Langkahnya goyah, pandangan matanya suram, Gendut berjalan
menuju warung kopi Yu (Mbak) Dasri. Mereka
teman saat SD, hanya saja Gendut nampaknya lebih beruntung daripada teman
perempuannya itu. Rumah mereka hanya beda RT, tapi Gendut jarang nongkrong di
warung Yu Dasri – tempat nongkrong tukang becak dan ojek. Berbeda dengan Gendut
yang sukses, beristri cantik, Dasri baru dua bulan kemarin menceraikan suaminya
yang bertahun-tahun pergi dan tak memberinya nafkah. Sambil menyuapi anaknya
yang kecil, Dasri menyapanya.
“Tumben Ndut, ana (ada)
angin apa ya? Hehehe,” canda Dasri.
“Ndak tahu nih, tiba-tiba pengin dolan (main) kesini,” kata Gendut, suaranya seberat badannya. “Kopine
(kopinya), Yu. Yang agak pait ya,”
sambung Gendut.
Teman SD-nya segera membuatkan kopi pahit. Dari raut
wajahnya, Yu Dasri menebak teman SD-nya itu seperti sedang dalam masalah pelik.
“Iki (ini)
kopinya,” Dasri mempersilakan. “Ada apa ta,
Ndut. Sampean kok ya kelihatan sedih.
Kalau ndak punya uang buat bayar kopi, ya tak
gratisin bae, hehehe,” canda
Dasri lagi. Berbeda dengan Gendut yang memang dari kecil suka mikir, Dasri tipikal wanita yang easy going. Dia tak sekaya Gendut, rumahnya
saja masih pakai anyaman bambu, bahkan dua bulan kemarin baru saja terkena
musibah : cerai. Tapi begitulah dia, seperti orang desa lainnya, tak ambil
pusing dengan masalah hidup yang dihadapinya.
“Ndak apa-apa, yu.” Gendut berpura-pura.
“Jangan ngapusi, wajah sampean itu kelihatan
banget lagi lesu,” Dasri masih penasaran. Bukan berarti Dasri ingin tahu, tapi
begitulah pekerjaannya di warung, biasa menjadi teman ngobrol, atau ‘tempat
sampah’ keluhan para laki-laki miskin. Mungkin dia memang orang bodoh, sekolah
saja tak sampai SMP, tapi pengalaman hidupnya barangkali yang membuatnya
berpikir santai, atau mungkin bijak.
“Suamimu mana, yu?” Gendut pura-pura tak tahu. “Enak ya,
hidup kayak sampean,” sambung Gendut lagi.
“Elho, sampean ini
ndak tahu apa pura-pura ndak tahu, Ndut? Aku wes cerai sama suamiku. Sudah dua bulan,” jawab Dasri. “Urip iku enak yen disuwuni,” (hidup itu
enak kalau disyukuri) kata Dasri lagi. Ia membersihkan mulut anaknya yang
belepotan nasi.
“Tapi aku syukur kok, yu. Tapi kok seperti ditambah terus ya
beban hidupku,” Gendut mulai cerita. Diminumnya kopi pahit itu, terasa getir,
seperti hidupnya akhir-akhir ini.
“Lha ya, itu
namanya belum syukur. Mosok orang
syukur merasa dirinya sudah bersyukur?” kata Dasri sambil menyuapi anaknya
lagi. “Sampean ini kurang apa ta, Ndut.
Rumah masya allah besarnya, istri
cantik, tiap bulan piknik ke luar kota/negeri. Kok ya tiba-tiba ikut nimbrung
disini tempatnya tukang becak?”
“Kalau dipikir-pikir, Tuhan itu ndak adil ya. Aku punya
banyak harta, tapi rasanya kok sepi,” Gendut mulai bercerita. “Tapi cuma duduk
bareng tukang becak itu – di luar, rasanya kok tenang banget, damai,”
Dasri meletakan piring anaknya, wajahnya menatap Gendut,
pandangannya menembus etalase rokok.
“Sampean ini sebenernya lagi ada masalah
apa ta, Ndut?” tanya Dasri agak
serius. “Euhh.. Apa bener kata Mang Wasid, istrimu itu minta cerai?”
Gendut nampak kaget. Kok beritanya sudah menyebar?
“Iya, yu,” Gendut berterus terang.
“Mbok ya dipertahankan. Sampean ini kurang apa, kok ya
sampai minta cerai istrimu itu?” tanya Yu Dasri.
