Pemulung

Java Tivi
0
Untukmu, Ku-berikan dengan ikhlas sebuah kegilaan.

Menjadi pemulung saat SD, itulah pengalaman Jon. Dia tertakdir seperti itu, ternyata memang berhubungan dengan masa depannya. Saat kecil ia mengumpulkan sampah, barang rusak, barang yang sudah tak diharapkan lagi : begitupun ketika dewasa. Menjadi pemulung menurut Jon sangat ‘berfilosofis’. ‘Manusia pemulung’ adalah mereka yang selalu siap menampung ‘sampah-sampah’ pikiran banyak orang. Mendekati atau didekati orang-orang – berjiwa – ‘rusak’ atau bermasalah. Saat SMA, dia menjadi tukang servis alat elektronik. Pengalaman itu juga tak jauh beda dengan memulung : berfilosofis. ‘Tukang servis’ manusia itu seperti dokter. Mengecek, memeriksa, mendiagnosis kejiwaan manusia, yang mungkin lebih rumit dari penyakit fisik dan obatnya lebih langka – daripada obat-obatan kimiawi. ‘Menyervis’ hati dan pikiran manusia itu bukan kemampuan manusia, karena tidak ada yang mengetahui banyak hal tentang manusia kecuali Tuhan. Jadi, sebenarnya si Jon Cuma mendiagnosis ‘perangkat’ apa yang rusak atau sebaiknya diganti. Lalu ia menyarankan untuk melakukan ‘tirakat’ mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Barangkali lebih ‘indah’ menjadi tukang servis, daripada pemulung. Tukang servis bekerja di tempat menetap, tapi pemulung itu nyaris gelandangan. Tukang servis punya keahlian, pemulung, keahliannya hanya ‘kaki’ dan ‘perintah Tuhan’ ke mana ia harus melangkah. Jadi, berprofesi pemulung lebih dekat dengan Tuhan, selain selalu melakukan perjalanan – seperti anjuran kitab suci, juga mengikuti kehendak Tuhan ke mana angin berhembus : berbau ada barang rongsokan.

Tentang penghinaan, juga barangkali lebih sedikit yang diarahkan pada tukang servis, daripada pemulung. Seperti si Jon, ‘pujian’ apa yang belum ia dapatkan? Gembel? Kere? Sesat? Kafir? Anak dukun? Bahkan keluar dari mulut perempuan (makhluk Tuhan yang ‘katanya’ paling indah itu) kata najis dan jijik (tanpa tanda kutip) untuk Jon seorang. Betapa tulus dan jujur pujiannya.

Manusia memang cenderung jujur ketika mengungkapkan kejelekan. Tapi menyimpan sebagian, ketika tahu kebaikan ada dalam diri orang lain. Itu, barangkali yang disebut jujur di jaman ini.

Ia memulung dan menyervis pikiran dan hati-hati (sedikit) orang yang rusak, parah ataupun ringan. Tapi sebagai imbalan, ia ‘dipuji’ demikian di atas tadi.

Saat ini, ia diberikan amanah untuk ‘menyervis’ pendidikan di kampungnya. Bekerja keras, berjuang sampai tubuhnya kerempeng (memang dari bayi juga kerempeng). Tapi, orang-orang tak mau tahu, tak mau paham, sekeras apa ia bekerja untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ia inginkan. Maka, selalu-lah ia mau saja direpotkan banyak orang. Terlepas dari ia yang ‘sableng’ tak ingin merepotkan banyak orang, ia tak pernah berkata sibuk – meski memang dia super amat sibuk.

Ia menginginkan jadi guru SMP / SMA. Semangatnya ada di sana. Tapi, ia diamanahi sekolah SD, tempat yang sebenarnya tak pernah ia harapkan. Sangat susah memang, mengerjakan sesuatu yang orang lain tak menyukainya. Ia bekerja maksimal, keras, tanpa dengan kepastian hasil yang pasti. Jika pun sudah hasil, maka itu bukan untuk diri sendiri, tapi selalu untuk orang lain, orang banyak.

Ketika ia mengetuk hatinya sendiri, Tuhan seakan berkata : Engkau bekerja untuk-Ku, dan dengan ikhlas Ku berikan kegilaan untukmu.

* Wanita-wanita keraton

Orang lain, termasuk keluarga besar kakeknya, tak tahu si Jon ini sedang ada tugas besar apa. Seperti malam kemarin, tanpa sepengetahuannya ia menjadi sekretaris panitia pernikahan adik sepupunya. Ia tipe pria – kampungan – berprinsip : ia dilahirkan untuk selalu siap pada apapun. Jadi, sekalipun ia tak tahu apapun dan awam dalam hal ‘pesta’ (resepsi), ia siap-siap saja.

Mungkin karena bibi si Jon itu orang penting, maka resepsi juga harus besar dan meriah. Berbeda dengan Jon yang berpikir ‘primitif’, ia tak setuju dengan resepsi. Ia lebih senang dengan konsep walimahan, yang sedikit kemungkinan menghasilkan kemubadziran. Mulutnya berkata ‘iya’, ketika ditanya tentang resepsi. Tapi dalam hatinya, ia tak akan membuat orang-orang kesusahan seperti itu, terlebih tanpa ada (tidak termasuk) syarat-rukun dan sunnah agama dalam melakukan itu.


Demikianlah hidup Jon, selalu mengelak bahkan dari ‘budaya’ priyayi keluarga besar kakeknya. Ia tak senang dengan wanita-wanita berjiwa ‘keraton’ (ke-ratu-an). Ia lebih tenang, jika didekatkan dengan wanita-wanita ‘pribumi’. Wanita-wanita yang siap jadi istri sekaligus ibu, bukan sebagai ‘ratu’ atau ‘tuan putri’, yang selalu menghendaki kemudahan dan tenar : diperhatikan banyak orang. Jon termasuk orang yang mesra, tentang puisi dan sastra, ia tak kalah puitis dengan sastrawan lama. Tapi, bakatnya itu hanya ia ungkapkan pada wanita-wanita tertentu saja, semisal tiga wanita yang meninggalkannya. Cukup rumit untuk menjadi seorang Jon, meski ia hanya orang biasa, orang kampung. Di satu sisi ia harus meninggikan orang-orang ‘lemah’ – masyarakat bawah, di satu sisi ia sebenarnya ingin mengungkapkan naluri kepemudaannya : mendapat wanita kesukaan, berkarir, tenar. Tapi, kehidupan seringkali memberi arah pada jalan yang manusia tak menginginkannya. Dan si Jon, termasuk jenis manusia itu. Entah, masih tersisakah wanita ‘pribumi’ yang Jon butuhkan di jaman begini. Mungkin, itu resiko menjadi 'manusia pemulung'. Selalu begitu rendah.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)