Malam itu, Jon mengajak kakak perempuannya yang belum menikah ke pasar
alun-alun untuk membeli seragam pramuka siswa kelas 4. Bukan tanpa maksud
memang, karena sore harinya, ia diperlihatkan oleh kakak ke-3 tentang sms kakak
ke-6, “Jika begitu, saya ingin menjadi seperti Bunda Theresa saja,”
Jon tak berprasangka apapun. Setelah ia melakukan ‘perjalanan ke barat’,
ia mendapatkan pemahaman baru, yaitu hidup ‘tanpa pikiran’. Ia memang masih
capek dengan perjalanan itu, tapi jika ini tak segera diselesaikan, bisa
semakin pelik masa depan kakaknya itu.
“Liqo masih jalan?” tanya Jon, di perjalanan.
‘’Masih,’’ jawab kakaknya, singkat.
‘’Sudah hafal berapa juz?’’ tanya Jon lagi.
‘’Satu juz saja masih bolong-bolong,’’
“Surat panjang apa saja yang mbak sudah hafal?” Jon tidak ikut liqo –
jamiyah pengajian partai yang diikuti kakak-kakaknya Jon, tapi ia adalah orang
yang mudah membaur dengan siapapun.
“Paling An Naba, Abasa...”
“Dulu, aku hafal Al Waqi’ah, Yassin, dan Ar Rahman. Tapi sekarang Cuma Ar
Rahmannya saja,”
“Iya, mesti diperbaiki lagi bacaan qur’an mbak,” kata kakak Jon.
Mereka membeli seragam pramuka satu stel, untuk anak pindahan di
sekolahnya Jon.
“Siswa diminta bayar berapa untuk seragam ini?” tanya kakaknya Jon.
“Aku beli 55 ribu, tapi dijual 65 atau 70 ribu, buat yang mampu. Itu juga
boleh menyicil, tanpa batas waktu. Kalau yang tidak mampu, gratis,” jawab Jon.
Mereka berjalan menuju depan pasar malam alun-alun.
“Mau kemana?” tanya kakaknya Jon.
“Kita makan bakso dulu,”
Mereka memesan dua mangkok. Jon memesan es teh, sedang kakaknya teh manis
hangat.
“Kalau di dalam kamar, kegiatannya apa saja?” Jon membuka dialog. Seperti
kebanyakan wanita modern atau ‘bertitel’ pada umumnya, ketika usia sudah mendekati
kepala tiga, akan galau memikirkan pernikahan : dan akhirnya mengurung diri
dalam kamar.
“Baca buku, menulis. Eh, tapi, ingin menulis depan komputer, bukan di
buku tulis,” jawabnya.
“Baca buku itu, sebaiknya didiskusikan. Kalau tidak, akan mengisi kepala
kita hingga penuh, dan kita akan sulit mendengar nasehat orang lain, terlebih
dari orang yang lebih muda atau tidak ‘terpelajar’ : ibu, bapak, paman/bibi,”
Jon mulai berceloteh, belagu. “Menulis, justru baiknya dicatat dulu, agar ide
atau inspirasi tidak hilang. Kalau belum terbiasa, nanti kena yang namanya ‘mental
block’, sudah di depan laptop, tinggal mengetik, tapi lupa,”
“Iya, mbak juga sering sms-an sama dosen. Kadang mau kirim email, tapi
nggak tahu emailnya. Oh, begitu ya,”
“Diskusi dengan dosen lewat sms atau email, nggak akan puas. Karena mbak
nggak langsung tatap muka. Lagipula, dosen punya banyak pekerjaan. Kita bisa
jadi merepotkannya,” kata Jon. “Menurut mbak, surga (tempatnya kebahagiaan) itu
adalah apa yang kita tuju, atau yang kita adakan atau ciptakan?”
“Emm.. Menurutmu?” kakaknya Jon menanya balik.
“Kebahagiaan tidak terletak di luar diri kita. Happiness there are no your outside, but inside. Kalau pun mbak
masih ingin pergi ke mana, traveling, mengira bisa lepas dari masalah dan
mencari kebahagiaan di luar diri mbak sendiri, mbak hanya akan merasa lelah,”
kata Jon.
