak menginginkan sesuatu, tapi
mengerjakan sesuatu itu, apakah akan berjalan baik?
Di sana, terletak rahasia keikhlasan (perjuangan total +
ketidakberharapan), kebahagiaan.
Keikhlasan seperti kebahagiaan (surga), selama manusia masih
hidup, adalah proses – bukan hasil akhir. Dia yang menyadari ‘Tugas Langit’
yang diembannya, sedang berproses dalam dua hal itu. tidak menginginkan apapun,
tapi siap untuk apapun. Termasuk, mengorbankan diri sepenuhnya, meski yang
dilakukannya adalah sesuatu yang tidak ia inginkan. Sampai pada tahap akhir,
yaitu hilang totalnya keinginan dalam diri, dan tak menganggap sedikitpun apa
yang tidak diinginkannya adalah memang sesuatu yang tak diinginkannya. Tahap akhir
seperti dalam surat al ikhlas, qulhu
allahu ahad : Katakan Tuhan itu Esa. Ia Tuhan kita satu-satunya, dan apapun
yang Ia putuskan – insya Allah, kita ikhlas. Perasaan lepas dari ikatan apapun,
selain Tuhan. Tidak merasa berat ketika diberikan beban – besar. Tidak merasa
sedih ketika tertimpa cobaan. Merasa bahagia ketika datang musibah ataupun
penderitaan. Dalam panas atau dingin, pikiran dan hati tak memberontak :
tenang.
Apakah aku sudah seperti itu?
Jelas tidak. Aku katakan, keikhlasan dan kebahagiaan adalah
proses. Sedang aku dalam prosesnya saja belum, dan bisa saja tak mungkin : aku
tak tahu. Karena, orang-orang yang lebih cerdas dariku, lebih layak dariku,
lebih banyak. Tentu, aku akan memprotes Tuhan, jika aku yang terpilih. Mengapa bukan
mereka yang cerdas dan mapan saja?