Qum, wa syukur
Qum, wa dzukrun
Qum tandzurun (nur). _Kokokan ayam jantan_
Qum tandzurun (nur). _Kokokan ayam jantan_
Sabtu sore, seperti biasa Jon memberi celotehannya pada para guru dan wali murid sekolahnya. Kali ini, ia
bicara tentang ‘syirik’ dan ‘bid’ah’. Awalnya, tak ada yang bertanya, seperti
pertemuan-pertemuan sebelumnya. Tapi setelah ia ‘pancing’ (ikan kali,hehe), ada
seorang ibu yang bertanya tentang ‘sholat yang tertinggal (tidur)’.
“Ibu-ibu kalau ada anak sunatan, biasanya ‘kan lihat sapu
ijuk yang ditancapkan terbalik ya? Atau sesajen, atau membakar kemenyan? Terus memandikan
keris atau memiliki cincin batu berwarna-warni, itu termasuk syirik bukan sih,
bu?” Jon bertanya pada jamaah. Ekspresi bertanyanya seperti anak kecil, membuat
jamaah terpancing, berbalik tanya.
“Iya ya, itu syirik bukan pak?” tanya satu jamaah.
“Kalau sapu terbalik itu, biasanya agar nggak turun hujan,
ya? Tapi sekarang sudah nggak ada yang begituan, pak,” kata jamaah lain.
Kemudian Jon menjelaskan ayat wabtaghu ilaihil washilah wa jahidu fiy sabilillah. Bahwa syirik
bukan terletak pada barangnya, melainkan niatnya, atau kondisi ketika
hati/pikiran menduakan Tuhan. Juga tentang doa, yang terbagi menjadi tiga jalan : ucapan, tindakan, dan bersitan hati/pikiran.
“Bukan keris atau batunya, tapi hati kita,” celoteh si Jon. “Semisal
ibu memendam perasaan pada laki-laki lain selain suami ibu, lalu suami ibu
tahu, bagaimana kira-kira perasaannya?”
“Ya... dugal lah, pak,”
(Marah tingkat tinggi), kata jamaah.
“Begitupun dengan Allah. Jangan sampai hanya karena pakai
cincin, punya keris, sabuk, berani berkata kebal, penglaris, atau sebagainya
karena benda-benda itu. bukan bendanya, tapi Allah yang menghendaki semuanya. Semua
itu adalah jalan, walaupun, tentu saja ada jalan yang lebih mudah yuriduwllah bikumul yusro wa la yuriduwllah
bikumul ‘usro, Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya, bukan kesusahan,”
“Jalan menuju Allah itu banyak. Dan sebenarnya Allah juga
yang menjadikan kita tetap istikomah di dalam jalan itu,” si Jon memuncratkan
sampah pikirannya lagi. “Wa idza
qudliathisholatu fantashiru fil ardli wabtaghu min fadhlillah wadzkurullah
katsiron la’alakum tuflihun, setelah kita sholat, buktikan bahwa
cahaya-cahaya sholat kita menjadikan kita semakin baik dalam bekerja, dalam
hidup. Ibu-ibu tahu, apa bukti pengajian ini atau sholat kita diterima?”
“Apa itu, pak?”
“Ndak tahu...”
“Bukti bahwa sholat atau mengaji kita benar, sepulang dari
ini, hati kita tenang. Sifat kita semakin baik pada suami, anak, dan tetangga. Tidak
mudah marah, mengkafir-kafirkan, membid’ah-bid’ahkan, menuduh orang murtad dan
sebagainya. Melainkan ketenangan, kesabaran, dan selalu mengingatkan selama
kita mampu,”
Hari semakin sore, pengajian ditutup doa dan sholawat oleh
Pak Guru Jon.
Malamnya, aku bersamanya duduk di pinggir sungai, menikmati
bintang sambil diskusi di tanggul yang cukup tinggi. Tak terasa, obrolan
membawa kami pada dini hari, sekitar jam dua pagi. Dari belakang rumah-rumah
warga, terdengar suara kokok ayam jantan. Lalu Jon, seperti biasa ketika ‘mabuk’,
ia ‘kesurupan’.