“Iya, seringkali berpikir ingin pergi ke mana ... gitu, lalu pulang
membawa satu kebijaksanaan dan melakukan kebaikan pada semua/banyak orang,”
“Orang yang melakukan perjalanan bukan untuk misi pertolongan, semisal
hal seperti ini – membeli seragam untuk anak, tapi untuk menghibur dirinya
sendiri, dia tak akan pernah menolong banyak orang. Mengapa? Karena hanya untuk
menghibur dirinya, ia harus pergi jauh. Sedang sebenarnya, kebahagiaan tidak
berada di sana, di tempat yang dituju, tapi di hatinya sendiri,” Jon berceloteh
bak anjing menggonggong tak henti-hentinya. “Matahari, dia memikirkan dirinya
sendiri dengan berputar pada porosnya. Dengan itu dia melakukan kebaikan pada
apapun yang berada di sekelilingnya. Jangan terlalu memikirkan kebaikan apa
yang akan kita lakukan, tapi lakukanlah apa yang memang seharusnya kita
lakukan,”
“Terkadang mbak berpikir, kalaupun nanti jadi guru, lalu PNS, dan
pensiun, kemudian menganggur : apakah hidup semembosankan itu?” kata kakaknya
Jon.
“Hehehe,” Jon tertawa. “Mengapa khawatir dengan masa depan? Hiduplah untuk
hari ini. Masa depan belum tentu datang, masa lalu tak dapat kita putar
kembali. Nikmatilah saat ini, dan itu tanda kita mensyukuri nikmat Tuhan,”
celoteh Jon lagi. “Hidup kita untuk siapa sih? Tuhan? Kita beribadah atau
kafir, Tuhan akan tetap Tuhan. Yang paling terdekat adalah orangtua kita. Sebelum
kita saling meninggalkan, buat mereka bahagia. Tapi, bagaimana dengan
kebahagiaanku – semisal mengeluh seperti itu? orang kaya, bukan mereka yang
punya banyak harta, materi, tapi yang memiliki sedikit keinginan. Atau kalau
mau pakai prinsip hidupku, lampauilah pengetahuan dan perasaan. Semisal, orang
bertanya untuk apa aku membeli seragam ini. Aku jawab ‘Tidak tahu,’ tapi
ternyata esok harinya aku memberikan ini ke siswaku, dan orang itu tanya lagi, ‘Katanya
nggak tahu mau untuk apa/siapa?’. Aku jawab, ‘Memang nggak tahu,’. ‘Tapi itu
diberi?’ aku jawab lagi, ‘Oh, itu namanya memberi toh?’ Kembalilah pada
ketidaktahuan. Kebaikan tak memerlukan alasan, tak membutuhkan kata-kata. Anggap
sedikit setiap kebaikan yang kita lakukan, anggaplah banyak setiap kesalahan
yang kita lakukan. Dari sana, kita akan selalu belajar, memperbaiki diri,”
“Mbak masih berpikir, di luar sana ada orang yang benar-benar memahami
kita?” tanya Jon.
“Emmm... Mbak malah berpikir, yang benar-benar memahami diri kita adalah
diri kita sendiri,” jawab kakaknya Jon.
“Betul. Dan dari itu, kita sebaiknya memahami orang lain,” kata Jon. “Banyak
teman-temanku yang mengatakan kalau aku ingin menjadi pendeta, karena tidak
menikah. Aku katakan pada mereka, orientasi hidupku bukan ingin atau tidak
ingin, tapi siap atau tidak siap. Dan setelah kita dilahirkan, konsekuensinya
adalah kita harus selalu siap dengan apapun yang terjadi dalam hidup ini. Aku
katakan pada mereka, sebelum kakak saya menikah, tidak ada wanita yang akan aku
berikan jaminan – menikah,”
“Kemarin, mbak sms – ke kakak ke-5. Karena mendengar ucapan kakak ipar
pada kakak ke-4. Dulu, waktu keponakan kita itu akikahan, Budhe ‘fulanah’ tanya
mengapa kakak ipar nggak bantu-bantu, aliran agamanya apa sih? Dan waktu itu
disampaikan ke kakak ke-4, suaminya – kakak ipar – bilang (mungkin emosi), ‘Dulu
yang meminta saya ke sini siapa?’
