Cerpen
“Hati-hati dengan serangan fajar dari partai lain,” kata Mas Joko. Beliau adalah
panglima pemenangan pen-Caleg-an Mas Hanif, satu dari dua Caleg dari desa itu. “Justru,
semakin dekat dengan hari H, kita tak boleh berhenti bergerak : kampanye. Uang masih
akan menjadi konsumsi utama masyarakat kita,” mereka memperbincangkan tentang
intrik politik, perebutan suara di desanya.
Mas Joko adalah seorang ustadz, yang menjadi pembina
majlis ta’lim terbesar di desa itu. Ia berani mengorbankan ‘harga dirinya’
sebagai ustadz untuk maju di medan
perpolitikan. Ia berani mengambil resiko tersebut, karena jika tidak, ia akan
seperti orang pintar yang diam saja melihat kehancuran. Baginya, seorang ulama
(intelektual agama) tak boleh menutup diri dari kehancuran lingkungannya. Ulama
atau intelektual yang menutup diri dari perpolitikan, bagaikan prajurit dengan
pedang tajam yang diam melihat kawan-kawannya mati tanpa perlawanan. Dan Mas
Hanif inilah – salah satu keluarga beliau, yang akan menjadi ‘tangga’
memperjuangkan hak rakyat desanya. Sebagai panglima, ia paham, bahwa tidak ada
perjuangan yang gratis. Semua perjuangan membutuhkan biaya.
“Jer basuki
mawa bea,” kata Mas Joko. “Kita memang tak begitu banyak memiliki biaya –
kita miskin, tapi saya yakin, dengan Timses (Tim Sukses) yang solid, kita bisa
menyikat perolehan suara dari partai lain.
Keyakinan Mas Joko bukan tak berdasar. Sebagai pembina
majlis ta’lim, ia memiliki banyak pasukan – santri. Terlebih lagi, tradisi
dalam pesantren adalah mematuhi perintah pimpinan : kyai/ustadz. Maka tidak
menutup kemungkinan jika antara pemimpin majlis dan santri menyatukan kekuatan,
mempromosikan sang Caleg, akan menjadi kejutan ketika hari pemilihan. Itu terbukti
ketika Mas Hanif dikunjungi beberapa masyarakat yang mendukungnya, meski tanpa ‘amplop’
: bayaran.
“Kalau saya sih Mas, tanpa uang begituan pun saya
akan memilih penjenengan,” kata salah
satu tamu.
“Benar, Mas. Kemarin memang tim dari partai anu
bagi-bagi uang 50.000. Ya kami terima, kami tidak munafik. Tapi tentang
pencoblosan, saya tetap memilih panjenengan, Mas,” kata warga lainnya.
“Terima kasih, terima kasih,” kata Mas Hanif,
terlihat senang. Tapi, dalam strateginya, ia tak akan percaya pada kabar
siapapun sebelum mengeceknya. Begitu banyak orang yang, ketika awalnya
mendukung, namun karena tidak ada ‘amplop’, mereka berganti arah pada partai
lain yang kaya.
Strategi pemenangan di desa sendiri ternyata jitu. Mereka
menang mutlak dari partai lain di desa sendiri. Malam itu, malam setelah
pencoblosan, aura kemenangan terasa di posko Mas Hanif. Suara takbir lantang
terdengar, ketika dihitung perolehan suara dari beberapa TPS, bahkan belum 100%
semua TPS. Suara ternyata lebih dari yang diharapkan. Tanna-tanda kemenangan
sudah terlihat. Tapi, adik Mas Hanif, Mas Arif nampaknya berbeda firasat.
“Permainan politik ibarat strategi memasang ranjau
di dalam jalan yang nyaman. Politikus paling pintar, ia yang mampu memasang ‘ranjau’
tanpa diketahui oleh lawannya, hingga mereka mengira jalan yang dilewati begitu
nyaman. Tapi, politikus yang lebih pintar adalah mereka yang setiap menginjak
ranjau, lolos dengan cerdas,” kata Mas Arif. “Jangan terlena,”
Apa yang Mas Arif katakan di malam itu ternyata
terbukti. Mas Hanif tidak kalah dari partai lain. Tapi ia kalah dari Caleg satu
partai, yang sebelum pencoblosan membagikan uang dan janji-janji khayal :
kulkas, motor, umroh, bagi pemilih. Sontak tim sukses Mas Hanif merasa lemas. Sang
ustadz terutama, ia merasa sangat jengkel, mendengar kabar bahwa rekan Caleg
saudaranya menelikung dengan curang. Ia geram, karena memang sebenarnya sudah
ada aturan bermaterai bahwa tidak boleh kader partai – yang diikuti mereka –
melakukan praktek kecurangan seperti itu. Mas Hanif nge-drop, merasa kecolongan. Ia khawatir, bahwa partai yang katanya
berdasarkan asas dakwah itu, lebih mementingkan jabatan daripada cara mendapatkannya.
