Maaf,

Java Tivi
0
Tak mudah rasanya untuk hidup sebagai diri sendiri. Terlebih lagi, ketika kehidupan seakan tak mengizinkan untuk kita melakukan suatu hal tertentu. Misalnya, cinta. Bagi orang yang tak memiliki sense tentang cinta ini, obrolan demikian terdengar konyol, goblok, cengeng. Tapi bagiku, tak ada obrolan yang lebih mesra kecuali cinta dan kebenaran.  Sayangnya, tentang cinta rasanya aku lebih sering tersesat dan gagal, daripada pencarian dalam jalan kebenaran. Bukan berarti aku telah menemukannya – kebenaran, melainkan tak separah ketersesatanku dalam cinta.

Pernah aku membuat satu buku tentang cinta, tentang romantisme rasa, satu buku ku selesaikan hanya 2-3 jam : 30 halaman. Tapi, ternyata, buku itu hanya mendapatkan ejekan dari seseorang yang ku sukai saat itu.
Mungkin bayangan kematian tak begitu menakutkan untuk manusia, tapi bayangan ketidakpastian, jawaban, membuat manusia serasa mati tak bisa hidup pun enggan. Untuk apa hidup, jika tak ada kepastian? Tapi, itu konsekuensi kehidupan. Berusaha maksimal, tanpa tahu akhirnya.

Diawali dengan perkenalan, lalu ia pun mengatakan sendiri agar kita saling menjaga komunikasi. Tapi, ia mungkin lupa. Dan aku paham, wanita memiliki kecenderungan untuk lupa lebih besar daripada laki-laki. Jika sudah lupa, maka tak perlu apa-apa. Merengek dan mengemis tak cocok dilakukan seorang manusia. Mulai saat itu, aku tak punya waktu lagi untuk terlalu meratapi masa lalu, kesalahan hidup, kelemahan orang lain, yang mengakibatkan terlukanya kita. Tapi aku berpikir, bagaimana menyelesaikan itu segera. Apa rencana yang akan kulakukan esok, lusa, atau minggu depan. Dan seperti bermain sepeda, agar seimbang kita harus selalu bergerak mengayuhnya.

Pernah ia berjanji untuk datang di suatu acara anak jalanan. Itupun, mungkin ia lupa. Tak ada kabar, tak ada pesan – sms. Terakhir, aku menghubunginya barangkali ada waktu, aku ingin bertemu dengan keluargamu, boleh kakakmu, boleh adikmu, atau saudara laki-lakimu. Agar tak ada fitnah yang mungkin saja nantinya ia malu. Maka ia berkata, akan mengatur waktunya. Dan aku pun kembali pada medan perjuangan – picisan – di jalanan. Tapi, yang terjadi sebaliknya. Di satu sisi, Tuhan mewajibkan manusia untuk berusaha keras. Tapi di sisi lain, tak ada jaminan bahwa sekalipun usaha itu maksimal, akan bertemu dengan keberhasilan. Anak-anak muda sekarang mengatakan, kenyataan tak selalu seperti apa yang kita inginkan. Tapi, dalam diri ini, sama sekali tak ada keinginan. Aku berusaha karena memang Tuhan menyuruh setiap manusia berusaha. Tiap manusia memiliki nafsu, gairah – seksual, begitupun aku. Tapi, ah, bagaimana mengatakannya, semisal duduk berdempetan dengan seorang PSK seksi saja aku tak bergairah, tak nafsu. Mungkin Tuhan akan membukakan itu ketika saatnya tepat. Aku tak berteman dengan wanita, kecuali aku - sekuat hati - memuliakannya.


Akhirnya, eum, aku minta maaf padamu jika engkau merasa ku teror. Jika boleh terus terang, aku memiliki beberapa teman yang suka meneleponku di malam hari, mereka perempuan. Apakah aku merasa terteror, terganggu karena tugas pekerjaanku yang banyak itu? aku menganggap mereka temanku. Akan aku temani, selama aku mampu. Jika memang mengganggu, katakan saja. Diam terkadang menyisakan penyesalan di akhir perjalanan. Karena dalam hati ini, telah ku hanyutkan semua kebencian, kemarahan, atau bahkan prasangka. Ketika seseorang diam, aku juga tak berpikir apa-apa. 
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)