Tak mudah rasanya untuk hidup sebagai diri sendiri. Terlebih
lagi, ketika kehidupan seakan tak mengizinkan untuk kita melakukan suatu hal
tertentu. Misalnya, cinta. Bagi orang yang tak memiliki sense tentang cinta ini, obrolan demikian terdengar konyol, goblok, cengeng. Tapi bagiku, tak ada
obrolan yang lebih mesra kecuali cinta dan kebenaran. Sayangnya, tentang cinta rasanya aku lebih
sering tersesat dan gagal, daripada pencarian dalam jalan kebenaran. Bukan berarti
aku telah menemukannya – kebenaran, melainkan tak separah ketersesatanku dalam
cinta.
Pernah aku membuat satu buku tentang cinta, tentang
romantisme rasa, satu buku ku selesaikan hanya 2-3 jam : 30 halaman. Tapi,
ternyata, buku itu hanya mendapatkan ejekan dari seseorang yang ku sukai saat
itu.
Mungkin bayangan kematian tak begitu menakutkan untuk
manusia, tapi bayangan ketidakpastian, jawaban, membuat manusia serasa mati tak
bisa hidup pun enggan. Untuk apa hidup, jika tak ada kepastian? Tapi, itu
konsekuensi kehidupan. Berusaha maksimal, tanpa tahu akhirnya.
Diawali dengan perkenalan, lalu ia pun mengatakan sendiri
agar kita saling menjaga komunikasi. Tapi, ia mungkin lupa. Dan aku paham,
wanita memiliki kecenderungan untuk lupa lebih besar daripada laki-laki. Jika sudah
lupa, maka tak perlu apa-apa. Merengek dan mengemis tak cocok dilakukan seorang
manusia. Mulai saat itu, aku tak punya waktu lagi untuk terlalu meratapi masa
lalu, kesalahan hidup, kelemahan orang lain, yang mengakibatkan terlukanya
kita. Tapi aku berpikir, bagaimana menyelesaikan itu segera. Apa rencana yang
akan kulakukan esok, lusa, atau minggu depan. Dan seperti bermain sepeda, agar
seimbang kita harus selalu bergerak mengayuhnya.
Pernah ia berjanji untuk datang di suatu acara anak jalanan.
Itupun, mungkin ia lupa. Tak ada kabar, tak ada pesan – sms. Terakhir, aku
menghubunginya barangkali ada waktu, aku ingin bertemu dengan keluargamu, boleh
kakakmu, boleh adikmu, atau saudara laki-lakimu. Agar tak ada fitnah yang
mungkin saja nantinya ia malu. Maka ia berkata, akan mengatur waktunya. Dan aku
pun kembali pada medan perjuangan – picisan – di jalanan. Tapi, yang terjadi
sebaliknya. Di satu sisi, Tuhan mewajibkan manusia untuk berusaha keras. Tapi di
sisi lain, tak ada jaminan bahwa sekalipun usaha itu maksimal, akan bertemu
dengan keberhasilan. Anak-anak muda sekarang mengatakan, kenyataan tak selalu
seperti apa yang kita inginkan. Tapi, dalam diri ini, sama sekali tak ada
keinginan. Aku berusaha karena memang Tuhan menyuruh setiap manusia berusaha. Tiap
manusia memiliki nafsu, gairah – seksual, begitupun aku. Tapi, ah, bagaimana
mengatakannya, semisal duduk berdempetan dengan seorang PSK seksi saja aku tak
bergairah, tak nafsu. Mungkin Tuhan akan membukakan itu ketika saatnya tepat. Aku tak berteman dengan wanita, kecuali aku - sekuat hati - memuliakannya.
Akhirnya, eum, aku minta maaf padamu jika engkau merasa ku
teror. Jika boleh terus terang, aku memiliki beberapa teman yang suka
meneleponku di malam hari, mereka perempuan. Apakah aku merasa terteror,
terganggu karena tugas pekerjaanku yang banyak itu? aku menganggap mereka
temanku. Akan aku temani, selama aku mampu. Jika memang mengganggu, katakan
saja. Diam terkadang menyisakan penyesalan di akhir perjalanan. Karena dalam
hati ini, telah ku hanyutkan semua kebencian, kemarahan, atau bahkan prasangka.
Ketika seseorang diam, aku juga tak berpikir apa-apa.