Wellcome to The Hell

Java Tivi
0
Hari kesatu (entah ini hari, tanggal, dan tahun berapa atau apa)

Kau kira, aku telah mati? Bahkan kiamat pun aku tak yakin itu ada.

Entah siapa si kurang ajar yang memasukanku ke sini. Brengsek. Ini lebih parah dari dunia yang menurutku sudah cukup absurd. Setelah masuk dari pintu yang hanya sekali membuka sekaligus menutup, kau tak akan bisa keluar dari sini. Atau paling tidak, selama sejarah tempat ini, tak ada seorangpun yang mampu melarikan diri.

Tak ada matahari, hanya sinar terang suram. Tak ada keindahan, mungkin selain imajinasi. Itu pun selama pikiranmu masih waras jika berada di sini. Orang-orang yang hidup di sini, tak ada tanda-tanda kewarasan. Tak ada wanita, manusia-manusia indah yang bisa ku goda, dan sejenak menggembirakan dunia. Entah tempat macam apa ini.

Lalu aku tersadar, di sini ternyata hanya ada aku sendiri. Orang-orang yang ku kira berada di dekatku, mereka hanya bayangan. Mungkin begitu juga mereka menganggapku : bayangan. Sekelebat bayangan yang berjalan mondar-mandir tak tentu tujuan, kebingungan. Apa yang bisa dilakukan di tempat mengerikan seperti ini? ah, kau ingin tahu seperti apa mengerikannya di sini?

Tidak ada makanan, selain kerikil yang kau kulum sendiri berkali-kali. Jika kau ingin kenyang, kau harus mencuil bagian tubuhmu. Mungkin tangan atau kakimu. Itu tak membuatmu sakit, ketika itu terkelupas dari badanmu. Tapi akan lebih sakit, ketika kau harus mengunyah dan memangsa dirimu sendiri.

Tapi kau tak perlu takut, karena bagian tubuhmu itu akan tumbuh lagi dengan sendirinya. Kau mau minum? Jika bukan dari darah dan air seni-mu, kau harus banyak-banyak berkeringat. Dari air minyak itulah, kau akan minum dengan rasa ‘ternikmat’.

Tidak ada jalan yang dapat kau lewati, selain kerikil berduri panas, atau aspal yang tak pernah mengering. Berjalan, salah. Diam pun sama saja : akan membuatmu mati perlahan. Aku rasa, Tuhan pun tak akan sanggup berlama-lama di tempat seperti ini. Biadab. Kejam sekali. Lalu apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku menghadapi penyiksaan ini? Tersenyum? Munafik. Menangis? Cengeng, lemah! Tertawa? Kau kira ada yang akan peduli? Berjalan akan membuat kakimu melepuh, sedang tak bergerak akan membuatmu mati terhina. Kematian sendiri, barangkali tak menyakitkan. Tapi tahapan ketika nyawa meregang, itu yang tak satu pun manusia mau. Dulu, saat aku masih di dunia, aku mendengar orang-orang yang terlampau kaya mengira, akan mampu menunda kematiannya dengan obat-obatan dan teknologi. Konyol. Lucu sekali. Mereka mengira koma dan sekarat itu sama : dapat disembuhkan.

Tempat ini tidak dibuat Tuhan : itu pun jika Ia memang ada. Dulu, saat di dunia, di kepulauan Irian Jaya – entah di negeri apa namanya, banyak gunung-gunung yang hilang karena ulah manusia. Aku rasa tempat asu ini pun dibuat oleh mereka. Tidak ada orang yang tersenyum di sini. Tak ada orang yang bergembira di sini. Semua manusia berwajah suram, putus asa. Tapi, mungkin ini tempat yang pantas untuk kami.  Tapi mengapa aku? Mengapa kami? Jika kau di sana, merasa lebih baik dari kami – yang disiksa di sini, maka kau adalah orang sombong. Merasa lebih baik dari orang lain. Sedangkan yang tahu kualitas kebaikan kita hanyalah Tuhan. Jika begitu, kau sebenarnya lebih layak berada di sini daripada kami. Karena kami tak pernah sombong, tak pernah merasa lebih baik dari manusia macam apapun. Kau merasa Tuhan lebih mencintaimu? Jika begitu, maka kau merasa lebih suci daripada kami. Kau tak bisa merasa senang dengan kami yang disiksa di sini. Mengapa? Dulu, saat aku masih di dunia, para psikiater dan dokter kejiwaan sepakat : hanya orang sakit jiwa-lah yang merasa senang dengan kesusahan orang lain. Dan jika kau merasa lebih baik – secara otomatis, merasa senang, karena kau tak berada di sini. Apakah itu bukan yang dimalsud psikiater dan dokter jiwa tersebut?

Selanjutnya, aku membawa buku ke sini. Aku tulis kisah ini dengan darah dari tubuh dan mulutku. Hari pertama, entah kapan. Kau tak akan peduli ini hari apa saat kau tersiksa. Yang kau inginkan hanya satu : kapan ini berakhir?

Tapi, demikianlah neraka yang ku buat sendiri. Tersiksa perih jiwa dan ragaku, nikmatilah. Lebih baik menjadi manusia yang sadar bahwa itu layak untuk kita dan menjadi manusia bertanggung jawab. Ketimbang menjadi mereka yang sakit jiwa, tapi keras kepala tak mau mengakuinya.


Dan akhirnya, untuk diriku sendiri : Welcome to The Hell!

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)