Assalamu’alaikum. Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad
wa ala alaih.
Ini hanya sekedar ide, yang mungkin saja sepele, atau omong
kosong. Tapi, ada nasehat dari Sayyidina Ali, bahwa suatu kebijaksanaan bahkan
sangat mungkin keluar dari anak kecil – maka dengarkanlah. Tentu saja, redaksi
sebenarnya tidak begitu.
Bagaimana jika di desa kita ini diadakan semacam majlis ilmu
untuk anak muda, seperti yang saya lakukan satu bulan sekali di Bandung – bekas
kampus saya?
Bagaimana teknisnya, sedangkan anak-anak muda sekarang acuh
pada ilmu pengetahuan?
Kita ambil pertemuan satu minggu sekali / dua minggu sekali.
Untuk sebuah awal, kita membutuhkan beberapa orang anak muda sebagai stimulan (perangsang) anak-anak lainnya.
Dan sepertinya saya punya ‘beberapa orang’ itu. Bagaimana dengan acaranya?
Konsepnya adalah tanya jawab, pertanyaan apapun,
sebebas-bebasnya. Tidak ada larangan pertanyaan, sekalipun itu menyangkut –
misalnya – teologi / filsafat (kalam), hal-hal gaib. Lalu bagaimana jika
pertanyaan itu melanggar syariat? Di sini kita pakai pendekatan psikologis,
yaitu mendengarkan pertanyaan sebaik-baiknya, lalu kita arahkan bahwa
pertanyaan itu boleh ditanyakan, tapi mungkin belum saatnya. Bagaimana jika ia
(penanya) tak puas? Kita berikan pertanyaan balik, yang membuatnya berpikir
bahwa itu memang terlalu membingungkan. Kita akan membahas itu, tapi
pelan-pelan saja.
Siapa fasilitatornya? Tidak ada ‘guru’ forum, semuanya boleh
bicara sesuai versi / pikirannya, yang ada adalah moderator, yang akan merapikan
jalannya diskusi. Nuansanya adalah semangat egaliter, atau sama kedudukannya,
yaotu sebagai peserta diskusi, dan memiliki hak bicara yang sama besar. Semisal,
di sana ada guru A dan ustadz B, maka pertanyaan akan banyak dibahas olehnya –
sesuai dengan kapasitasnya. Tapi ini diskusi, tidak ada kebenaran mutlak,
karena yang dicari dalam diskusi adalah kebijaksanaan, bukan siapa yang paling
benar. Dalam diskusi yang kita lakukan adalah penyempurnaan pengetahuan, dari si
A, Guru A, Ustadz C, dan semua yang hadir di sana. Dalam diskusi, siapa saja
boleh menambahkan / menanggapi, tidak harus sang guru atau sang ustadz. Suasana
yang dikemas adalah kebersamaan, toleransi, dan kekeluargaan.
Suatu diskusi, harus memiliki output atau hasil terdekat dan outcomes
(hasil jangka panjang). Sebagai output, kita bisa pasang mading desa,
mungkin di tempat-tempat strategis yang mudah dibaca siapa saja. Isi mading
adalah karya / tulisan para anggota diskusi. Tidak membatasi siapapun, karena
siapapun boleh menulis / berkarya dengan hasil pikirnya masing-masing.
Outcomes-nya bagaimana? Sangat mungkin ini akan berjalan
sangat panjang dan melelahkan. Tapi, sangat mungkin juga jika ini berlanjut
dengan baik sampai generasi selanjutnya, outcomes yang desa ini dapatkan akan
sangat luar biasa. Kebiasaan berpikir dan berkarya akan menjadikan anak cucu
kita berjiwa besar, bermimpi, dan bekerja keras untuk mendapatkannya. Bisa jadi
– dari diskusi bebas itu, suatu saat kita akan bangga ada anak desa ini yang
menjadi walikota, anggota legislatif yang cerdas dan berilmu, petinggi lembaga
pemerintahan, rektor universitas, pencipta teknologi, atau tingkat
internasional : wali kota Penang Malaysia – misalnya, Duta besar / diplomat,
fisikawan yang dipekerjakan di Jepang / Amerika (misalnya). Dan kemungkinan-kemungkinan
yang lain, semisal desa ini menjadi desa swasembada dan swadaya, karena mampu
bergerak otonom (karena SDM bijak yang tersedia). Swadaya ekonomi, semisal
dengan membuat gudang padi, bawang. Swadaya pendidikan, karena kita memiliki
Majlis Ilmu Al Hikmah (seperti majlis ilmu yang dibuat Harun Ar Rasyid salah
satu khalifah Abbasiah).
Bagaimana jika banyaknya pengetahuan yang tersampaikan di
forum membuat para anggota kebingungan? Umat menjadi bingung, karena pertama,
mereka tak diizinkan memiliki ‘otak’ sendiri (berpikir mandiri). Kedua, para
pemegang ilmu menganggap diri paling benar dan paling baik. Egoisme pribadi.
Jika umat mampu berpikir mandiri, bagaimana jika mereka
tersesat? Di sana makna ing ngarso sung
tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Bahwa orang-orang yang
berada di belakang, tak boleh kita lepaskan begitu saja. Kita tuntun, bina,
didik, jalin silaturahim sampai kapanpun. Jika tidak? Maka itu terlepas dari
kita. Tiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya masing-masing.
Tiap orang tidak memikul tanggung jawab orang lain. Dan kesesatan atau
pemahaman setiap orang adalah untuk dirinya sendiri.
Sebagai hiburan, kita adakan jeda dalam forum untuk
penampilan musik (gitar, rebana/hadroh, dll), puisi, monolog, pantomim (jika
ada). Dan satu bulan sekali, kita hibur mereka dengan pemutaran film-film yang
membuat alam pikir dan imajinasi mereka (anak-anak muda) berkembang. Mengapa
tidak ada muatan islaminya? Moto kita adalah : beriman, berpikir, berimajinasi,
beramal. Kita awali diskusi dengan sholawat, dan kita tutup diskusi dengan
mahalul qiyam juga doa akhir.
Terakhir, apa yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita
selain ilmu? Anak yang salih, apakah ia dapat menjamin dirinya dari rayuan
kekayaan, dunia? Amal jariyah, masjid, sekolah, adakah yang menjamin itu akan
terus berlanjut seiring kemajuan zaman? Dan ilmu, kemungkinannya ada dua :
manusia tanpa ilmu adalah kiamat, ilmu tanpa ada manusia yang mempelajari juga
sama, kiamat.
Manusia (berjiwa) kecil, hanya akan memikirkan hal-hal kecil,
membicarakan orang-orang yang sama kecilnya. Manusia (berjiwa) sedang, akan
memikirkan peristiwa-peristiwa – besar. Manusia (berjiwa) besar akan memikirkan
ide-ide, membicarakan hal-hal besar, dan bersedia melakukannya dari hal-hal
kecil / sepele.