“Apakah diam itu salah?” tanya seorang teman mahasiswa satu.
Ia nampaknya baru saja marah pada seseorang.
“Hehe, kesalahan biasanya tidak hanya terletak pada tindakan
kita. Tapi kausalitas, juga kondisi yang ada saat itu,” jawabku.
Kami berdiskusi cukup lama lewat pesan pendek (sms). Saya sendiri,
memang menyempatkan waktu untuk membalas pesan, baik itu di jejaring sosial,
atau sms yang datang, bahkan dari orang yang saya tak kenal sebelumnya. Dulu,
saat blog ini belum ada perubahan, saya sisipkan alamat email, jejaring sosial,
juga nomor henpon di sini. Tapi setelah
ganti tema (theme), rasanya kok susah betul menambah laman untuk memasukan
nomor telepon atau jejaring sosial.
Banyak teman yang merasa sms yang mereka kirimkan akan
mengganggu kerja saya – sebagai pimpinan sekolah. Terlepas dari ketidakpedulian
saya orang lain akan menyebut saya sombong atau apa, setiap sms yang datang,
dari siapapun, kemungkinan besar saya balas : selama ada pulsa (hehe). Sama sekali
tidak ada rasa takut, semisal memang ada yang ingin menjahili, meneror, atau
semacamnya. Karena sms-sms jahil, hanya dilakukan oleh anak-anak (mengapa anak-anak?)
yang merasa kesepian. Beberapa kali memang ada, entah laki-laki entah
perempuan, yang tiba-tiba sms bercerita tentang keluhan hatinya. Saya tanya, “Maaf,
ini siapa ya?” ia tak menjawab, malah mengirim sms curhatannya lagi. Pada akhirnya,
ia tak membalas lagi, mungkin capek membaca balasan saya : Maaf, ini siapa? Berulang
kali.
“Kamu ketakutan. Apa yang kamu harapkan dari manusia?” tanya
saya padanya lagi – ia perempuan.
“Apakah salah merasa takut? Kenyamanan, kang,” jawabnya.
“Hehe,” nampak sekali ia tak tenang dengan sebutan itu :
salah. “Apakah manusia memiliki kenyamanan yang bisa diberikan, seperti ketika
ia memberikan sepotong roti? Kenyamanan ada dalam hatimu sendiri. Bahagiakan-lah
hatimu, untuk membahagiakan orang lain.”
“Mengapa Tuhan seakan memberikan kesempatan pada manusia
untuk melakukan kesalahan?” tanya saya lagi.
“Untuk... berpikir?” jawabnya.
“Betul. Agar kita belajar memaafkan, semakin bijak,
mengingatkan, semakin paham bahwa memang beginilah kehidupan,”
Suatu saat pernah saya ceritakan kisah lama saya waktu masih
mahasiswa pada beberapa guru sekolah ini. Ada seorang teman yang, mungkin
sangat enggan berdekatan dengan saya, ia mengucapkan nau’dzubillah, apa artinya? Ia berdoa pada Tuhan agar ia
dijauhkan/dilindungi dari saya. Apakah saya menggodanya agar menjadi kekasih
saya? Hehe, saya tak akan mendekati wanita kecuali memuliakannya. Dari ucapannya,
seakan saya syetan, yang biasa ditakuti oleh manusia. Apakah saya membencinya? Sama
sekali tidak. Dia adik tingkat saya, teman saya, mana mungkin saya bisa
membencinya? Aku katakan sebelumnya, manusia memiliki kesempatan untuk berbuat
baik sebesar kesempatannya untuk berbuat jelek. Mengapa manusia bisa salah? Agar
kita saling mengingatkan, berkasih-sayang sesama manusia/alam, saling menjaga.
Siangnya, satu sms lagi datang dari teman mahasiswa
organisasi ekstra. Ia bercerita tentang kebekuan akalnya, saat tenggelam dalam
cinta ‘terendah’ : antar laki-laki dan perempuan. Kemudian ia merasa lelah
dengan semua ini, perenungannya, perjuangannya dalam organisasi. Ia juga
bercerita ketika ia menentang dosen, yang sebenarnya dosen tersebut mengizinkan
dikritik oleh mahasiswanya sendiri.
“Akhirnya gimana, sama dosenmu itu?” tanyaku.
“Ya... kata akang juga, tidak ada dosen yang legowo, mau
menerima kesalahan di depan mahasiswanya, apalagi meminta maaf. Akhirnya, saya
lakukan yang sering akang lakukan dulu waktu masih kuliah kalau dimarahi dosen
egois : salam, senyum, sapa, santai, hahahaha,” ia nampak puas.
“Its perfect, hehe,”
Saat ini, saya diberi amanah sebagai kepala sekolah dasar. Saya
memimpin guru-guru, siswa, juga orangtua siswa (kami memiliki pengajian
orangtua siswa dan guru yang saya komandoi). Apakah dengan semua itu saya
berhak sombong, menjaga jarak, menganggap lebih tinggi, mengharap dihormati? Saya
pernah menyarankan pada para guru untuk memakai seragam bebas : jangan mau
diseragamkan! Karena dari seragam yang bebas, kesombongan semakin kecil
memiliki kesempatan. Titel, jabatan, seragam, itu menjadikan kita merasa nyaman
dalam kesombongan : yang tak kita sadari. Tentu, saya setuju setiap orang punya
alasan masing-masing ketika menjaga jarak dengan orang lain. Entah memang merasa
tak selevel, tak sekasta, atau apa. Tapi, bagi saya sendiri, untuk hidup penuh
cinta, mencintai manusia/alam, aku kira tak harus sederajat. Kita semua sama di
hadapan Tuhan.
Saya sendiri pernah merasa bersalah menjadi yang seperti ‘ini’.
Beberapa teman menyangka saya tak begitu saja menambahkannya di jejaring
facebook atau twitter atau semacamnya. Ya ampun, aku ini bukan ‘orang tinggi’. Saya
sepertimu, manusia biasa, bahkan mungkin lebih hina di hadapan Tuhan : siapa
tahu? Bahkan, ketika beberapa orang teman ‘mengeroyok’ saya untuk berbagi
buku-buku saya dalam bentuk PDF, saya bagikan. Jika menggunakan bahasa kaum Zen
(budha Zen), jika aku memiliki bulan atau
bintang pun, pasti akan ku berikan padamu.
Dari remaja, saya belajar sekuat tenaga untuk berseteru
dengan kesombongan. Pakaian, cara jalan, bicara, semua menandakan bahwa saya
adalah orang bodoh. Bukan merendah, tapi memang itu kenyataan. Ketika ditanya
teman tentang sikap hidupku ini, aku katakan : Aku izinkan syetan mengalir di dalam darahku, tapi tak ku izinkan ia
memasuki hatiku. Karena di sana – hatiku, sudah dan hanya ada Tuhanku saja,”