Unanswer (lanjutan Cerpen)

Java Tivi
0
Maafkan aku yang telah datang terlambat. Aku sangat menyesal. Tapi, aku tak akan meminta kesempatan kedua, karena yang ku inginkan adalah kebahagiaanmu bersama siapapun yang engkau cintai.

Tiga tahun tak ada kabar, Lias kembali ke kampus. Kedatangannya tentu bukan tanpa maksud. Ia tipe orang yang selalu memiliki tujuan, meski tak jarang juga tak nampak dan tak realistis. Ia seorang petualang, tak pernah merasa kebingungan bahkan pada jalan yang paling menyesatkan sekalipun.
             
   Di kampus, ia menghubungi Hani. Barangkali memang sudah begitu lama, tapi mahasiswa yang suka memanggilnya kakak (bukan mas atau bang, seperti adik tingkat lainnya) itu tak ketinggalan berita tentangnya. Ia sering mendengar kabar Lias dari kakak-kakak tingkat lain di organisasi seni yang Lias buat dulu. Bahwa disana, di kampungnya, Lias sedang ada perjuangan besar yang ia kerjakan. Ia meninggalkan Hani bukan tanpa sebab, atau untuk urusan pengejaran cinta , karena ia seorang pria yang tak akan mencintai dua wanita dalam satu waktu. Tapi, mungkin karena hidupnya yang terlalu keras dan tak masuk akal, wanita yang ia sukai – sebelum kedatangan Hani ke kampus – selalu saja menolaknya satu persatu. Ia paham, bahwa penolakan adalah konsekuensi, bahwa di dekat perjuangan ada dua sisi jurang kegagalan yang mengiringinya.

                Kabar terakhir yang Hani dengar, adalah tentang kakak laki-laki Lias – ia anak kelima dari lima bersaudara, baru saja mengikuti ajang pertarungan politik bangsa. Perjuangan yang sangat mungkin membuatnya melupakan apapun, selain perang mengerikan itu. Di akhir tahun lalu, wanita yang Lias sukai – sejak masuk kuliah – memang telah menolaknya, dan itu memberinya kesempatan untuk mendekati Hani. Dalam banyak kesempatan, Hani sering memberikan sinyal bahwa ia menyukai Lias. Bukan berarti Lias tak tahu itu, tapi ia tipe orang yang penuh pertimbangan ketika akan melibatkan seseorang ke dalam hidupnya. Terlebih lagi, jika ia mendekati Hani saat itu, ia akan menjadikannya sebagai pelarian . Lias bukan tipe pria seperti itu. lagipula, Hani pernah berkata akan menjadi tulang punggung keluarga kelak ketika lulus. Sedangkan Lias, ia memiliki perjuangan yang tak bisa ia tinggalkan kecuali jika ia mati. Tak mungkin ia membawa Hani ke dalam keluarganya itu, yang mengharuskan semua fokus ke dalam perjuangan yang sedang mereka kerjakan. Terlalu beresiko.

                Sebenarnya, Lias tak menghendaki kehidupan yang rumit. Ia tak menginginkan status tinggi apapun, yang diberikan keluarganya untuk memimpin perjuangan di desanya. Tapi, apa yang bisa ia lakukan jika orangtuanya telah memberikan kewajiban itu? semisal orangtuanya menyuruh ia untuk nyemplung di gunung berapi pun, sangat mungkin ia akan melakukannya, selama hanya ia yang melakukan / berkorban. Ujian hidup yang menempanya, membuat ia mampu merasakan kenikmatan yang sama ketika menderita ataupun bahagia.

                Akhir tahun itu, saat perempuan yang ia suka sejak mulai mengenal bangku kuliah menolaknya, Lias terus saja terusik dengan bayangan Hani. Apakah ia akan tega, membawanya ke dalam jalan hidupnya yang begitu rumit dan menyebalkan? Terlebih lagi, tahun itu tahun politik, selain tak ingin menjadikan Hani sebagai pelarian, ia memilih untuk fokus pada perjuangan kakaknya. Karena ia mengerti, tak ada yang paham bagaimana rasa pahit atau getirnya perang – atau apapun itu, selama ia belum mengalaminya.

“Jadi, kapan Hani akan sidang skripsi?” tanya Lias, mereka duduk di taman kampus.

“Bulan ini nggak sempat, kak. Mungkin bulan depan,” jawab Hani. Nada bicaranya lirih, seakan ingin banyak bertanya, mengapa Lias baru datang sekarang?

“Eumm.. Setelah lulus, mau bekerja di sini atau pulang?” tanya Lias lagi.

“Mau coba cari kerja di sini dulu, kak. Hani mau bantu orangtua di rumah,”
Lias tertawa kecil, “Mau jadi wanita karir ya?”

“Eng... Nggak tahu, kak. Yang Hani pikirkan cuma ingin meringankan beban orangtua di rumah,”

“Apa... sudah ada laki-laki yang datang dan mengikat komitmen sama Hani?” tanya Lias. Suaranya berat, nampaknya serius.

Hani terdiam.

“Aku dengar dari teman-teman – dan sebenarnya aku juga mengerti, emm... Hani siap semisal menemani perjuangan kakak di sana?”

Hani masih terdiam. Seakan tak bisa menjawab pertanyaan Lias yang semendadak kedatangannya.

