Cerpen
There is a difference
between goodbye and letting go. Goodbye is "I'll
see you again when i'm ready to hold your hand, and you're ready to hold mine.
Letting go is "I'll miss your hand. I realized it's not mine to hold, and
i will never hold it again.
Sebatang rokok Lias keluarkan dari saku jaketnya. Ia baru
saja pulang dari kontrakan teman, tengah malam itu. Pemuda ramping yang telah
sampai di akhir mahasiswa itu berjalanan menuju kontrakannya di belakang
kampus. Sengaja ia pulang, tak memilih untuk tidur di kontrakan temannya itu.
Suasana malam membuatnya merasa bebas berpikir. Tentang malam, kegelapan,
cahaya bintang, dan kesepian dalam perjuangan hidup.
Ketika langkahnya memasuki gerbang kampus, ia terhenti –
rokoknya menggantung di bibirnya. Dua orang perempuan dengan tas besar,
nampaknya mahasiswa baru terduduk nampak bingung.
“Em, adik lagi ngapain? Ini menjelang jam 12 malam, lho,”
ucap Lias menyapa. “Tenang, tenang. Nama saya Sulias, saya bukan orang jahat –
meski tampang saya memang kriminal, ini KTM (Kartu tanda mahasiswa) saya,” dia
mengambil kartu itu dari dompetnya.
“Kita bingung jalan kontrakan kita, kak,” kata salah satu
perempuan. “Kita dari Palembang, baru satu kali kesini bulan lalu. Kalau siang
mungkin aku hapal jalannya. Kami belum punya kenalan siapa-siapa di sini, kak,”
“Kontrakannya di jalan apa?” tanya Lias. Dia memang orang
yang tanpa basa-basi.
“Jalan Belimbing RT 11/RW 4, Kak,” jawab seorang perempuan
itu lagi.
“Oo, jalan belimbing toh.
Sebentar ya,” Lias mengeluarkan henponnya.
Ia menelepon seseorang.
Tutt.. tutt.. Halo?
“Oi, Mil! Kirain udah molor lu jam segini? Haha,”
Udah cepetan bilang
mau apa. Brengsek lu suka banget bangunin tidur orang. Balas suara dari
henpon Lias.
“Hihi, sori, sori, darurat nih...” candanya. “Ini ada temen
lagi bingung jalan belimbing itu lewat mana ya?”
Ya ampun. Tampang seh
kriminal, tapi otak pelupa. Jalan belimbing itu di samping kontrakan gue tuh,
ke selatan dikit, yang ada orang jualan bandrek. Dasar lu, biasa ngamen juga. Jawab
teman dari ujung telepon lagi.
“Haha, kampret lu Emil bencong. Eh, tapi makasih ya,” kata
Lias.
Iya bawel..
“Oiya,” nampak ada yang lupa dalam benak Lias. “Ada donlodan (download) bokep baru kagak? Hihi,”
Syialan! Gue memang
agak centil, tapi otak gue bersih gak kayak lu, otak cabuulll!!!
Tutt... tutt.. tutt...
Henpon dimatikan.
“Haha,” Lias tertawa sendiri. “Tadi teman saya, namanya
Emil. Dia agak kewanita-wanitaan, tapi orangnya baik. Kontrakannya di jalan
Sawo – saya baru ingat. Mari, saya antar,”
Dengan hati was-was, takut barangkali akan disekap oleh
laki-laki bertampang kriminal itu, mereka pun pasrah.
“Sini, tas-nya biar saya yang bawa,” Lias mengambil tas
mereka, bak calo terminal yang sukanya memaksa-paksa.
“Eh, nggak usah, kak. Nggak usah, berat,” kata salah satu
perempuan lagi.
“Justru, karena saya tahu tas ini berat, biar saya saja. Kontrakannya
lumayan jauh dari gerbang masuk kampus ini,”
Sepanjang perjalanan, mereka berdialog. Saling mengenalkan
diri. Dua mahasiswi baru itu bernama Nana dan Hani. Lias dengan pengetahuan
yang cukup banyak tentang dunia perkampusan pun asyik berceloteh. Tentang organisasi,
unit kegiatan ekstra, studi tour, karakter mahasiswa kota, dan banyak hal lain,
semisal tempat hunting buku murah tapi bermutu.
“Oh, disini ternyata,” ucap Lias saat mereka sampai
kontrakan. Di mulutnya masih menempel rokok mild yang dia nyalakan beberapa
saat sebelum sampai.
