Mengapa terjadi kekacauan – chaos?
Rasanya ingin bercerita tentang si Jon, tapi malam ini ia
marah. Berkata aku saja yang harus bercerita kali ini.
“Kau masih terpengaruh pengetahuan dan perasaan. Lampaui itu!
Dan jadilah cahaya kebahagiaan,” katanya.
Memangnya ada apa hari ini?
Sebenarnya malas sekali, bercerita tentang kehidupanku yang
omong kosong ini. rasanya seperti perempuan manja, yang tak mau hidup mandiri
atau menerima kenyataan, bahwa hidup ini harus berbagi, harus ‘menderita’. Selalu
sebal, saya pada perempuan dewasa yang manja. Dikiranya, dunia ini hanya
dirinya, semua orang harus memperhatikannya. Konyol.
Pagi hari, dapat kabar salah satu jamaah pengajian sekolah
kami kerampokan. Puluhan juta hilang, dan
ia yang sebenarnya tak begitu mampu, harus menanggung beban uang
pinjaman yang hilang itu.
Agak siang, dapat kabar dari orangtua siswa, bahwa salah
satu orangtua siswa saya, terkena tumor otak ganas : tiga tahun. Butuh biaya 50
juta untuk operasi, dengan resiko jika tidak lumpuh atau buta, maka mati jalan
terbaiknya – 50 juta melayang sia-sia.
“Kami dari keluarga lemah ekonomi, pak. Kalau rumah sakit
ini menerima BPJS, kami akan mengurusnya,” kata anggota keluarga.
“Rumah sakit ini tidak menerima subsidi kesehatan seperti
itu,” kata dokter.
“Kami memutuskan untuk memulangkannya saja, pak,” karena
hanya dua hari menginap saja, sudah habis total 10 juta.
“Ya kalau mau pulang, pulang saja sana – resiko ditanggung
sendiri,” kata dokter lagi.
Geram, waktu saya dengar cerita dari salah satu anggota
keluarga orangtua siswa saya itu. kurang ajar, ada dokter yang tak tahu etika
bahasa ketika memang tak mau menolong. Saya paham betul, rumah sakit swasta itu
pembiayaannya bagaimana. Saya juga paham, betapa banyak pasien yang membuat
para dokter dilematis, antara membantu atau bekerja (bisnis kesehatan). Saya hanya
heran, apa tidak ada etika profesi agar ucapan yang para dokter kaya dan tak
pernah sakit itu lebih santun? Mereka orang terpelajar, orang cerdas, tapi kok
bicara kasar?
Selepas isya tadi, saya jenguk beliau. Untuk buang ingus
saja, beliau harus dipapah oleh ibunya – nenek siswa saya. Mereka sudah pasrah.
Konflik batin antara realitas kehidupan dan kemaha-mahaan
Tuhan, telah aku lakukan dengan sangat pahit saat kuliah. Keyakinan yang
mendalam, lahir dari keraguan yang sangat menyakitkan.
Orang tua siswa saya itu seorang janda, anaknya dua masih
kecil. yang paling besar, kelas 4 SD, belajar di sekolah saya. Kami – sekolah,
jamaah pengajian sekolah, masyarakat, termasuk orang-orang yang mengaji sama
saya – adalah keluarga besar. Ketika mereka mendapatkan masalah, maka secara
otomatis itu akan menjadi masalah saya. Sempat saya niatkan, dan insya allah
akan aku lakukan, jika memang kehendak Tuhan memang memanggil orangtua siswa
saya itu, akan aku biayai sekolah siswa saya itu sampai perguruan tinggi. Akan aku
‘wariskan’ banyak pemikiran yang ‘menyesatkan’ akal pikiranku. Akan aku jadikan
ia bayanganku – jika Tuhan menghendaki.
Rasanya lelah sekali hari ini. tuntutan sekolah menjelang
tahun ajaran baru saja begitu besar dan banyak. Lalu ditembah lagi dengan ‘kekacauan’
ini. ya ampun, keren sekali hidupku ini?
Ah ya, mengapa terjadi kekacauan dalam hidup ini?
Jika bukan mengarah pada keteraturan yang lebih tinggi, maka
akan mengarah pada kehancuran : keteraturan awal. Di sana, di setiap kekacauan
ada keteraturan yang tersembunyi. Seperti kata Jon, “Jangan mainkan bolamu,
selama masih ada bola lain di meja – bilyard – yang bergerak. Diamkan dulu,
lalu kacaukan kembali – menuju keteraturanmu,”
Mudah-mudahan ini bukan pertanda buruk. Karena hidupku
memang benar-benar ‘buruk’.
*Benar-benar hari yang melelahkan,