Waddluha, wa layli idza sajja, maa
wadda’aka robbuka wa maa qola, wa al akhirotu khoiru laka minal ula, wa la
sauffa yu’thika robbuka fatardlo, alam yajidka yatiman fa’aawa, wawajadda
dloolan fahada, wawajaddaka ‘a ‘ilan fa aghna, fa’amma yatiiman fa la taqhar,
wa amma saa’ila fa la tanhar, wa amma bini’mati robbika fahaddits...
Dari dulu, aku menyarankanmu untuk segera menikah. Engkau sudah bekerja,
tak punya tanggungan selain ibu. Akadnya dulu ‘kan itu boleh, yang penting
rukun dan syaratnya terpenuhi. Kalau di rumahmu ada istri, saat bekerja kau
akan tenang : ibumu biar dijaga oleh istrimu. Istrimu itu milikmu sepenuhnya,
maka ada benarnya mencari istri yang baik akhlaknya. Karena itu – berkeluarga –
bukan hanya akan terjadi di dunia saja, tetapi juga, yang diharapkan, di
akhiratpun bersama. Sebaliknya, engkau pun miliknya sepenuhnya. Dan kalian
adalah milik Tuhan.
Aku adalah engkau, wahai istriku
Dan engkau adalah aku dalam wujud yang berbeda
Aku milikmu
Dan engkau milikku sepenuhnya
Kemudian pahamilah, kita adalah milik Tuhan seutuhnya
Agar kelak saat Ia memanggil
Tak ada ratapan yang keluar bersama air mata kita
Dan pastikanlah, kita kan saling menanti di sana,
Di surga
Ayo, mau hitung-hitungan penderitaan denganku? Engkau merasa kesepian?
Begitupun aku. Kau punya kekasih – terlepas ketidakberanianmu untuk
meminangnya, sedang aku belum, atau mungkin, tidak. Aku siap menikah, tapi
harus menunggu saudara perempuanku yang aku tak tahu kapan ia ingin menikah.
Terlebih lagi, ia mungkin tak begitu terbebani dengan usianya yang hampir
kepala tiga. Bagaimana jika itu terjadi dalam hidupmu?
Aku ingin uang yang banyak, agar seperti anak muda lain, dapat ‘menampar’
wanita mana saja dengan uang, lalu membeli mereka untuk ku jadikan istri. Tapi,
wanita-wanita yang hanya mau dibeli dengan uang dan dunia adalah para wanita
ber-maqamat rendah. Meski tak baik,
tapi itu sangat boleh : kalau punya uang. Sayangnya, aku tak punya. Aku miskin.
Banyak teman terpelajarku yang mengatakan, kalau aku pantas menjadi
dosen. Tapi seperti uang, tenaga, pikiran dan waktu ku habiskan untuk tanggung
jawab yang tak pernah aku inginkan itu. Jangan tanya apakah aku menderita atau
tidak. Karena selama kita memiliki iman, terlebih cinta, seharusnya kita selalu
bahagia. Harta, uang, bahkan istri kita bisa diambil orang, atau bahkan Tuhan.
Tapi iman, cinta, siapa yang akan mengambilnya? Kecuali maut, mungkin.
Ada yang salah dalam persepsi kita ketika memahami kebahagiaan. Kita
mengira kesenangan atau kegembiraan adalah kebahagiaan. Bukan, temanku. Bukan.
Kesenangan atau kegembiraan hanyalah ‘potongan kecil’ dari ‘kue besar’ bernama
kebahagiaan. Kesenangan atau kegembiraan seringkali membutuhkan pengakuan,
ingin ditunjukan pada banyak orang, merasa takjub, rasa yang meluap-luap, atau
semacam keinginan melompat tinggi saat itu terjadi : hei, orang-orang! Lihat,
aku sedang senang!
Tapi, kebahagiaan adalah surga. Jannah,
jin (makhluk tersembunyi), surga lebih mudah kita pahami sebagai ketenangan
konstan yang tersembunyi. Tidak ada yang ingin ditunjukan, tidak ada rasa yang
meluap-luap, seringkali tidak ada harta yang begitu banyak, atau tak perlu
mendapatkan jabatan tinggi. Hanya satu yang berubah saat kita ‘mencapainya’,
mata kita melihat dunia ini berbeda sama sekali dari sebelumnya. Kitab suci
berkata, di dalamnya – surga, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Dan sungai
itu adalah, solusi atau jawaban dari segala persoalan kehidupan. ‘Mengalir’,
hanyut segala perasaan dan pikiran ke satu samudera : Tuhan. Ketika kita
mencapainya, kita akan hidup dalam ‘nuansa’ itu. Tentu, aku tak bisa
menjelaskannya, kau harus mengalaminya secara langsung. Persembunyiannya, tak
dapat dimasukan ke dalam pemahaman hanya dengan kata-kata. Ketika kita sudah
mencapainya, kita tak terlepas dari persoalan kehidupan – bahkan mungkin lebih
rumit, tapi ‘mengalir’ dalam sungai-sungai (solusi atau jawaban) yang pasti
bertemu.
