Dari bus ekonomi (ompreng), pilpres, sampai hedonisme kaum priyayi anyar,

Java Tivi
0
Baca tajuk 'Smilokui' dari Asroni Asikin (@Pengendara angin) tentang 'Bus ekonomi' sangat menarik. Bukan karena dia juga akhirnya di tahun 2014 memasukan karakter 'Jon' - karakter yg saya pakai tahun 2010&Caknun tahun orba, tapi karena metafora dari judul itu.

Bus ekonomi itu 'citra seni' transportasi jalanan paling dahsyat. Semangat 'dakwah' (ajakan) kondektur&supirnya melampaui etika kejujuran. Sering berkata 'Kosong! Kosong, ayo!', 'Terakhir! Terakhir!', atau 'Ya langsung berangkat! Langsung berangkat!'. Penipuan yg sangat dahsyat. Sebenarnya ingin saya menulis di laptop, karena pakai henpon ini, hanya bisa menulis sedikit.
Kemudian dari kata-kata 'manis' itu, setelah penumpang naik, seakan mereka melupakan kata-katanya dulu. Sebagian bus ngebut bak sarana Roller Coaster seakan supirnya adalah anggota pasukan berani mati, sebagian lagi 'menyiput' - sangat pelan sampai bikin gatel kaki ingin menendang supir. Sebagian lagi ngetem (nunggu penumpang) bak orang sedang ngeden di toilet : anteng sekali tak bergeming. Penumpang tak bisa apa-apa, karena itu bus ekonomi. Berjejalan, bau ketek/keringat, belum lagi yg bawa keranjang ikan asin, orangtua/ibu-ibu dengan mengendong bayi tanpa kebagian kursi. Betapa indah momen-momen kesengsaraan rakyat melarat itu : termasuk saya.

Belum lagi kalau di-oper, diturunkan di tengah perjalanan, dimarahi karena tertidur&terlewati tempat turunnya. Sudah ditipu, di dalamnya belum tentu enak, kalau turun bisa dengan enaknya kondektur memarahi penumpang.

"Tapi 'kan kami bayar!" kata saya suatu saat.

"Ini uangmu. Silakan turun," jawab kondektur, sedang bus ada di tengah hutan Sumedang. Semangat pemberontakan pun tak mempan di dalamnya.

Luar biasa.

Pernah suatu saat kami diturunkan saat memasuki daerah Sumedang. Semua mengeluh, termasuk seorang ibu-ibu yang berkata : Saya gimana pak, tas saya berat-berat, bagaimana ini???
Kepala saya sakit, karena dari awal naik sudah merenungkan nasib orang-orang itu. sial sekali kami ini – orang melarat. Saya menenangkan diri, sholat isya dulu di SPBU terdekat. Ada lagi penumpang yang tas-nya jatuh, penumpangnya seorang perempuan muda, disuruh turun, dikasih uang – entah berapa. Si perempuan itu pun berkata : Kok nggak bertanggungjawab sih?

Tapi tanpa jawab.

Ada lagi yang diturunkan di tengah perjalanan, sedang uangnya sudah habis, dan tujuan masih lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki : itu saya (haha!). Akhirnya, membajaktruk di lampu merah, terkadang dimarahi akan berkelahi (saya ngotot menumpang pulang di belakang, sedang supir ngotot tak boleh), terkadang diterima bahkan dikasih rokok dan makanan ringan.

Bukan berarti saya pesimis tentang rayuan para Capres yang seakan seperti kondektur bus ekonomi itu. tapi memang begitulah rakyat melarat, tak ada yang berani mensubsidi berulang-ulang, atau mendidiknya agar tak bermental miskin. Seperti penumpang bus itu, kami membayar maksimal, total, jujur, tapi pelayanan minimal. Pemilu itu dibiayai rakyat, kampanye juga disubsidi rakyat, tapi seakan seperti penumpang bus omprengan itu, terpaksa memilih lagi, terpaksa lagi. Bagaimana rakyat tak dipaksa, jika Golput, dikatakan sebagai perusak demokrasi, pecundang, penakut. Tapi jika memilih, rasanya kok tega sekali mengangkat orang-orang yang pada akhirnya melupakan (atau bahkan menginjak?) yang mengangkatnya. Apakah setiap Golputer adalah pecundang? Apakah mereka selalu tak punya perjuangan sendiri?

Yang paling gila adalah rakyat yang tak patuh pada aturan, tapi lebih cerdas atau melampaui aturan. Bahasa kasarnya, ada atau tidak ada engkau (pemerintah) mereka akan tetap berjuang untuk mereka : sesama rakyat melarat. Seperti penumpang yang diturunkan di tengah perjalanan itu, lalu ia membajak truk atau kendaraan bak terbuka. Yang penting sampai tujuan, dan di tujuan sana tidak mengejar keuntungan pribadi – ia tetap melarat, tapi, lagi-lagi, perjuangan misi pengorbanan diri.