(Meminta dia untuk menikahi kakak Jon yang ke-4). Mbak jadi takut, apa memang
begitu berkeluarga? Kok rasanya tega sekali,”
Jon terdiam. Ia paham, mengapa kakaknya ini mengirim sms ‘putus asa’
beberapa hari yang lalu.
“Mbak, tidak ada suami istri yang sempurna ketika mereka baru saja
berkeluarga. Maka ada baiknya, sebelum melakukan apa-apa ketika pengantin baru,
mereka saling mendekatkan, mengenal lebih jauh, jujur, sedikit demi sedikit,”
Jon mencari kata-kata yang baik, agar kakaknya tak semakin putus asa. “Di sana,
teman-temanku sering aku sarankan, meski mereka orang sunda – tak tahu artinya,
witing tresno jalaran soko kulino,”
“Apa artinya itu?” tanya kakak Jon.
“Cinta itu tumbuh pelan-pelan, muncul karena kebiasaan. Banyak teman yang
dijodohkan orangtuanya, yang merasa galau dan putus asa. Aku ceritakan tentang
pengorbanan orangtua. Pacar kamu sudah memberi apa? Motor? Mobil? Dia baru
kenal kamu sekian bulan/tahun, sedang orangtuamu, ibumu, mengandung, menyusui,
membesarkan. Pada siapa ketaatanmu sebelum kamu bersuami?” kata Jon lagi. “Apa
yang dikatakan kakak ipar itu, namanya romantika berkeluarga. Ada kalanya
sangat erat dan romantis, ada waktunya komunikasi renggang, terasa jauh, karena
mungkin dari sana akan muncul rasa rindu, kangen seperti dulu. Maka, yang
terpenting adalah dialog, musyawarah. Tentang ucapan Budhe, atau paman dan bibi
kita lainnya, kita tak mungkin memaksa kucing untuk berkicau, memaksa ayam
untuk mengeong : itu memang kapasitas mereka. Orang lain boleh buruk pada kita,
tapi upayakan kita selalu baik pada orang lain. Belajarlah dari orangtua kita
tentang keikhlasan, apalagi jika semua anaknya adalah perempuan. Sudah capek-capek
membesarkan, ketika menikah dibawa pergi begitu saja.”
“Mbak kadang masih ragu, takut, tak bisa menjadi seperti yang diharapkan
ibu/bapak,” kata kakaknya Jon lagi.
“Mbak, hampir semua anak-anak ibu dan bapak pernah melakukan kesalahan
fatal. Kita sebaiknya belajar, mbak, dari ibu/bapak. Kita bukan manusia
sempurna, kita memiliki kelemahan masing-masing. Yang terpenting adalah, kita
selalu berusaha memperbaiki diri. Mbak juga tahu, tanggung jawab besar apa yang
sedang aku hadapi ini. Kehidupan sedang mengincarku agar aku melakukan
kesalahan besar pada ibu/bapak. Tapi insya allah, selama aku mampu, aku akan
bertahan. Telah lama aku tak bermimpi tentang hal-hal yang menakutkan, karena
tiap mimpi yang menakutkan, aku membalikan badan dan menghadapi semua itu. Di
sana, tempatku kuliah dulu, tidak ada kakak atau adik tingkat yang berani
membanggakan diri di hadapanku, karena mereka tahu beban hidup seperti apa yang
aku jalankan. Tapi, bukan berarti aku boleh menyombongkan itu. Mbak, ujian
terbesar tidak terletak di luar diri kita, bukan orang lain, tapi diri kita
sendiri. Bagaimana kita selalu mengendalikan, dan memperbaiki diri tanpa henti,”
Jon terus berceloteh.
“Dulu, waktu musyawarah keluarga, mbak targetannya apa
ya?” tanya Jon.
“Ya... kan menikah setelah lebaran idul fitri ini,” jawab kakaknya Jon.
“Biasakan, apa yang kita akan lakukan diiringi ‘insya allah’. Mudah-mudahan semua sesuai dengan usaha kita,” ucap Jon, mendoakan.