Di lain bait, dijelaskan bahwa di sana, kita duduk bersandar di atas
dipan-dipan, melepas pandangan. Ketika kita mencapainya, kemanapun mata kita
memandang, pikiran kita ‘memandang’ suatu persoalan, ‘pandangan’ (perasaan)
kita lepas : bahagia.
Dari ini, aku tahu, bahwa sebagian besar umat beragama beribadah tidak
dengan kesungguhan. Agama kita, temanku, adalah agama yang paling memungkinkan
setiap penganutnya relativ lebih cepat meraih kebahagiaan. Banyaknya aturan
atau ritual, adalah konsekuensi jalan, bahwa itu akan semakin mendekatkan kita
pada ‘surga’. Tetapi sebaliknya, karena pemahaman kita yang begitu dangkal
tentang peribadatan, kita menganggap semua ritual itu untuk Tuhan. Sedang
kebenarannya adalah sebaliknya, itu semua petunjuk. Kita tak mungkin menganggap
lampu lalu lintas sebagai kebenaran, karena itu hanyalah petunjuk.
Begitu banyak umat yang taat beribadah tapi tak mendapatkannya :
ketenangan konstan. Sepulang dari tempat ibadah, bibir mereka tak tersenyum
tulus, berpikiran tertutup – tak bersemangat terus menuntut ilmu, mudah
berburuk sangka, terpengaruh omongan orang yang belum tentu benar, iri, dendam,
berpikiran sempit, terkurung dalam persepsi sendiri : semua perasaan dan
pikiran itu tak hanyut ‘mengalir’.
Ibadah dianjurkan oleh para nabi bukan untuk mencegah datangnya musibah
atau masalah. Sebaliknya, ibadah kita adalah ikrar, bahwa kita siap dengan
konsekuensi hidup apapun – setelah kita beribadah itu. Bahwa ibadah bukanlah
agar kita menjadi lemah, meletakan tanggung jawab hidup kita sepenuhnya pada
Tuhan. Ibadah bukan untuk kematian kita, melainkan kehidupan kita. Ibadah
buruk, berakibat kehidupan yang tak seimbang. Bukankah ibadah bukan hanya
ritual individualis, tetapi juga sosial?
Ujian hidup, barangkali datang karena dua hal. Pertama, ia – tamparan
hidup – datang karena kita telah salah jalan, tersesat. Kedua, ia datang ketika
kehidupan menghendaki kita untuk berlari, namun kaki kita melangkah dengan
santainya. Penderitaan manusia, pernah aku merenungkannya, aku asumsikan datang
untuk dua hal. Menutup atau membayar kesalahan kita di masa lalu, atau – lalu –
mengangkat derajat kita di masa depan. Derajat di sini, tak selalu berupa
tahta/harta, tapi juga pemahaman hidup. Makna hidup. Seringkali aku bertanya
pada diri sendiri, apa enaknya mendapatkan ‘makna/pemahaman hidup’? apa nikmatnya?
Bukankah selalu lebih enak ketika mendapatkan harta, atau bagian dunia yang
lain? Tapi, bisa jadi itu yang disebut al
huda (petunjuk) dan asy syifa (obat/penyembuh).
Tapi ada manusia-manusia yang hidupnya melampaui pengetahuan dan
perasaan/keyakinan. Ia menerima kenyataan pahit (derita) dan ia juga mengakui
bahwa dirinya tak sempurna. Tapi selain menghadapinya dengan tenang, ia pun tak
berharap akan masa depan apapun. Ia hanya menikmati hidup – apapun yang
dihadapi, dan selalu siap dengan apa saja. Tidak peduli orang lain menganggap
dirinya apa atau bagaimana, yang pasti ia selalu berusaha memperbaiki diri dan
menjadi orang baik – pada siapun.
Menerima kenyataan pahit (derita) seringkali tak bisa hanya dihadapi
dengan sikap sabar. Karena manusia selalu haus akan jawaban atau alasan mengapa
sesuatu harus terjadi. Harus ada pemikiran yang ‘pintar’, agar seseorang
mencapai tahapan, katakanlah, ikhlas. Pemikiran itu perlu, agar seseorang
merasa mantap menghadapi kenyataan pahit tersebut. Seringkali, kita tak terlalu
risau dengan masalah yang berakibat hanya pada diri kita sendiri. Tapi, agaknya
kita lebih sering khawatir ketika persoalan itu merembet, berakibat pada orang
banyak, masyarakat, atau suatu kaum – orang-orang lemah.
Tahap tertinggi dari pengetahuan seseorang adalah ketidaktahuannya
tentang apapun selain dirinya sendiri. Yang dapat kita ketahui adalah diri kita
sendiri. Begitupun apa yang kita rasakan, hanya perasaan kita sendiri.
