Jika seorang anak hidup dengan rasa malu,
Ia belajar merasa bersalah.
(salah satu kutipan puisi pendidikan, Dorothi L.)
Bukti bahwa ‘evaluasi harian’ sangat berpengaruh pada
kebiasaan siswa, baru terlihat sekarang. Seorang siswi yang di awal tahun,
ketika evaluasi harian masih dibagi, mendapat testimoni baik dari keluarganya –
bangun pagi, belajar, sholat, kini anaknya minta keluar dan tak mau bersekolah.
Apa alasannya? Malas. Saya akan paham, jika kemalasannya disebabkan oleh guru
atau sekolah yang kurang nyaman – saya mengakui sekolah ini ‘ala kadarnya’
(memprihatinkan). Tapi, dia ingin keluar, kerena alasan malas : sudah itu saja.
Melihat latar belakang keluarga yang lemah, saya menjadi serba salah.
Akan saya terima penilaian siapapun, bahwa sekolah ini belum
memiliki apa-apa untuk dibanggakan. Gedung, fasilitas, sarana prasarana, bahkan
toilet kita belum punya – betapa tragis. Kami masih menumpang pada sebuah
gedung madrasah diniyah awaliyah (MDA). Di satu sisi, saya paham harus
melengkapi semua itu. tapi di sisi lain, jika saya fokus pada bangunan, maka
kualitas guru sekolah ini yang ‘asal masuk’ tak akan terpantau teliti. Inovasi evaluasi
harian saja, itu ide saya dari berbagai ide lain yang saya buat. Bagaimana dengan
ide para guru? Belum. Belum ada. Dan saya paham, memaksa mereka yang tak
terbiasa berinisiatif untuk berinovasi, akan lebih sulit daripada mengajak
anak-anak untuk belajar.
Evaluasi harian biasanya kami sebarkan tiap Hari Sabtu. Setiap
hari dibawa, dan akan dicek oleh masing-masing wali kelas. Tapi tahun ajaran
ini, kami sepakat untuk meniadakan sementara lembar tersebut. Dengan pertimbangan
dana yang cukup banyak ketika itu diedarkan, dan kurang efektif – menurut kami
saat itu. sekolah kami sekolah swasta – banget – yang pembiayaannya dari
yayasan dan pemerintah. Beberapa bulan terakhir, yayasan tak memberi ‘asupan
gizi’ pada sekolah ini. hal itu membuat saya ketar-ketir untuk mencukupi
kebutuhan operasional di luar dana dari pemerintah. Meski honor bulanan sudah
tidak saya ambil – saya kembalikan lagi ke sekolah, itu tetap saja belum cukup.
Luar binasa.
Sarana prasarana menjadi prioritas kedua saya, sedang yang
menjadi prioritas utama saya adalah peningkatan kualitas pembelajaran guru –
desa. Sering saya sampaikan pada mereka, jadikan siswa merasa nyaman di sekolah
ini : karena kita belum memiliki apa-apa. Saya sampaikan :
Hukum mendidik ada dua :
11. Sampaikan pada anak pembelajaran yang mereka
sukai,
22. Jadikan siswa menyenangi apa yang ingin kita
sampaikan, jika tidak, kembali ke nomor satu.
Puisi pendidikan di atas, adalah salah satu persoalan yang
dihadapi anak-anak keluarga kurang mampu di sini. Mereka sering dicekoki rasa
malu oleh orangtuanya – miskin, bukan orang terpandang – sehingga membawa
dampak buruk. Yaitu munculnya rasa bersalah pada anak, karena tak hidup seperti
anak-anak yang lain : yang mampu, yang orangtuanya lengkap, yang makan teratur,
dsb.
Saya sendiri, sangat menyesal karena tak punya waktu untuk ‘berekonomi’,
menambah pendapatan. Waktu saya habis untuk bekerja, bagaimana sekolah ini semakin terlengkapi. Sudah honor tak diambil, tak punya penghasilan lain pula. Bagaimana
pak guru bisa membantumu – selain kepedulian, nak? Maafkan pak guru ya, nak...