chaos (?)

Java Tivi
0
Mengapa terjadi kekacauan – chaos?

Rasanya ingin bercerita tentang si Jon, tapi malam ini ia marah. Berkata aku saja yang harus bercerita kali ini.
“Kau masih terpengaruh pengetahuan dan perasaan. Lampaui itu! Dan jadilah cahaya kebahagiaan,” katanya.

Memangnya ada apa hari ini?

Sebenarnya malas sekali, bercerita tentang kehidupanku yang omong kosong ini. rasanya seperti perempuan manja, yang tak mau hidup mandiri atau menerima kenyataan, bahwa hidup ini harus berbagi, harus ‘menderita’. Selalu sebal, saya pada perempuan dewasa yang manja. Dikiranya, dunia ini hanya dirinya, semua orang harus memperhatikannya. Konyol.

Pagi hari, dapat kabar salah satu jamaah pengajian sekolah kami kerampokan. Puluhan juta hilang, dan  ia yang sebenarnya tak begitu mampu, harus menanggung beban uang pinjaman yang hilang itu.

Agak siang, dapat kabar dari orangtua siswa, bahwa salah satu orangtua siswa saya, terkena tumor otak ganas : tiga tahun. Butuh biaya 50 juta untuk operasi, dengan resiko jika tidak lumpuh atau buta, maka mati jalan terbaiknya – 50 juta melayang sia-sia.

“Kami dari keluarga lemah ekonomi, pak. Kalau rumah sakit ini menerima BPJS, kami akan mengurusnya,” kata anggota keluarga.

“Rumah sakit ini tidak menerima subsidi kesehatan seperti itu,” kata dokter.

“Kami memutuskan untuk memulangkannya saja, pak,” karena hanya dua hari menginap saja, sudah habis total 10 juta.

“Ya kalau mau pulang, pulang saja sana – resiko ditanggung sendiri,” kata dokter lagi.

Geram, waktu saya dengar cerita dari salah satu anggota keluarga orangtua siswa saya itu. kurang ajar, ada dokter yang tak tahu etika bahasa ketika memang tak mau menolong. Saya paham betul, rumah sakit swasta itu pembiayaannya bagaimana. Saya juga paham, betapa banyak pasien yang membuat para dokter dilematis, antara membantu atau bekerja (bisnis kesehatan). Saya hanya heran, apa tidak ada etika profesi agar ucapan yang para dokter kaya dan tak pernah sakit itu lebih santun? Mereka orang terpelajar, orang cerdas, tapi kok bicara kasar?

Selepas isya tadi, saya jenguk beliau. Untuk buang ingus saja, beliau harus dipapah oleh ibunya – nenek siswa saya. Mereka sudah pasrah.

Konflik batin antara realitas kehidupan dan kemaha-mahaan Tuhan, telah aku lakukan dengan sangat pahit saat kuliah. Keyakinan yang mendalam, lahir dari keraguan yang sangat menyakitkan.

Orang tua siswa saya itu seorang janda, anaknya dua masih kecil. yang paling besar, kelas 4 SD, belajar di sekolah saya. Kami – sekolah, jamaah pengajian sekolah, masyarakat, termasuk orang-orang yang mengaji sama saya – adalah keluarga besar. Ketika mereka mendapatkan masalah, maka secara otomatis itu akan menjadi masalah saya. Sempat saya niatkan, dan insya allah akan aku lakukan, jika memang kehendak Tuhan memang memanggil orangtua siswa saya itu, akan aku biayai sekolah siswa saya itu sampai perguruan tinggi. Akan aku ‘wariskan’ banyak pemikiran yang ‘menyesatkan’ akal pikiranku. Akan aku jadikan ia bayanganku – jika Tuhan menghendaki.

Rasanya lelah sekali hari ini. tuntutan sekolah menjelang tahun ajaran baru saja begitu besar dan banyak. Lalu ditembah lagi dengan ‘kekacauan’ ini. ya ampun, keren sekali hidupku ini?

Ah ya, mengapa terjadi kekacauan dalam hidup ini?

Jika bukan mengarah pada keteraturan yang lebih tinggi, maka akan mengarah pada kehancuran : keteraturan awal. Di sana, di setiap kekacauan ada keteraturan yang tersembunyi. Seperti kata Jon, “Jangan mainkan bolamu, selama masih ada bola lain di meja – bilyard – yang bergerak. Diamkan dulu, lalu kacaukan kembali – menuju keteraturanmu,”


Mudah-mudahan ini bukan pertanda buruk. Karena hidupku memang benar-benar ‘buruk’.

*Benar-benar hari yang melelahkan,
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)