Pengetahuanku tentang orang lain atau sesuatu selain diriku sendiri, cacat
adanya. Perasaanku tentang orang lain atau pada sesuatu di luar diriku sendiri
adalah setengah benar. Kita tak dapat melakukan apa-apa pada sesuatu di luar
diri kita, selain cinta. Seperti cahaya, akan terpantul (tertolak) atau
terserap – cinta kita, kita tak tahu / rasakan dengan benar. Karena yang dapat
kita pikirkan / rasakan dengan benar adalah – hanyalah – diri kita sendiri.
Dari alasan itu, tak boleh kita merasa
atau mengira apapun di luar diri
kita sendiri. Bahkan ‘merasa baik’ atau telah ‘merasa’ dekat dengan Tuhan pun,
itu bisa jadi ‘perasaan yang menyesatkan’. Jika kita orang baik, karena mungkin
memang lingkungan dan masyarakat kita adalah lingkungan yang baik. Tapi tetap
‘menjadi baik’ di tengah-tengah lingkungan/masyarakat yang buruk atau rusak,
itu baru namanya mukjizat. Itu yang ingin kami ciptakan di sini, temanku.
Melahirkan generasi yang membaur dengan masyarakat yang buruk, dengan tetap
berjiwa ‘ar rahman’. Cukup menjadi teman saja, tidak harus mengubah keadaan
karena itu hak Tuhan. Menjadi sahabat siapa saja mereka yang tersesatkan –tanpa
sadar. Teman-teman kita boleh bersikap buruk : peminum, penjudi, bad attitude. Tapi tidak denga kita.
Jadilah dirimu sendiri, dengan jiwa-jiwa ‘ar rahman’ : agape, kasih yang tak
kenal henti. Itu yang ku maksud dengan mengalirkan
rasa/pikiran. Berjasad manusia bumi, berjiwa manusia surgawi.
Temanku, aku nyaris tak memiliki apa-apa untuk istriku kelak. Tak
berharta, tak bertahta, tak ada apa-apa yang mampu aku banggakan. Ini, alasan
pertama mengapa wanita yang ku inginkan menjadi enggan padaku : yang tak
memiliki apa-apa. Mereka tak mau hidup ‘gila’, dan mendengar penilaian orang
lain tentang hidupku yang ‘tak normal’ ini. Tapi, aku berjanji, dan mungkin
hanya ini yang mampu ku berikan. Tentang surga, bukan setelah mati, tetapi
ketika kita masih hidup di sini, di dunia ini.
Kebahagiaan tidak berada di jangkauan yang jauh dari diri kita sendiri.
Tidak ada di tempat yang kita tuju : Eropa, Amerika, Jepang. Bukan di sana,
teman. Tapi di sini, di dalam diri
kita. Surga bukanlah tempat yang kita tuju, tapi kita ciptakan, kita adakan.
Manusia memang membutuhkan perjalanan, tapi perjalanan yang hanya untuk
kesenangan pribadi adalah perjalanan egois. Lakukanlah perjalanan dengan misi
pertolongan. Adakah atau siapa yang akan kita tolong di sana? Jika kita masih
ingin dihibur dengan bentuk dunia yang kita tuju, bagaimana kita akan menghibur
(menolong) orang lain?
Kata-kata di awal paragraf :
Eloi, Eloi, lama sabakhtani...?
Waddluha, wa layli idza sajja, maa
wadda’aka robbuka wa maa qola, wa al akhirotu khoiru laka minal ula, wa la
sauffa yu’thika robbuka fatardlo, alam yajidka yatiman fa’aawa, wawajadda
dloolan fahada, wawajaddaka ‘a ‘ilan fa aghna, fa’amma yatiiman fa la taqhar,
wa amma saa’ila fa la tanhar, wa amma bini’mati robbika fahaddits...
Bait pertama, adalah kata-kata Yesus ketika ia merasa ditinggalkan oleh
Tuhan, saat ia dikejar-kejar tentara Romawi. Versi nasrani, ketika Yesus di
salib.
Bait kedua, ketika Rasulullah merasa ditinggalkan Tuhan. Tak ada kabar
dari Jibril, dan penderitaan semakin getir. “Setanmu (Jibril) tak mendatangimu
lagi. Tuhan telah meninggalkanmu, membencimu,” kata istri pamannya, Abu Jahal.
Eloi, Eloi, lama sabakhtani...? Tuhan...
Tuhan... Mengapa Engkau meninggalkanku?
Demi waktu duha, demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak
meninggalkan dan membencimu, sesungguhnya akhir lebih baik daripada permulaan, Kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati)
kamu menjadi puas, Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungimu? Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan
petunjuk, Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan, Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang,
Terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya, Terhadap nikmat
Tuhanmu, maka hendaklah kamu syukuri.
Ayat itu turun, ketika mereka merasa ditinggalkan oleh satu-satunya sesuatu yang mereka yakini.
Dan itu, rasanya sakit sekali. Begitu getir.
Bacaan selanjutnya
Di permukaan dan di kedalaman 'Ngonjoki' Tuhan
Bacaan selanjutnya
Di permukaan dan di kedalaman 'Ngonjoki' Tuhan