Siapa istrimu, Jon?
Jon bercerita pada murid, sekaligus sahabatnya yang baru saja menikah
akhir bulan lalu....
Begini kondisiku, sebentar lagi, kakak perempuanku akan dikenalkan dengan
calon suaminya. Dengan itu, aku tak bisa lagi beralasan pada (banyak) perempuan
yang bertanya kapan aku menikah. Persoalannya bukan pada ada atau tidaknya
wanita yang ingin menjadi istriku. Melainkan, aku khawatir dengan jalan hidupku
yang unik ini, ketika seorang
perempuan hidup di sisiku. Pernah aku katakan, ada konsekuensi mengerikan untuk menjadi istriku. Jika ia
orang yang tak kuat dengan jalan hidupku yang lumayan keras ini, maka
kemungkinannya tiga : cerai, gila/stress, atau mati muda. Ini bukan tanpa
alasan, aku melakukan penelitian pada banyak pasangan keluarga : secara
diam-diam.
Tentang kebahagiaan, tentu aku berani menjamin. Tapi tentang kekayaan pribadi, materi, rasanya akan susah. Karena hidup di sini menggunakan prinsip kran air mancur, bukan menara. Jika kaya, maka semuanya juga merasakan nikmatnya. Bagaimana dengan uang? Aku kepala sekolah, kecil kemungkinan uang akan menjadi masalah keluarga. Tapi persoalannya adalah, tidak selalu uang yang aku dapatkan untukku sendiri. Bukankah dari sebagian harta kita ada hak orang lain?
Dalam mencari perempuan juga aku agak kebingungan. Pertama, apakah aku ambil dari golongan orang awam saja, agar aku naikan derajat mereka : dengan statusku dan keluargaku. Kedua, apakah dari wanita karir saja, agar bisa membantu keuangan keluarga. Uangku untuk mereka yang butuh – tentu di sana ada hak istri dan ibu, sedang uang istriku yang wanita karir itu milik dirinya sendiri. Mengingat dari dua golongan wanita itu ada beberapa yang dekat denganku.
Tapi persoalan meningkat pada keinginanku agar istri fokus membantu perjuanganku. Jika dengan alasan ini, jelas tak mungkin aku ambil ia dari golongan orang awam. Meski bisa saja aku mendidiknya, agar pemikirannya sebanding denganku : ia akan sangat gila.
Perbedaannya adalah, di sini, di kampungku, perempuan yang menyukaiku bukan karena aku – an sich. Tapi ia melihat kehormatan keluargaku, nenek moyangku, paman dan bibiku. Sebaliknya, di sana, tempat aku dulu mengembara menimba ilmu, perempuan-perempuan menyukai otakku. Susah sekali mendapatkan seseorang yang mau menikahi diriku : bukan hanya kecerdasan atau siapa aku. Ada memang seorang teman yang sedang menyelesaikan studinya di daerah timur sana. Akan aku tunggu jika ia memang memberikan jawaban pasti tentang hubungan itu. tapi persoalannya, ia keluarga keraton. Apakah ia akan menerimaku dengan ribuan kecacatan, tubuh dan pikiranku? Kemungkinannya kecil ia mau aku tempatkan di rumah reot ini, kamar tak begitu besar yang berserakan buku, mainan, dan catatan.
Tapi, kemungkinan besar akan ku ambil ia dari golongan orang awam yang tak tahu menahu tentang keluargaku. Pertimbangannya adalah anak – jika Tuhan menghendaki kami mendapatkannya. Aku ingin istriku fokus mendidiknya. Agar anak-anakku tak dibesarkan pembantu, atau guru-guru sekolah yang, sebenarnya tak pernah bertambah kecerdasannya : hanya memikirkan tunjangan dan kenaikan pangkat.
Jadi... Bagaimana pendapatmu?
Sahabat Jon diam. Dia bingung mau ngomong apa.