Jalan

Java Tivi
0
Qum, wa syukur
Qum, wa dzukrun
Qum tandzurun (nur). _Kokokan ayam jantan_

Sabtu sore, seperti biasa Jon memberi celotehannya pada para guru dan wali murid sekolahnya. Kali ini, ia bicara tentang ‘syirik’ dan ‘bid’ah’. Awalnya, tak ada yang bertanya, seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Tapi setelah ia ‘pancing’ (ikan kali,hehe), ada seorang ibu yang bertanya tentang ‘sholat yang tertinggal (tidur)’.

“Ibu-ibu kalau ada anak sunatan, biasanya ‘kan lihat sapu ijuk yang ditancapkan terbalik ya? Atau sesajen, atau membakar kemenyan? Terus memandikan keris atau memiliki cincin batu berwarna-warni, itu termasuk syirik bukan sih, bu?” Jon bertanya pada jamaah. Ekspresi bertanyanya seperti anak kecil, membuat jamaah terpancing, berbalik tanya.

“Iya ya, itu syirik bukan pak?” tanya satu jamaah.

“Kalau sapu terbalik itu, biasanya agar nggak turun hujan, ya? Tapi sekarang sudah nggak ada yang begituan, pak,” kata jamaah lain.

Kemudian Jon menjelaskan ayat wabtaghu ilaihil washilah wa jahidu fiy sabilillah. Bahwa syirik bukan terletak pada barangnya, melainkan niatnya, atau kondisi ketika hati/pikiran menduakan Tuhan. Juga tentang doa, yang terbagi menjadi tiga jalan : ucapan, tindakan, dan bersitan hati/pikiran.

“Bukan keris atau batunya, tapi hati kita,” celoteh si Jon. “Semisal ibu memendam perasaan pada laki-laki lain selain suami ibu, lalu suami ibu tahu, bagaimana kira-kira perasaannya?”

“Ya... dugal lah, pak,” (Marah tingkat tinggi), kata jamaah.

“Begitupun dengan Allah. Jangan sampai hanya karena pakai cincin, punya keris, sabuk, berani berkata kebal, penglaris, atau sebagainya karena benda-benda itu. bukan bendanya, tapi Allah yang menghendaki semuanya. Semua itu adalah jalan, walaupun, tentu saja ada jalan yang lebih mudah yuriduwllah bikumul yusro wa la yuriduwllah bikumul ‘usro, Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya, bukan kesusahan,”

“Jalan menuju Allah itu banyak. Dan sebenarnya Allah juga yang menjadikan kita tetap istikomah di dalam jalan itu,” si Jon memuncratkan sampah pikirannya lagi. “Wa idza qudliathisholatu fantashiru fil ardli wabtaghu min fadhlillah wadzkurullah katsiron la’alakum tuflihun, setelah kita sholat, buktikan bahwa cahaya-cahaya sholat kita menjadikan kita semakin baik dalam bekerja, dalam hidup. Ibu-ibu tahu, apa bukti pengajian ini atau sholat kita diterima?”

“Apa itu, pak?”

“Ndak tahu...”

“Bukti bahwa sholat atau mengaji kita benar, sepulang dari ini, hati kita tenang. Sifat kita semakin baik pada suami, anak, dan tetangga. Tidak mudah marah, mengkafir-kafirkan, membid’ah-bid’ahkan, menuduh orang murtad dan sebagainya. Melainkan ketenangan, kesabaran, dan selalu mengingatkan selama kita mampu,”
Hari semakin sore, pengajian ditutup doa dan sholawat oleh Pak Guru Jon.

Malamnya, aku bersamanya duduk di pinggir sungai, menikmati bintang sambil diskusi di tanggul yang cukup tinggi. Tak terasa, obrolan membawa kami pada dini hari, sekitar jam dua pagi. Dari belakang rumah-rumah warga, terdengar suara kokok ayam jantan. Lalu Jon, seperti biasa ketika ‘mabuk’, ia ‘kesurupan’.