Ia khawatir, ia yang berjuang secara jantan
dan fair, tak akan menjadi prioritas
partainya. Ia merasa dikalahkan oleh orang yang tak paham apa-apa tentang
perjuangan.
“Tapi ini politik, Mas. Everything is fair in the love and war,” kata seorang teman. Ia masih
setia bersama perjuangan Mas Hanif.
“Jika memang begitu, apa nilai lebih dari partai
ini? Apalagi partai ini mengusung perjuangan dakwah, kok malah begitu mainnya?”
kata teman yang lain.
“Tapi, barangkali kekalahan itu perlu,” kata Mas Joko.
“Dari ini, kita bisa menyingkap hijab, mana orang-orang yang setia pada kita. Dan
mana orang-orang yang membelot – berkhianat,”
Mas Hanif nampak diam. Ia bimbang, sekaligus
gelisah. Bukan kekhawatiran tak mendapat ‘kursi’, melainkan partai yang sudah
ia besarkan itu, akan dihancurkan oleh kader-kader ‘berkanting tebal’.
Kemudian, Mas Arif yang masih mahasiswa S2, mengirim
sms pada kakaknya malam itu.
“Kalau pimpinan kepengurusan partai, punya wewenang
tidak dalam penetapan Caleg?” sms Mas Arif.
“Ya, mereka memiliki wewenang penuh,”
“Meski suara terbanyak, belum tentu partai
memutuskan ia yang ‘duduk’?”
“Ya,”
“Faidza
faroghta fanshob : setelah satu perjuangan telah selesai – waktunya, maka
lanjutkanlah perjuangan setelahnya. Idza wusida
al amru illa ghairihi ahlihi, fantadziri ashsha’ah, ketika suatu amanah tidak
dipegang oleh ia yang amanah, maka tunggulah kehancurannya,” Mas Arif
melanjutkan. “Maafkan aku, bukan maksud sok tahu. Darul mafasid muqaddamun jalbil masholih. Partai Mas itu belum
begitu banyak perolehan suaranya di kota kita. Jika yang mewakili adalah orang
dengan kapabilitas yang diragukan, maka akan berefek pada perolehan suara lima
tahun ke depan. Jika seorang kader partai ini yang ‘duduk’ hanya denga modal
janji tanpa perjuangan awal yang nyata dan dengan cara apapun yang penting dapat
jabatan, maka kepercayaan masyarakat pada partai ini akan semakin berkurang. Dan
slogan partai itu hanya sebatas slogan. Jika cara curang dalam mendapatkan
suara disebut ‘cara cantik’, maka kader yang jujur akan tersingkir kalau tidak
bermain ‘cantik’ di internal partai. Mudharatnya apa? Qiyas di atas bisa menjadi dasar, Mas bermain di internal partai. Mudharatnya adalah, si Caleg suara terbanyak akan tidak terima/stress, karena kursi yang sebelumnya ia mungkin dapatkan, hilang. Jika partai itu memang mengutamakan
jabatan, meski dengan cara buruk, mengapa Mas harus bertahan dalam partai?”
“Setuju. Aku lebih baik kalah dengan elegan,
daripada menang berjubah kehinaan. Sulitnya bertempur dalam medan ini adalah
demikian, dik. Terkadang jabatan menjadi begitu penting, baik sebagai jalan
perjuangan, atau hasrat ambisi pribadi. Lagipula, jika kemenangan didapat
dengan cara curang, apakah itu bisa disebut menang?”
Barangkali, itu yang dimaksud Mas Arif 'lolos' dari ranjau : kecurangan yang bodoh dikalahkan dengan kecurangan yang cerdas.