Saya sendiri di sini, meski masih muda, dipaksa oleh kehidupan untuk hidup belagu.Memimpin pendidikan, bukan hanya anak-anak, tetapi juga ibu-ibu mereka – di pengajian tiap sabtu sore. Mengapa belagu? Saya belum pernah merasa sukses memimpin diri, tapi sudah diberikan amanah/tanggung jawab memimpin banyak orang. Saya belum berkeluarga, tapi dipaksa berbicara banyak tentang kekeluargaan, tentang anak, tentang istri, kepatuhan pada suami atau orangtua, dan hal-hal lainnya yang sungguh saya belum mengalami itu. bagaimana mungkin seseorang banyak bicara tentang apa yang belum ia alami, jika itu bukan omong kosong? Dan seperti penumpang bus omprengan atau rakyat pada umumnya, saya dipaksa. Jika kata seorang teman saya termasuk anak muda yang beruntung karena digembleng kehidupan dengan ketat, bagi saya ini perkosaan.Melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi, itulah resiko menjadi rakyat. Menjadi hambaTuhan, karena hamba itu pelayan, budak, tak punya hak melawan atau memberontak. Alih-alih menikmati hidup, anggap saja saya orang yang menikmati perkosaan oleh kehidupan. Saya kira itu bukan kegilaan. Bukan.

Jika pun para punggawa negara itu, semisal, melupakan kembali rakyat miskin, saya kira itu juga wajar. Orang-orang yang bekerja keras, suatu saat tak akan kuat. Kemudian ketika ada kesempatan dengan kekuasaan, mereka pun menjadi para priyayi anyar (baru). Barangkali, saya juga kelak begitu. Maka, di kamar saya ada tali gantungan bertuliskan : Untuk kau jika melupakan mereka (kaum senasib).

Seperti rencana perpisahan pensiunan kepala sekolah PNS akhir Agustus nanti. Mereka, katanya masih mending memilih Pangandaran sebagai tujuan piknik. Daripada Karimun Jawa yang diusulkan pertama kali. Dengan 750 ribu iuran, dan satu hari menginap di hotel. Sekali lagi, orang seperti saya ini orang yang selalu harus menikmati perkosaan. Sekolah sedang sangat krisis, ini ada sekelompok kepala sekolah ingin piknik untuk melepas salah satu teman pensiunan. Saya pikir, mengapa tidak mengadakan semacam bakti sosial? Santunan anak yatim dan makan prasmanan bersama, misalnya. Sunatan massal, atau bazzar sembako murah yang ditutup dengan makan bersama, misalnya. Tapi, sekali lagi, saya termasuk orang yang menikmati pemaksaan. Tidak ikut serta nanti dikira sok idealis, tak merekatkan silaturahim. Jika ikut, kok rasanya tega sekali, sekolah sedang miskin tapi saya senang-senang di sana. Tidak ada alasan sekali-kali, karena kegiatan itu mengambil hak (dana) orang lain – sekolah.  

Mungkin seperti itu konsekuensi menjadi kaya. Menjadi kaum priyayi baru. Maka sering saya nasihatkan untuk diri saya sendiri : ujian terbesar bukanlah kebodohan, tapi kecerdasan. Bukan kemiskinan, tapi kekayaan. Orang miskin dermawan itu wajar – logika terbalik, karena mereka dermawan dengan alasan sesama nasib. Mereka paham menjadi miskin itu bagaimana, maka mereka menjadi dermawan. Tapi tidak wajar jika orang kaya (kok) dermawan. Mereka tidak mengalami kemiskinan seperti yang dialami orang-orang miskin saat ini, tapi mereka dermawan : itu luar biasa. Manusia berguna itu ketika hidup, ketika mati tak lebih berguna daripada ikan asin. Bagi saya, hidup ini kesempatan untuk totalitas berjuang untuk banyak orang. Harta akan ditinggalkan, jabatan akan tergantikan, segala kenikmatan akan terputus ketika mati. Maka nikmatilah perkosaan ini.

Kalau saya menjadi kaya, tak akan saya bagi-bagi harta saya. Enak saja, kerja keras saya, kok orang miskin dengan enaknya mengambil milik saya. Sayangnya (atau untungnya?), saya melarat. Sikap demikian wajar bukan, saya kaya, saya pejabat, saya presiden, kok enak-enaknya rakyat meminta sesuatu yang saya miliki. Enak saja. Dan tali gantungan pun akan menasehati saya dengan sangat santun.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)