Malam lalu seorang teman bertanya pada Jon, “Bukankah
kemiskinan itu dekat dengan kekafiran? Mendekatkan kita pada kekafiran? Tapi para
sufi hidup kismin-kismin (miskin),
dan sepertinya mereka lebih dekat pada Tuhan, bukan pada kekafiran. Penjelasannya
Om Dukun...?”
Jon tak membalas. Bukan tak terima dengan candaan temannya
itu. Mereka sudah begitu akrab, hingga membercandai apa saja, termasuk, Tuhan. Ia
tak membalas, karena tertidur lebih awal malam itu. siang hari ia ‘menahan
lapar’ – hari Senin, tapi tetap bekerja berkeliling kota mencari paving paling
murah, tapi berkualitas. Makanya, selepas isya, ia tepar.
Pagi-pagi saat ia membuka sms, ia membalas, “Wah, ini pasti
sms dari syetan tadi malam,”
Lalu Jon berceloteh tentang hadits itu : kefakiran mendekatkan
seseorang pada kekafiran.
“Hadits itu dho’if, lemah. Ada juga hadis, doa nabi, Allahuma a’udzubika minal kufri wal faqri. Wahai
Allah, lindungi aku dari kekufuran dan kefakiran,” Jon mulai berkultum, kuliah
terserah antum.
“Bahkan, ada hadits yang shahih – riwayat Bukhori dan Abu
Dawud, bahwa bukan kefakiran yang rasulullah takutkan pada kita (umatnya). Melainkan
dibentangkannya dunia, seperti dibentangkannya pada umat sebelum kalian (beliau
bicara di hadapan para sahabat), hingga kalian memperebutkan, menumpuk, lalu
binasa karenanya – dunia/harta,”
Teman si Jon itu mungkin melihat sikap hidup Jon yang sangat
memprihatinkan : kismin dahsyat. Sampai
ia bertanya sesuai dengan keadaannya. Tapi, sebenarnya si Jon tak miskin,
apalagi fakir. Ia tiap bulan harus memberi gaji para guru sekolahnya, membeli
atau membuat fasilitas belajar dan operasional sekolah, yang tentu saja tidak
sedikit. Kalau teman-teman kuliahnya di awal bulan mendapat gaji, si Jon
justru mengeluarkan. Prinsip ekonominya salah besar, jika mengeluarkan
sedikit-sedikitnya, tapi harus menghasilkan sebesar-besarnya. Jon selain cacat
matematika, ia juga cacat ekonomi. Makanya, ketika uang dihitung cukup untuk
gaji para guru, tapi setelah dibagi, ia kaget. Bukannya cukup, tapi selalu
lebih. “Ini uang dari mana? Waktu di rumah dihitung kok pas buat 7 pegawai. Tapi
di sekolah kok lebih?” dia tak sadar, bahkan sampai jadi pimpinan sekolah, ia
cacat berhitung.
Miskin itu bekerja, tapi hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhannya. Fakir, ia bekerja, tapi karena rajin ‘memproduksi’ anak, biasanya
gajinya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bagaimana kalau
pengangguran? Itu tidak termasuk miskin atau fakir. Tidak ada ayat dalam kitab
yang harus menyantuni – orang yang masih kuat bekerja tapi – pengangguran (karena
malas). Tidak ada undang-undang negara yang mengharuskan menyantuni para
pengangguran. Maka doa rasul allahuma a’udzubika
minal ajzi wal kasali. Agar umat muslim dijauhkan dari sifat lemah dan
malas, kasal, kesal, capek, mudah
capek, atau manja. Bahkan, rasulullah pernah bekerja sebagai buruh, kuli, untuk
menimba air dari sumur.
Suatu saat rasul sudah tidak makan tiga hari. Ia ke rumah
Fatimah, berharap ada makanan di sana. Tapi ketika sampai rumah anak
tercintanya, justru mereka sekeluarga belum makan dua hari, termasuk cucu
beliau, Hasan dan Husain. Berangkatlah kanjeng nabi menuju pemukiman orang
badui. Ia bertanya pada orang yang sedang memindahkan kurma pada
keranjang-keranjang. Singkat cerita, rasul dapat pekerjaan yaitu mengisi bak
air. Tapi ketika sedang menimba untuk ember ke sekian, tali timbanya putus. Dimarahilah
beliau, wajah mulianya sempat di tampar. Tapi tetap mendapat gaji yaitu
beberapa butir kurma.