“Kokok ayam jantan ada tiga : Qum, wa syukur. Qum, wa dzukrun. Qum tandzurun (nur). Pertama, mereka mengingatkan kita untuk bersyukur. Kau tahu mengapa Rasul mensunahkan doa bangun tidur alhamdulillahi ahyana ba’dama amaattana wa ilaihi nusyur? Itu tentang syukur, saat ruh kita dikembalikan lagi pada jasad kita,” katanya setengah sadar.

“Kau pernah membayangkan dunia ini setelah mati? Kau tidak ada lagi di sini. Tak bisa memandangi bintang-bintang itu, tak bisa bermain, tak bisa bergaul, tak bisa apa-apa, karena keindahan seperti ‘ini’, hanya ada di dunia,”

Aku mulai merinding. Bukan kedinginan, melainkan membayangkan apa yang Jon katakan itu.

“Bersyukurlah mereka yang hidup untuk banyak orang, mengabdi, tak menumpuk harta untuk pribadi, menumpuk amal-amal sebanyak-banyaknya,” katanya. “Kedua, ayam jantan menyampaikan pada kita agar banyak berdzikir. Kau pernah menghitung anjuran dzikir ketika malam atau shubuh? Kau pernah membaca, sebesar apa imbalan yang dijanjikan untuk para oportunis (dari kata ‘fortune’, oportunis berarti ‘para pencari keuntungan pribadi’) tahajud dan hajat?”

Aku tersentak ketika ia mengatakan ‘oportunis tahajud dan hajat’.

“Kok, oportunis?” tanyaku.

“Tahajud atau hajat, berarti ‘keinginan’. Mengapa sholat itu terasa berat? Karena itu adalah ‘keinginan’ Tuhan. Orang-orang yang melakukannya adalah orang pilihan, yang memahami apa yang diinginkan Tuhan. Adakah yang lebih diinginkan selain menjadi manusia yang diinginkan – keberadaannya – oleh Tuhan? Tapi apa yang kita niatkan ketika sholat itu? kita menginginkan apa yang kita inginkan terwujud, ya? Oportunis sekali,”

“Ketiga, ayam jantan menyampaikan pada kita bahwa saat-saat seperti ini, adalah ketika Tuhan ‘turun’ ke bumi. Qum, tandzurun nur. Bangun, bangkit, dan perhatikan cahaya malam ini. kau pernah mengamati, bahwa waktu sepertiga malam adalah waktu paling banyak terlihat bintang jatuh? Mereka, para Jin kuat, menggunakan energi persembahan para dukun/penyihir untuk dijadikan ‘pesawat’ dan terbang menuju ‘lobus frontal’ alam ini, tempat tersimpannya semua data alam semesta. Dan penjagaan lebih ketat ketika hari mendekati sepertiga malam terakhir. Rasul berkata, sepertiga malam adalah ketika Allah ‘turun’ ke bumi. Kemudian shubuh, adalah turunnya rombongan malaikat ke bumi, untuk mencatat apa saja yang manusia lakukan di saat itu. Maka, hina-lah ia yang ketika didatangi malaikat, ia sedang tidur mendengkur, atau lebih parah dari itu,”

Aku kebingungan mendengar ceramahnya.

“Tuhan menetapkan tiga ayat-Nya pada ucapan ayam jantan. Sepuluh ayat-Nya ucapan pada kucing. Sebelas ayat-Nya pada semut. Semua itu adalah jalan, agar manusia tak lupa, agar manusia selalu kembali ketika ia tersesat,”

Lalu Jon bangkit, “Ayo, kita ke mushola. Sempak lu nggak kotor ‘kan?”

“Kampret lu. Memang apa yang kita lakukan tadi?” saya sebal.

“Allahuma a’udzubika minal ajzi wal kasali,” Jon berdoa.

“Apa artinya, pek – kata umpatan desa kami?” tanyaku sembari menepuk-nepuk pantat, barangkali kotor duduk di atas rerumputan.

“Wahai Allah, jauhkan kami dari sifat lemah dan malas,” Jon melenggang pergi.


“Oh – amiin,”

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)