Natural

Java Tivi
0

Seperti apapun kacaunya hari ini, percayalah, itu masih dalam sebuah perencanaan. Rencanakan sematang-matangnya, persiapkan untuk kemungkinan yang terburuk._Jon Q_

Engkau harus bersikap normal. Kata sahabatku.
Sekalipun, mungkin, aku telah merasakan kepedihan hidup seperti kegembiraan (dalam Baghawad Gita, panas dan dingin terasa sama), aku harus normal, natural. Kata sahabatku itu. Saat harapan tak terjadi, keadaan menjadi kacau, orang-orang cemas tak karuan, aku sebaiknya juga ikut cemas dan sedih. Mungkin terlalu muda untukku merasakan ‘nuansa’ seperti ini, tenang, damai, menghadapi rasa sakit dengan tawa. Tapi, demikianlah yang aku alami.

Ketika permasalahan datang, serumit atau semenakutkan apapun, aku tak mencari siapa yang salah dan mengapa ini terjadi. Itu bukan yang utama. Yang aku pikirkan kini adalah – ketika rumitnya persoalan kehidupan datang, bagaimana mengatasi / menyelesaikannya dengan segera. Mengapa segera? Semakin cepat kita menyelesaikan satu tugas, semakin mampu kita menyentuh persoalan lain, yang mungkin lebih rumit, mungkin juga sebenarnya bukan kapasitas kita. Itu, yang aku alami di sini. Tentang kapasitas diri yang kecil, namun diberikan tugas yang – bagi saya, ‘cukup rumit dan besar’.

Malam lalu, rencana ku buat dengan matang untuk berangkat ke luar kota. Lama menunggu, sama sekali tak merasa jenuh atau bosan. Bahkan aku tertawa sendiri seperti orang gila, ketika melihat tikus-tikus besar yang mengejek kucing kecil di pelataran bus terminal. Seakan tikus besar itu berkata :
“Ayo, sini, main bersama kami,”

Kucing kecil itu mematung.

Aku paham, tak mungkin seekor ‘kucing kecil’ mengatasi ‘tikus-tikus besar’. Ada waktunya masing-masing, ketika kita, manusia-manusia muda, mengambil alih persoalan yang tak dapat diselesaikan oleh orang-orang tua kita. Selain menunggu dengan tenang, apalagi yang bisa kita lakukan? Menunggu, dan terus belajar. Bukan untuk kepentingan diri individualis, tetapi juga kepentingan banyak orang.

Dalam bekerja pun aku begitu, merencanakan dengan sematang-matangnya, dan selalu siap dengan kemungkinan yang terburuk. Bagiku menenangkan, ketika memahami bahwa betapa kacaunya hari ini adalah masih dalam suatu perencanaan yang terus berjalan. Ada beberapa pembangunan sekolah, persiapan seragam siswa baru, honor guru, dan setumpuk persoalan ‘kecil’ lainnya. Di sisi lain, saldo sekolah sedang dalam krisis-krisisnya. Dalam persoalan ini, bukan apa atau siapa yang salah atau mengapa ini terjadi. Tapi, bagaimana aku menyelesaikannya dengan segera, dan ‘pintar’, meski tak masalah jika aku yang dikorbankan. Itu, resiko pekerjaan.

Tentu saja sakit, terasa berat, ketika beban hidup datang bersamaan. Terlebih lagi, menghadapi kenyataan bahwa itu bukan karena kita. Bukan kita yang mengawalinya, tapi kita harus mempertanggungjawabkannya. Kesalahan orang lain, tapi kita yang menanggung akibatnya. Tapi demikianlah hidup. Apa yang kita harapkan dari hidup ini?

Gagalnya pemberangkatan malam lalu adalah ‘petunjuk’, bahwa betapapun kita saling membutuhkan, bukan berarti kita dapat memastikan suatu keadaan. Setiap manusia sebaiknya belajar hidup mandiri, mengatasi kesulitan hidup sendiri, tidak mengikatkan perasaan / pikiran pada orang atau sesuatu yang lain. Bagaimana pada Tuhan? Kita hanya tahu bahwa kita beriman. Tapi kita tak pernah tahu apa yang akan Tuhan lalukan pada kita. Selalu berusaha melakukan kebaikan, tanpa merasa pantas untuk dibalasnya kebaikan itu. Karena kebaikan yang mengharap balasan, itu tak akan pernah menjadi sempurna. Bukan kebaikan yang sebenarnya.


Seperti kucing kecil dan tikus besar di terminal semalam. Barangkali kucing kecil itu paham, bahwa semua harus berjalan alamiah, natural. Tapi, ada hukum-hukum kehidupan tertentu yang seringakali berada di lluar hitungan. Yaitu tentang penantian. Kecermatan memutuskan sesuatu, kapan bertindak, dan kapan diam – untuk mempelajarinya.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)