“Kokok ayam jantan ada tiga : Qum, wa syukur. Qum, wa
dzukrun. Qum tandzurun (nur). Pertama, mereka mengingatkan kita untuk
bersyukur. Kau tahu mengapa Rasul mensunahkan doa bangun tidur alhamdulillahi ahyana ba’dama amaattana wa
ilaihi nusyur? Itu tentang syukur, saat ruh kita dikembalikan lagi pada
jasad kita,” katanya setengah sadar.
“Kau pernah membayangkan dunia ini setelah mati? Kau tidak
ada lagi di sini. Tak bisa memandangi bintang-bintang itu, tak bisa bermain,
tak bisa bergaul, tak bisa apa-apa, karena keindahan seperti ‘ini’, hanya ada
di dunia,”
Aku mulai merinding. Bukan kedinginan, melainkan
membayangkan apa yang Jon katakan itu.
“Bersyukurlah mereka yang hidup untuk banyak orang,
mengabdi, tak menumpuk harta untuk pribadi, menumpuk amal-amal
sebanyak-banyaknya,” katanya. “Kedua, ayam jantan menyampaikan pada kita agar
banyak berdzikir. Kau pernah menghitung anjuran dzikir ketika malam atau
shubuh? Kau pernah membaca, sebesar apa imbalan yang dijanjikan untuk para
oportunis (dari kata ‘fortune’, oportunis berarti ‘para pencari keuntungan
pribadi’) tahajud dan hajat?”
Aku tersentak ketika ia mengatakan ‘oportunis tahajud dan
hajat’.
“Kok, oportunis?” tanyaku.
“Tahajud atau hajat, berarti ‘keinginan’. Mengapa sholat itu
terasa berat? Karena itu adalah ‘keinginan’ Tuhan. Orang-orang yang
melakukannya adalah orang pilihan, yang memahami apa yang diinginkan Tuhan. Adakah
yang lebih diinginkan selain menjadi manusia yang diinginkan – keberadaannya –
oleh Tuhan? Tapi apa yang kita niatkan ketika sholat itu? kita menginginkan apa
yang kita inginkan terwujud, ya? Oportunis sekali,”
“Ketiga, ayam jantan menyampaikan pada kita bahwa saat-saat
seperti ini, adalah ketika Tuhan ‘turun’ ke bumi. Qum, tandzurun nur. Bangun,
bangkit, dan perhatikan cahaya malam ini. kau pernah mengamati, bahwa waktu
sepertiga malam adalah waktu paling banyak terlihat bintang jatuh? Mereka, para
Jin kuat, menggunakan energi persembahan para dukun/penyihir untuk dijadikan ‘pesawat’
dan terbang menuju ‘lobus frontal’ alam ini, tempat tersimpannya semua data
alam semesta. Dan penjagaan lebih ketat ketika hari mendekati sepertiga malam
terakhir. Rasul berkata, sepertiga malam adalah ketika Allah ‘turun’ ke bumi. Kemudian
shubuh, adalah turunnya rombongan malaikat ke bumi, untuk mencatat apa saja
yang manusia lakukan di saat itu. Maka, hina-lah ia yang ketika didatangi
malaikat, ia sedang tidur mendengkur, atau lebih parah dari itu,”
Aku kebingungan mendengar ceramahnya.
“Tuhan menetapkan tiga ayat-Nya pada ucapan ayam jantan. Sepuluh ayat-Nya ucapan pada kucing. Sebelas ayat-Nya pada semut. Semua itu adalah jalan, agar manusia
tak lupa, agar manusia selalu kembali ketika ia tersesat,”
Lalu Jon bangkit, “Ayo, kita ke mushola. Sempak lu nggak
kotor ‘kan?”
“Kampret lu. Memang apa yang kita lakukan tadi?” saya sebal.
“Allahuma a’udzubika minal ajzi wal kasali,” Jon berdoa.
“Apa artinya, pek –
kata umpatan desa kami?” tanyaku sembari menepuk-nepuk pantat, barangkali
kotor duduk di atas rerumputan.
“Wahai Allah, jauhkan kami dari sifat lemah dan malas,” Jon melenggang
pergi.
“Oh – amiin,”