Tak perlu 'Khadijah/Aisyah', cukup 'Kartini' saja,

Java Tivi
0
Saya teliti kembali buku-buku tentang pejuang wanita Indonesia. Dulu, pernah saya tulis catatan tentang Dewi Sartika&Marsinah (2011?). Keunggulan Kartini dari wanita pejuang Indonesia adalah jiwa jamannya. Ia menulis dari usia 16th. Menyukai sastra&mengarang. Ingin jadi guru/bidan yg memang saat itu sangat amat dibutuhkan. Ketika ia merintis Sekolah Rendah (SR), Dewi Sartika berkunjung ke sekolahnya, studi banding. Ketika Kartini wafat dalam usia 25th, Sekolah Kautamaan Istri oleh Dewi Sartika didirikan.
Jika Cut Nyak Dien, Laksamana Keumalahayati, Dewi Sartika/pejuang lainnya tak begitu dibelenggu adat, Kartini-lah yg mungkin satu-satunya 'wanita gila' yg hendak 'memutarbalikan bumi'.
Ia 'liberal', tapi taat pada agama&orangtua. Ia menentang poligami, tapi mengebiri ego demi kepatuhannya pada bapak. Ia tak mau sujud pada Bupati Demak, tak mau memakai seragam kebesaran pengantin, juga menolak mencium kaki suami : atas nama adat. Ia -sebenarnya- tak mau menikah dengan laki-laki yg tak dikenalnya, tak seidealisme, tak satu cita-cita. Pada kakak-kakaknya ia beradat istiadat (menunduk, mengesot ketika mendekat), pada semua adiknya ia terapkan sikap 'liberal' : penghapusan adat itu. Bahkan, ia menyerahkan beasiswa ke Belanda untuk Agus Salim (si intel cendikia), & lebih memilih menemani ayahnya yg sakit-sakitan.

Saya pikir, hati seperti apa yg dimiliki Kartini? Kondisi jaman/lingkungannya gila betul. Bagi saya yg tak asing dengan himpitan keadaan, terasa sekali kehebatan jiwanya. Maka, tak perlu-lah kiranya Tuhan memberiku sosok 'Khadijah/Aisyah', karena 'Kartini' saja bagiku cukup : Wow.

"Kebangsawanan ada 2, pikiran&budi. Tidak ada yg lebih gila&bodoh, dari ia yg membanggakan diri karena keturunan : status." Kartini.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)