Hikmah cerita tersebut bagaimana? Umat jaman ini begitu
cerdas, bahkan melebihi kecerdasan rasulullah. Beliau, yang mendapat ‘gelar
langit’ saja mau bekerja menimba air. Pekerjaan kasar, tukang, buruh serabutan,
kuli. Pun masih mengalami kegagalan, yaitu putusnya tali timba. Setelah mendapat
upah pun, beliau bagi rata pada keluarganya. Intinya, tidak ada kata ‘menabung’
atau menumpuk – dunia. Bagaimana umatnya sekarang? Yang kaya, bahkan jika ada
pulau atau negara yang bisa dibeli, dibelilah itu pulau. Sedang kaum melarat,
biarkan mereka bahagia dalam kemelaratannya. Umatnya, yang hanya mendapat gelar
duniawi : sarjana, kepada dinas, pegawai negeri, kepala hansip, Caleg, ketua
RT, justru merasa tak pantas bekerja kasar. Merasa terlalu mulia, untuk bekerja
sebagai buruh atau pedagang keliling. Bahasa kini-nya, gue kan sarjana, masa’ mbecak??? Jon banget.
“Kedua,” Jon melanjutkan. “Yang rasulullah takutkan adalah
kekufuran, yaitu, pertama, ketika kita tak mensyukuri apa yang kita dapatkan
dari hasil kerja kita. Kedua, kita menutup diri dari orang lain, bahwa sebagian
dari harta kita itu milik orang lain li
saa’ili wal mahruum, orang (miskin) yang meminta ataupun yang tidak
meminta,”
“Maka, yang ditakutkan beliau bukan kefakiran, karena tak
mungkin seorang muslim pengikut rasulullah itu pemalas, tapi dibentangkannya
dunia. Ketika dunia begitu menggairahkan, lalu kita bekerja mencari harta –
bukan mencari ridho Allah, kemudian kita menumpuknya, aladzi jama’ama law wa addadah, terlaknat karena mengumpulkan dan
menumpuk harta untuk dirinya sendiri,”
Tentang keridhoan Tuhan, Jon pernah membuat pusing seorang
trainer motivasi. Sang trainer, karena si Jon dalam pelatihan kepala sekolah
itu paling muda – ia menjadi kelinci percobaan, bertanya banyak hal.
“Anda bekerja untuk apa?” tanya sang trainer. Ia mengharap
jawaban : untuk uang, kekayaan, jabatan. Tapi jawab Jon sebaliknya.
“Untuk Allah,”
“Em, e, baik. Anda bekerja karena apa?” tanya sang trainer
lagi.
“Karena ridho Allah,” jawab Jon lagi. Kepala sekolah lain
tertawa, melihat ekspresi sang trainer yang kewalahan : muda-muda kok nyebelin jawabannya.
“Baik. Jika anda ingin membeli mobil, kira-kira mobil apa
yang akan anda beli?” tanya sang trainer agak memaksa.
“Bus,” jawab Jon, jelas.
Kepala sekolah lain tertawa. Mereka berharap akan ada
jawaban seperti : Humvee atau Marcedesbens teranyar.
“Kok bus? Em, ya memang terserah anda. Tapi apa alasannya?”
“Biar bisa ngangkut semua keluarga, atau piknik bareng
anak-anak satu RT,”
Sang trainer puyeng.
“Terakhir, tentang distorsi berpikir umat muslim saat ini. Rasul
memang pernah bersabda – hadis, bahwa meninggalkan anak dengan banyak harta itu
lebih baik daripada miskin dan meminta-minta. Tapi hadis itu bukan anjuran agar
umat muslim menjadi kaya. Prinsip yang rasulullah pakai adalah prinsip ‘kran’,
yaitu menyebarkan atau membagi apa yang diberikan Tuhan – rezeki. Maka dalam
agama kita ada konsep zakat. Dari kata azkiya, tazkiya, (artis kita ada yang
namanya Zazkia), zakat. Yaitu untuk membersihkan diri kita, dari sifat pelit
dan kikir. Waidza massahul khoiru manuu’aa.”
“ Tapi hadis itu,
asbabul wurudznya adalah ketika Ka’ab bin Hakam, satu dari tiga orang yang tak
pergi perang, dan dijauhi selama 40 hari oleh rasul dan sahabat, bertaubat. Jadi,
hadist itu dikhususkan untuk orang-orang dengan kesadaran ‘rendah’ berislam. Ka’ab
bin Hakam seorang sahabat yang kaya raya, ia punya banyak anak. Ketika diajak
perang, jihad, ia enggan karena takut miskin/mati. Selanjutnya, titik penting
dari hadis itu adalah ‘meminta-minta’. Karena Rasulullah sangat membenci orang
yang meminta-minta, sedang ia sebenarnya mampu,”
“Lha, ente juga kan meminta-minta, Jon?” tanya temannya.
“Ya. Karena itu saya siap menjadi tuan rumah di neraka,”