Maafkan pak guru ya, nak...

Java Tivi
0

Jika seorang anak hidup dengan rasa malu,
Ia belajar merasa bersalah.
(salah satu kutipan puisi pendidikan, Dorothi L.)
 
Bukti bahwa ‘evaluasi harian’ sangat berpengaruh pada kebiasaan siswa, baru terlihat sekarang. Seorang siswi yang di awal tahun, ketika evaluasi harian masih dibagi, mendapat testimoni baik dari keluarganya – bangun pagi, belajar, sholat, kini anaknya minta keluar dan tak mau bersekolah. Apa alasannya? Malas. Saya akan paham, jika kemalasannya disebabkan oleh guru atau sekolah yang kurang nyaman – saya mengakui sekolah ini ‘ala kadarnya’ (memprihatinkan). Tapi, dia ingin keluar, kerena alasan malas : sudah itu saja. Melihat latar belakang keluarga yang lemah, saya menjadi serba salah.

Akan saya terima penilaian siapapun, bahwa sekolah ini belum memiliki apa-apa untuk dibanggakan. Gedung, fasilitas, sarana prasarana, bahkan toilet kita belum punya – betapa tragis. Kami masih menumpang pada sebuah gedung madrasah diniyah awaliyah (MDA). Di satu sisi, saya paham harus melengkapi semua itu. tapi di sisi lain, jika saya fokus pada bangunan, maka kualitas guru sekolah ini yang ‘asal masuk’ tak akan terpantau teliti. Inovasi evaluasi harian saja, itu ide saya dari berbagai ide lain yang saya buat. Bagaimana dengan ide para guru? Belum. Belum ada. Dan saya paham, memaksa mereka yang tak terbiasa berinisiatif untuk berinovasi, akan lebih sulit daripada mengajak anak-anak untuk belajar.

Evaluasi harian biasanya kami sebarkan tiap Hari Sabtu. Setiap hari dibawa, dan akan dicek oleh masing-masing wali kelas. Tapi tahun ajaran ini, kami sepakat untuk meniadakan sementara lembar tersebut. Dengan pertimbangan dana yang cukup banyak ketika itu diedarkan, dan kurang efektif – menurut kami saat itu. sekolah kami sekolah swasta – banget – yang pembiayaannya dari yayasan dan pemerintah. Beberapa bulan terakhir, yayasan tak memberi ‘asupan gizi’ pada sekolah ini. hal itu membuat saya ketar-ketir untuk mencukupi kebutuhan operasional di luar dana dari pemerintah. Meski honor bulanan sudah tidak saya ambil – saya kembalikan lagi ke sekolah, itu tetap saja belum cukup. Luar binasa.

Sarana prasarana menjadi prioritas kedua saya, sedang yang menjadi prioritas utama saya adalah peningkatan kualitas pembelajaran guru – desa. Sering saya sampaikan pada mereka, jadikan siswa merasa nyaman di sekolah ini : karena kita belum memiliki apa-apa. Saya sampaikan :

Hukum mendidik ada dua :
11. Sampaikan pada anak pembelajaran yang mereka sukai,
22. Jadikan siswa menyenangi apa yang ingin kita sampaikan, jika tidak, kembali ke nomor satu.

Puisi pendidikan di atas, adalah salah satu persoalan yang dihadapi anak-anak keluarga kurang mampu di sini. Mereka sering dicekoki rasa malu oleh orangtuanya – miskin, bukan orang terpandang – sehingga membawa dampak buruk. Yaitu munculnya rasa bersalah pada anak, karena tak hidup seperti anak-anak yang lain : yang mampu, yang orangtuanya lengkap, yang makan teratur, dsb.


Saya sendiri, sangat menyesal karena tak punya waktu untuk ‘berekonomi’, menambah pendapatan. Waktu saya habis untuk bekerja, bagaimana sekolah ini semakin terlengkapi. Sudah honor tak diambil, tak punya penghasilan lain pula. Bagaimana pak guru bisa membantumu – selain kepedulian, nak? Maafkan pak guru ya, nak...

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)