Seperti apapun kacaunya hari ini, percayalah, itu masih dalam sebuah
perencanaan. Rencanakan sematang-matangnya, persiapkan untuk kemungkinan yang
terburuk._Jon Q_
Engkau harus bersikap normal. Kata sahabatku.
Sekalipun, mungkin, aku telah merasakan kepedihan hidup seperti
kegembiraan (dalam Baghawad Gita, panas dan dingin terasa sama), aku harus
normal, natural. Kata sahabatku itu. Saat harapan tak terjadi, keadaan menjadi
kacau, orang-orang cemas tak karuan, aku sebaiknya juga ikut cemas dan sedih.
Mungkin terlalu muda untukku merasakan ‘nuansa’ seperti ini, tenang, damai,
menghadapi rasa sakit dengan tawa. Tapi, demikianlah yang aku alami.
Ketika permasalahan datang, serumit atau semenakutkan apapun, aku tak
mencari siapa yang salah dan mengapa ini terjadi. Itu bukan yang utama. Yang
aku pikirkan kini adalah – ketika rumitnya persoalan kehidupan datang,
bagaimana mengatasi / menyelesaikannya dengan segera. Mengapa segera? Semakin
cepat kita menyelesaikan satu tugas, semakin mampu kita menyentuh persoalan
lain, yang mungkin lebih rumit, mungkin juga sebenarnya bukan kapasitas kita.
Itu, yang aku alami di sini. Tentang kapasitas diri yang kecil, namun diberikan
tugas yang – bagi saya, ‘cukup rumit dan besar’.
Malam lalu, rencana ku buat dengan matang untuk berangkat ke luar kota.
Lama menunggu, sama sekali tak merasa jenuh atau bosan. Bahkan aku tertawa
sendiri seperti orang gila, ketika melihat tikus-tikus besar yang mengejek
kucing kecil di pelataran bus terminal. Seakan tikus besar itu berkata :
“Ayo, sini, main bersama kami,”
Kucing kecil itu mematung.
Aku paham, tak mungkin seekor ‘kucing kecil’ mengatasi ‘tikus-tikus
besar’. Ada waktunya masing-masing, ketika kita, manusia-manusia muda,
mengambil alih persoalan yang tak dapat diselesaikan oleh orang-orang tua kita.
Selain menunggu dengan tenang, apalagi yang bisa kita lakukan? Menunggu, dan
terus belajar. Bukan untuk kepentingan diri individualis, tetapi juga
kepentingan banyak orang.
Dalam bekerja pun aku begitu, merencanakan dengan sematang-matangnya, dan
selalu siap dengan kemungkinan yang terburuk. Bagiku menenangkan, ketika
memahami bahwa betapa kacaunya hari ini adalah masih dalam suatu perencanaan
yang terus berjalan. Ada beberapa pembangunan sekolah, persiapan seragam siswa
baru, honor guru, dan setumpuk persoalan ‘kecil’ lainnya. Di sisi lain, saldo
sekolah sedang dalam krisis-krisisnya. Dalam persoalan ini, bukan apa atau
siapa yang salah atau mengapa ini terjadi. Tapi, bagaimana aku menyelesaikannya
dengan segera, dan ‘pintar’, meski tak masalah jika aku yang dikorbankan. Itu,
resiko pekerjaan.
Tentu saja sakit, terasa berat, ketika beban hidup datang bersamaan.
Terlebih lagi, menghadapi kenyataan bahwa itu bukan karena kita. Bukan kita
yang mengawalinya, tapi kita harus mempertanggungjawabkannya. Kesalahan orang
lain, tapi kita yang menanggung akibatnya. Tapi demikianlah hidup. Apa yang
kita harapkan dari hidup ini?
Gagalnya pemberangkatan malam lalu adalah ‘petunjuk’, bahwa betapapun
kita saling membutuhkan, bukan berarti kita dapat memastikan suatu keadaan.
Setiap manusia sebaiknya belajar hidup mandiri, mengatasi kesulitan hidup
sendiri, tidak mengikatkan perasaan / pikiran pada orang atau sesuatu yang
lain. Bagaimana pada Tuhan? Kita hanya tahu bahwa kita beriman. Tapi kita tak
pernah tahu apa yang akan Tuhan lalukan pada kita. Selalu berusaha melakukan
kebaikan, tanpa merasa pantas untuk dibalasnya kebaikan itu. Karena kebaikan
yang mengharap balasan, itu tak akan pernah menjadi sempurna. Bukan kebaikan
yang sebenarnya.