Hari kesatu (entah ini hari, tanggal, dan tahun berapa atau
apa)
Kau kira, aku telah mati? Bahkan kiamat pun aku tak yakin
itu ada.
Entah siapa si kurang ajar yang memasukanku ke sini.
Brengsek. Ini lebih parah dari dunia yang menurutku sudah cukup absurd. Setelah
masuk dari pintu yang hanya sekali membuka sekaligus menutup, kau tak akan bisa
keluar dari sini. Atau paling tidak, selama sejarah tempat ini, tak ada
seorangpun yang mampu melarikan diri.
Tak ada matahari, hanya sinar terang suram. Tak ada
keindahan, mungkin selain imajinasi. Itu pun selama pikiranmu masih waras jika
berada di sini. Orang-orang yang hidup di sini, tak ada tanda-tanda kewarasan.
Tak ada wanita, manusia-manusia indah yang bisa ku goda, dan sejenak menggembirakan
dunia. Entah tempat macam apa ini.
Lalu aku tersadar, di sini ternyata hanya ada aku sendiri.
Orang-orang yang ku kira berada di dekatku, mereka hanya bayangan. Mungkin
begitu juga mereka menganggapku : bayangan. Sekelebat bayangan yang berjalan
mondar-mandir tak tentu tujuan, kebingungan. Apa yang bisa dilakukan di tempat
mengerikan seperti ini? ah, kau ingin tahu seperti apa mengerikannya di sini?
Tidak ada makanan, selain kerikil yang kau kulum sendiri
berkali-kali. Jika kau ingin kenyang, kau harus mencuil bagian tubuhmu. Mungkin
tangan atau kakimu. Itu tak membuatmu sakit, ketika itu terkelupas dari
badanmu. Tapi akan lebih sakit, ketika kau harus mengunyah dan memangsa dirimu
sendiri.
Tapi kau tak perlu takut, karena bagian tubuhmu itu akan
tumbuh lagi dengan sendirinya. Kau mau minum? Jika bukan dari darah dan air
seni-mu, kau harus banyak-banyak berkeringat. Dari air minyak itulah, kau akan
minum dengan rasa ‘ternikmat’.
Tidak ada jalan yang dapat kau lewati, selain kerikil berduri
panas, atau aspal yang tak pernah mengering. Berjalan, salah. Diam pun sama
saja : akan membuatmu mati perlahan. Aku rasa, Tuhan pun tak akan sanggup
berlama-lama di tempat seperti ini. Biadab. Kejam sekali. Lalu apa yang harus
aku lakukan? Bagaimana aku menghadapi penyiksaan ini? Tersenyum? Munafik. Menangis?
Cengeng, lemah! Tertawa? Kau kira ada yang akan peduli? Berjalan akan membuat
kakimu melepuh, sedang tak bergerak akan membuatmu mati terhina. Kematian sendiri,
barangkali tak menyakitkan. Tapi tahapan ketika nyawa meregang, itu yang tak
satu pun manusia mau. Dulu, saat aku masih di dunia, aku mendengar orang-orang
yang terlampau kaya mengira, akan mampu menunda kematiannya dengan obat-obatan
dan teknologi. Konyol. Lucu sekali. Mereka mengira koma dan sekarat itu sama :
dapat disembuhkan.
Tempat ini tidak dibuat Tuhan : itu pun jika Ia memang ada. Dulu,
saat di dunia, di kepulauan Irian Jaya – entah di negeri apa namanya, banyak
gunung-gunung yang hilang karena ulah manusia. Aku rasa tempat asu ini pun dibuat oleh mereka. Tidak ada
orang yang tersenyum di sini. Tak ada orang yang bergembira di sini. Semua manusia
berwajah suram, putus asa. Tapi, mungkin ini tempat yang pantas untuk
kami. Tapi mengapa aku? Mengapa kami? Jika
kau di sana, merasa lebih baik dari kami – yang disiksa di sini, maka kau
adalah orang sombong. Merasa lebih baik dari orang lain. Sedangkan yang tahu
kualitas kebaikan kita hanyalah Tuhan. Jika begitu, kau sebenarnya lebih layak
berada di sini daripada kami. Karena kami tak pernah sombong, tak pernah merasa
lebih baik dari manusia macam apapun. Kau merasa Tuhan lebih mencintaimu? Jika begitu,
maka kau merasa lebih suci daripada kami. Kau tak bisa merasa senang dengan
kami yang disiksa di sini. Mengapa? Dulu, saat aku masih di dunia, para
psikiater dan dokter kejiwaan sepakat : hanya orang sakit jiwa-lah yang merasa
senang dengan kesusahan orang lain. Dan jika kau merasa lebih baik – secara otomatis,
merasa senang, karena kau tak berada di sini. Apakah itu bukan yang dimalsud
psikiater dan dokter jiwa tersebut?
Selanjutnya, aku membawa buku ke sini. Aku tulis kisah ini
dengan darah dari tubuh dan mulutku. Hari pertama, entah kapan. Kau tak akan
peduli ini hari apa saat kau tersiksa. Yang kau inginkan hanya satu : kapan ini
berakhir?
Tapi, demikianlah neraka yang ku buat sendiri. Tersiksa perih
jiwa dan ragaku, nikmatilah. Lebih baik menjadi manusia yang sadar bahwa itu
layak untuk kita dan menjadi manusia bertanggung jawab. Ketimbang menjadi
mereka yang sakit jiwa, tapi keras kepala tak mau mengakuinya.
Dan akhirnya, untuk diriku sendiri : Welcome to The Hell!