“Ada yang memfitnah aku, yu,” cerita Gendut, serius. “Dua
minggu lalu aku rapat di hotel pizza sama rekan bisnis, perempuan. Mobilnya bocor
pas mau pulang, dan ternyata suaminya telpon anaknya kecelakaan. Rencana mau
naik taksi ke rumah sakit, aku tawari naik mobilku, wong kantorku deket rumah sakit ta.
Lha, pas sampai di rumah sakit, buka pintu mobil, saingan bisnisku lihat. Dikabarilah
istriku itu, kalau aku selingkuh,” Gendut menyeruput kopinya. “Padahal, yu, demi
Tuhan aku ndak pernah selingkuh sama siapapun,”
“Oalahh... Kok
ruwet gitu. Kok ndak sampean ajak saja istri ke rumah sakit itu?” tanya Dasri
iba.
“Pas di cek kesana, ternyata rekan bisnisku itu sudah pindah
ke rumah sakit provinsi. Di rumah sakit itu ndak bisa mengatasi operasi tulang.
Di ruang itu malah diisi sama orang lain,” cerita Gendut, pasrah.
“Ruwet juga ya. Sampean sih pakai nganter segala,” kata
Dasri.
“Ya piye ta, kasian
dia buru-buru. Mosok tega,” kata
Gendut. “Lha, ndak lama dari itu, salah satu kantorku kebakaran, yu. Yang masuk
koran lokal itu lho, ludes yu, ludes semua,” Gendut menghela nafas.
“Astaghfirullah...
“ Dasri nampak mengerti sekarang, mengapa wajah Gendut terlihat suram.
“Tuhan ndak adil ya, yu. Setelah dikasih banyak, eh, pakai
diambil lagi segala. Mbok ya ndak usah dikasih saja kalau nantinya begini,”
kata Gendut.
“Tapi, Ndut, aku yakin kok, gusti Allah iku ora sare (tidak tidur). Gusti Allah tahu sampean ini orang baik,” Ucap Dasri,
menghibur.
“Lha ya, kalau aku ini orang baik, kenapa ta, sampai begini? Rasanya kok kejem
banget, yu,” kata Gendut.
“Ya paling ndak ‘kan, kalau itu ndak terjadi, sampean ndak
bakalan silaturahim kesini, Ndut,hehe,” Dasri tertawa kecil, bermaksud sedikit
menghibur. “Menyambangi orang teraniaya itu berkah lho, Ndut. Kami ini kan
orang-orang teraniaya,hehe,”
Gendut tertawa kecil. Dalam benaknya ia berpikir, teman
SD-nya ini tak memiliki apa-apa yang bisa dibanggakan, tapi seperti hidup
damai, enak. Teman SD-nya itu mengaku sendiri sebagai orang teraniaya, tapi kok
ya masih mampu bercanda – tanda mensyukuri apa yang diberikan Tuhan.
“Wes yu, pira (berapa) ini?” Gendut nampak mau pamitan.
“Wes ra sah, ra sah (tidak
usah). Anggap saja sampean ini tamu,hehe,” Dasri menyemangati.
Tapi nampaknya Gendut merogoh dompetnya. Di sana ada tiga
lembar uang bergambar Soekarno-Hatta.
“Ini buat jajan anakmu, makasih ya, salam buat si mbah (nenek si bayi),” ucap Gendut. “Assalamu’alaikum,”
Gendut berpamitan.
Dasri melongo, tanpa bisa bicara, ia menerima uang itu. “Wa-,
wa’alaikumsalam...”
Sekitar satu bulan tak mendengar kabar dari si Gendut. Kabar
dari Mang Wasid, hansip setempat, katanya si Gendut pindah rumah. Dia pindah ke
desa sebelah, membeli rumah yang lebih sederhana.
“Gendut bangkrut, Mang?” tanya Dasri pada Mang Wasid.
“Bangkrut opo (apaan).
Kabarnya, rekan bisnis yang dulu anaknya kecelakaan nanam modal (investasi) di
perusahaannya Gendut. Perusahaannya sekarang buka cabang di pinggiran kota
sana, karyawannya nambah seratus lebih. Kemarin si Kamin, keponakanku itu, ikut
juga bekerja di sana. Dia semakin kaya dan dermawan. Istrinya lagi hamil malah,
dia bilang ke istrinya mau hidup kayak orang biasa aja. Makanya dia pindah,”
Dasri tersenyum haru. Matanya berkaca-kaca.