“Hani paham ‘kan, yang kakak maksud?” tanya Lias lagi.

Hani tersenyum, menggeleng, “Maksud kakak...”

“Iya, aku telah memutuskan untuk menjadikan Hani teman hidup, ibu dari anak-anakku nanti,” kata Lias. Nada bicaranya tenang, seakan ia seperti seorang pemuda yang menua, telah lelah dengan kehidupan. Barangkali, kelelahan hidup itulah, yang membuat jiwa seseorang sampai pada ketenangan. Tapi, mengapa ia begitu lelah, bukankah ia masih muda? Usianya baru ¼ abad. “Apa... sudah ada yang datang sebelum aku?” lanjut Lias.

“Kakak jahat!” ucap Hani. “Kenapa.... kakak baru datang sekarang??” lanjutnya. Wajahnya nampak sendu mendengar keinginan Lias untuk menjadikannya sebagai bagian keluarganya.

“Ah, kakak terlambat ya?” kata Lias, menyimpulkan kata-kata Hani.

“Kenapa kakak baru datang sekarang?! Kakak tahu ‘kan, Hani suka sama kakak dari dulu. Tapi...” ucapannya menggantung. Perasaan bercampur-aduk di dalam pikirannya. “Tapi... saat Hani sudah belajar untuk membuka hati dengan yang lain, kakak datang begitu saja,” ucapnya lirih, masih terlihat kebingungan di pandangan matanya yang bening. “Sebulan lalu, seorang teman sudah menyatakan keseriusannya sama Hani – apa yang harus aku lakukan?”

“Ah, begitu ya,” Lias tersenyum. “Ia pasti masih muda. Akan sakit sekali kalau Hani meninggalkannya demi kakak,” seringnya kegagalan yang menghampiri Lias, membuat jiwanya susah untuk merasakan kekecewaan lagi. “Maafkan aku yang telah datang terlambat. Aku sangat menyesal. Tapi, aku tak akan meminta kesempatan kedua, karena yang ku inginkan adalah kebahagiaanmu bersama siapapun yang engkau cintai,” Lias tak mungkin bercerita tentang betapa rumit kehidupannya. Ia bukan seorang peminta-minta kemurahan orang lain agar menerimanya. Karena prinsip hidupnya, telah memutuskan harapan bahkan pada Tuhannya. Dan ia juga bukan seorang yang suka menyombongkan diri, bahwa ia lebih unggul dari laki-laki yang Hani katakan itu. Ia tak mau merendah, juga menolak untuk merasa lebih unggul dari siapapun.

“Apakah... kakak menginginkan Hani?” tanya Hani, tiba-tiba. Ia tak melihat ada ambisi atau cinta dalam diri Lias untuk memilikinya. Apakah benar Lias menginginkannya?

“Eum... Tentang keinginan...” Lias belum selesai berkata.

“Aku tanya, kakak ingin Hani nggak???” nada suaranya terdengar tegas.

Lias terkaget. Hampir saja ia berceloteh tentang keinginan atau hasrat yang sudah meresap entah kemana di kedalaman jiwanya. Kondisi jiwanya sudah sangat berbeda dengan kondisi hatinya 2-3 tahun yang lalu. Penggerak hidupnya sudah bukan atas dasar ingin atau tak ingin, melainkan semacam ‘suara ilahi’ yang terdengar melalui hatinya. Entah mengapa itu dapat ia dengar, dan datang darimana. Jika hatinya menyuruhnya untuk ke kanan, maka ke kanan-lah ia. Jika hatinya menyuruhnya ke kiri, maka ke kiri-lah ia. Meski lebih sering tak seperti yang diinginkan Lias, tapi tetap saja ia harus melakukannya.

“Hani tanya, kakak... kakak menginginkan Hani tidak???” ucap Hani sekali lagi, nada suaranya terdengar menekan.

Lias menarik nafas panjang, “Sangat... amat sangat ingin,”


Pada akhirnya, Lias paham. Bahwa ini kesalahannya yang terlalu lama datang. Lias memang pergi meninggalkannya, tapi bukan untuk urusan perempuan. Dan kelak ia yakin akan bertemu lagi. Ia memang tipe orang yang mudah dekat denga perempuan, tapi tak ada perempuan lagi yang ia pikirkan setelah mengenalnya : Hani. Ia memang menyukai wanita-wanita yang dulu menolaknya, tapi itu karena mereka datang lebih dulu sebelum kehadiran Hani dalam hidupnya. Ia seorang yang setia menunggu. Jika satu wanita belum menolaknya, maka ia akan terus menunggu. Satu kedunguan di sisi luhurnya pemikiran yang ia miliki. Bukan kesalahan Hani yang tak sabar menunggu, melainkan kesalahannya yang terlalu sibuk dengan urusan, yang sebenarnya tak ia inginkan. Sampai saat itu, ia sendiri belum menemukan jawaban, mengapa ia hidup seperti itu, dan menjalani jalan hidup yang berbeda dengan anak muda seusainya, lainnya. Tak ada yang mengerti itu. Tak ada yang mampu menjawabnya : siapa sebenarnya Sulias itu. bahkan, oleh dirinya sendiri. Ia tak mampu menjawabnya, namun selalu mencoba memahami, mengerti dirinya sendiri yang sulit dimengerti orang lain.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)