Kesombongan yang menyenangkan

Java Tivi
0
“Apakah diam itu salah?” tanya seorang teman mahasiswa satu. Ia nampaknya baru saja marah pada seseorang.

“Hehe, kesalahan biasanya tidak hanya terletak pada tindakan kita. Tapi kausalitas, juga kondisi yang ada saat itu,” jawabku.

Kami berdiskusi cukup lama lewat pesan pendek (sms). Saya sendiri, memang menyempatkan waktu untuk membalas pesan, baik itu di jejaring sosial, atau sms yang datang, bahkan dari orang yang saya tak kenal sebelumnya. Dulu, saat blog ini belum ada perubahan, saya sisipkan alamat email, jejaring sosial, juga nomor henpon di sini. Tapi setelah ganti tema (theme), rasanya kok susah betul menambah laman untuk memasukan nomor telepon atau jejaring sosial.

Banyak teman yang merasa sms yang mereka kirimkan akan mengganggu kerja saya – sebagai pimpinan sekolah. Terlepas dari ketidakpedulian saya orang lain akan menyebut saya sombong atau apa, setiap sms yang datang, dari siapapun, kemungkinan besar saya balas : selama ada pulsa (hehe). Sama sekali tidak ada rasa takut, semisal memang ada yang ingin menjahili, meneror, atau semacamnya. Karena sms-sms jahil, hanya dilakukan oleh anak-anak (mengapa anak-anak?) yang merasa kesepian. Beberapa kali memang ada, entah laki-laki entah perempuan, yang tiba-tiba sms bercerita tentang keluhan hatinya. Saya tanya, “Maaf, ini siapa ya?” ia tak menjawab, malah mengirim sms curhatannya lagi. Pada akhirnya, ia tak membalas lagi, mungkin capek membaca balasan saya : Maaf, ini siapa? Berulang kali.

“Kamu ketakutan. Apa yang kamu harapkan dari manusia?” tanya saya padanya lagi – ia perempuan.

“Apakah salah merasa takut? Kenyamanan, kang,” jawabnya.

“Hehe,” nampak sekali ia tak tenang dengan sebutan itu : salah. “Apakah manusia memiliki kenyamanan yang bisa diberikan, seperti ketika ia memberikan sepotong roti? Kenyamanan ada dalam hatimu sendiri. Bahagiakan-lah hatimu, untuk membahagiakan orang lain.”

“Mengapa Tuhan seakan memberikan kesempatan pada manusia untuk melakukan kesalahan?” tanya saya lagi.

“Untuk... berpikir?” jawabnya.

“Betul. Agar kita belajar memaafkan, semakin bijak, mengingatkan, semakin paham bahwa memang beginilah kehidupan,”

Suatu saat pernah saya ceritakan kisah lama saya waktu masih mahasiswa pada beberapa guru sekolah ini. Ada seorang teman yang, mungkin sangat enggan berdekatan dengan saya, ia mengucapkan nau’dzubillah, apa artinya? Ia berdoa pada Tuhan agar ia dijauhkan/dilindungi dari saya. Apakah saya menggodanya agar menjadi kekasih saya? Hehe, saya tak akan mendekati wanita kecuali memuliakannya. Dari ucapannya, seakan saya syetan, yang biasa ditakuti oleh manusia. Apakah saya membencinya? Sama sekali tidak. Dia adik tingkat saya, teman saya, mana mungkin saya bisa membencinya? Aku katakan sebelumnya, manusia memiliki kesempatan untuk berbuat baik sebesar kesempatannya untuk berbuat jelek. Mengapa manusia bisa salah? Agar kita saling mengingatkan, berkasih-sayang sesama manusia/alam, saling menjaga.
Siangnya, satu sms lagi datang dari teman mahasiswa organisasi ekstra. Ia bercerita tentang kebekuan akalnya, saat tenggelam dalam cinta ‘terendah’ : antar laki-laki dan perempuan. Kemudian ia merasa lelah dengan semua ini, perenungannya, perjuangannya dalam organisasi. Ia juga bercerita ketika ia menentang dosen, yang sebenarnya dosen tersebut mengizinkan dikritik oleh mahasiswanya sendiri.

“Akhirnya gimana, sama dosenmu itu?” tanyaku.

“Ya... kata akang juga, tidak ada dosen yang legowo, mau menerima kesalahan di depan mahasiswanya, apalagi meminta maaf. Akhirnya, saya lakukan yang sering akang lakukan dulu waktu masih kuliah kalau dimarahi dosen egois : salam, senyum, sapa, santai, hahahaha,” ia nampak puas.

Its perfect, hehe,”

Saat ini, saya diberi amanah sebagai kepala sekolah dasar. Saya memimpin guru-guru, siswa, juga orangtua siswa (kami memiliki pengajian orangtua siswa dan guru yang saya komandoi). Apakah dengan semua itu saya berhak sombong, menjaga jarak, menganggap lebih tinggi, mengharap dihormati? Saya pernah menyarankan pada para guru untuk memakai seragam bebas : jangan mau diseragamkan! Karena dari seragam yang bebas, kesombongan semakin kecil memiliki kesempatan. Titel, jabatan, seragam, itu menjadikan kita merasa nyaman dalam kesombongan : yang tak kita sadari. Tentu, saya setuju setiap orang punya alasan masing-masing ketika menjaga jarak dengan orang lain. Entah memang merasa tak selevel, tak sekasta, atau apa. Tapi, bagi saya sendiri, untuk hidup penuh cinta, mencintai manusia/alam, aku kira tak harus sederajat. Kita semua sama di hadapan Tuhan.

Saya sendiri pernah merasa bersalah menjadi yang seperti ‘ini’. Beberapa teman menyangka saya tak begitu saja menambahkannya di jejaring facebook atau twitter atau semacamnya. Ya ampun, aku ini bukan ‘orang tinggi’. Saya sepertimu, manusia biasa, bahkan mungkin lebih hina di hadapan Tuhan : siapa tahu? Bahkan, ketika beberapa orang teman ‘mengeroyok’ saya untuk berbagi buku-buku saya dalam bentuk PDF, saya bagikan. Jika menggunakan bahasa kaum Zen (budha Zen), jika aku memiliki bulan atau bintang pun, pasti akan ku berikan padamu.


Dari remaja, saya belajar sekuat tenaga untuk berseteru dengan kesombongan. Pakaian, cara jalan, bicara, semua menandakan bahwa saya adalah orang bodoh. Bukan merendah, tapi memang itu kenyataan. Ketika ditanya teman tentang sikap hidupku ini, aku katakan : Aku izinkan syetan mengalir di dalam darahku, tapi tak ku izinkan ia memasuki hatiku. Karena di sana – hatiku, sudah dan hanya ada Tuhanku saja,”

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)