Mengigau

Java Tivi
0
 Di dalam bus aku termenung : mengapa Tuhan memasukan kerumitan dalam pikiran?

Lama aku memikirkan, lalu muncul jawaban,”Kerumitan memasuki pikiran, ketika manusia membuka diri pada sesuatu selain Dia.”

Maka seakan Dia cemburu, “Sana, kau selesaikan saja sendiri. Kau membuka pintu hatimu untuk banyak hal. Tapi ketika Aku datang, kau pura-pura tak tahu,”

Dan nampaknya aku berbohong, ketika berdoa pada-Nya, “Tuhan, aku izinkan setan memasuki darahku dan mengalir bersamanya. Tapi tidak aku izinkan ia memasuki hatiku, karena di sana sudah dan hanya ada Engkau,”

Kemudian aku berbicara padanya tentang cinta, walau ia menjawab, “Bagaimana kau akan mengenal cinta, sedang qur’an saja tak pernah kau sapa. Bukan baca, tapi sapa, menyapa, berdialog dua arah,”

Aku pun terdiam, tertunduk.

Dan aku menjawab, “Aku tak malu dengan kondisi yang seperti ini. aku hanya – berdalih, mungkin, belum berani menghadapi/menerima kenyataan,”

Lalu di suatu saat aku terceramahi oleh seorang pemuka agama, aku katakan : Jika agama ini seperti yang anda katakan (kaku, ketat, mutlak) maka saya katakan bahwa saya tidak menganut agama ini. tapi aku pengikut Muhammad ibn Abdullah dan Tuhanku Allah.

Di sana, aku bukan sedang menantang pikiran orang lain. Tapi sebenarnya aku menantang pikiranku sendiri. Apakah benar, apa yang aku katakan itu benar? Atau, mengapa kita tak boleh mengatakan sesuatu yang tidak benar? Bukankah ketidakbenaran dan kebenaran adalah satu koin? Seorang pelacur bercerita tentang perzinaannya, lalu ia ingin taubat. Bukankah perzinaan adalah ketidakbenaran? Tapi ia ingin taubat, apakah taubat juga ketidakbenaran? Ketidakbenaran untuk seorang pendosa, karena kebenaran untuk pendosa adalah ketetapannya dalam jerat tindakan jahat?

Di dalam itu bersembunyi nafsu. Ketika aku menginginkan seorang gadis cantik untuk selalu menemani malamku, itu nafsu. Em, atau kebutuhan? Seorang remaja ingin menunjukan betapa tampannya ia di hadapan remaja-remaja perempuan sekolahnya. Lalu ia berpikir, apakah memang harus? Untuk apa? Teranggap hebat, keren, top? Lalu, setelah itu apa? Menurutinya hanya akan berujung kelelahan.

Seperti ucapan kelelahan seorang teman di jalanan, “Jangan kau kira hidup di jalanan itu enak. Mencari uang untuk diri sendiri saja sudah cukup susah, apalagi untuk orang lain, orang banyak. Jauh di dalam diriku, betapa lelah aku hidup di jalan ini. tapi, apa yang harus aku lakukan jika kehidupan mengharuskanku demikian? Jangan kau kira jalan yang ku ‘pilih’ ini adalah jalan yang nyaman. Kini, kau tahu mengapa seringkali aku menolak wanita yang ingin bersamaku : aku takut mereka tak kuat. Aku bukan kapasitas mereka,”

Apakah kelelahannya bersumber dari nafsu? Untuk apa seseorang hidup, berjuang, jika bukan untuk apa-apa? Atau jangan-jangan, memang itu ‘tujuannya’ : tidak untuk apa-apa.

Lalu seseorang berkata dengan sombong, “Ketika Tuhan telah memilih seseorang untuk mengemban tugas-Nya di bumi, maka Ia akan meminta mata untuk menangis,”

Apakah itu berkesesuaian, bahwa peliknya kehidupan adalah kedekatan Tuhan pada manusia? Bagaimana jika manusia itu tak peduli, ya, tak peduli pada Tuhan atau apapun yang hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Tapi ia tetap bertahan hidup, berjuang untuk banyak orang, dan, lagi-lagi, tidak untuk apa-apa?

Seorang gila berkumandang, “Aku tidak menutup diri dari dunia, setan, iblis, yuwaswisu fi shudurin nas. Tapi ketika mereka memaksa masuk – ke dalam hatiku, mereka terhalangi. Apa yang membuatmu terhalangi untuk masuk ke dalam hatiku?”

Lalu seorang yang sadar mengingatkan, “Mengapa manusia mudah lupa, ceroboh? Tuhan memberikan kesempatan pada kita agar saling mengingatkan. Agar ketika seorang di antara kita berbuat salah, kita memberinya cinta kita : dengan mengingatkannya. Bukan menjatuhkan, menghancurkannya. Tiap jiwa memiliki kenangan menyakitkan, yang ketika ia muncul ke permukaan, akan mengganggu kedamaian jiwa tiap orang saat itu,” kemudian ia berdendang ...

Di laut yang dangkal
Seseorang akan terlihat lebih tinggi dari lautan
Dalamnya lautan
Akan menenggelamkan seseorang
Seperti kedangkalan ilmu seseorang
Ia akan merasa tinggi
Seperti perasaan tinggi seseorang
Akalnya akan tenggelam

Ah, tapi di jaman ini siapa saja bisa hidup meski tanpa akal, perasaan, atau ilmu. Untuk hidup di jaman ini, seseorang cukup dengan uang, kekayaan, tahta, meski tanpa akal atau perasaan : semua tetap berjalan biasa.
Lalu ia berdendang kembali ...

Sayang, apa kabarmu di sana?
Masihkah tersenyum
Meski tanpa aku dan rasa kita?
Masihkan engkau mengintip kata-kata
Yang ku buat untukmu,
Tentang keresahan hati
Ketika engkau masih di sini?

Ah, andai Tuhan bertelinga
Ingin aku bertanya kepada-Nya
Mengapa Kau lepas ia dari sini?
Mengapa perpisahan terasa begitu pedih?

Jika mendung
Memisahkan langit dan bumi
Mereka mungkin kan berjumpa lagi
Dengan pelangi yang indah memayungi

Tapi apa,
Kelak yang kan mempertemukan kita
Jika ruang dan waktu di sana
Tak bersentuhan sama sekali dari duniaku ini?

Sayang, aku seperti seorang pendaki
Yang tertinggal dari kumpulannya
Gelapnya malam dan dingin
Membuatku takut berjalan ke depan

Diam aku membeku
Bergerak pun aku tak mampu
Manusia memang payah
Terlalu lemah saat berada dalam ketidaktahuan
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)