“Iya, kak. Makasih banyak, ya. Ini nih, ponakan saya maksa
langsung berangkat dari Palembang. Padahal sudah dibilangin nanti saja
berangkatnya besok pagi,” kata Nana, bibi – kecil – Hani.
“Hehe, santai. Em, ini kartu nama saya. Barangkali tertarik
dengan organisasi seni yang tadi saya ceritakan, datang aja ya besok sore,” ucap
Lias yang dilanjutkan berpamitan.
Sebenarnya, Lias tipe mahasiswa yang cuek pada wanita. Banyak
teman wanita yang, bukan hanya suka, tetapi bahkan enggan karena sikap perfeksionisnya pada temannya yang
perempuan. Di organisasi yang ia komandoi-pun tak jauh berbeda. Anggotanya didominasi
kaum hawa. Tapi, berbeda dengan kaum Adam perkotaan, ia selalu mengingatkan
dalam sesi diskusi forumnya bahwa, “Jalinan komunikasi kita adalah cinta
universal. Bukan cinta antara laki-laki dan perempuan. Selama cinta yang saya
sebutkan terakhir itu membayangi langkah kita, kekecewaan akan datang, dan
semangat berkarya akan hilang. Karena dengan sendirinya kita akan menganggap
kekasih kita-lah yang paling penting, daripada teman-teman kita lainnya,”
Perkembangan pemikirannya memang eksentrik – nyentrik. Pakaiannya lusuh, jaket kain kotak-kotak. Kalau
berjalan tak pernah lepas dari rokok dan buku. Seakan tak tertarik pada
perempuan, juga pada jabatan tinggi organisasi kampus yang resmi – organisasi Lias
dan teman-temannya ilegal. Ia mampu
membuat skenario film pendek dengan klimaks yang cukup kuat, hanya dalam satu atau dua jam. Selalu
memiliki rencana cadangan, ide dan inovasinya seolah tak pernah mengering. Ia pernah
membuat film dokumenter jurusan, memobilisasi mahasiswa untuk turun tangan
membantu mahasiswa yang kurang mampu, membuat mimbar bebas, wawancara dadakan
tentang hari pahlawan di kampus, atau semisal berdialog dengan penjual jamu
gendong di dalam kampus – merekam dialog itu dengan kamera digital.
Sore itu, Nana dan Hani menghubunginya lewat sms. Mereka ingin
ikut bergabung dengan organisasi yang Lias gawangi. Memiliki teman dengan kesan
pertama yang tak terlupakan memang jarang. Maka mereka berdua ingin belajar
bersama. Seperti yang dikatakan Lias malam itu, “Di organisasi saya tak ada
ketua. Karena tiap orang memimpin dirinya masing-masing. Jika ada masalah, kita
musyawarah. Tidak ada yang mengajari, tapi kita belajar bersama,”
“Kakak berapa semester lagi lulusnya?” tanya Hani. Mereka bertemu
di taman kampus.
“Em, sekarang lagi nyusun skripsi. Bab 2,hehe,” jawab Lias,
tanpa basa-basi. “Btw, kalian udah ambil formulir ekstra apa aja?”
Mereka berdua menggelengkan kepala.
“Belum? Waahh.. sayang, kalau jadi mahasiswa nggak pernah
ikut organisasi,” ucap Lias. “Saya memang bikin organisasi sendiri menjelang
kelulusan ini, tapi dulu saya aktif dibeberapa organisasi kampus dan ekstra,”
Lias bercerita tentang keaktifannya dalam organisasi keislaman kampus, yang
pada akhirnya ia keluar karena anggotanya berpikir terlalu kaku. Dia tipe orang
liberal. Dia juga pernah mengikuti
dua organisasi kemahasiswaan jurusan. Sampai pada akhirnya ia disingkirkan,
karena tak mau menganiaya adik
tingkatnya atas nama senioritas dan pendidikan.
“Emh, kalau nanti lulus, kakak langsung pulang?” tanya Hani
lagi.
“I.. Yap. Langsung pulang,” jawab Lias sembari tersenyum –
khas.
“Kalau kakak pulang, nanti kita belajar sama siapa?” tanya
Hani lagi.
Lias memandangi Nana, sang bibi, “Lho, kamu ‘kan ada bibi. Kalian
bisa belajar bersama,”
“Justru, aku yang tadi minta nanya ke Hani. Aku Cuma beda
umur satu tahun dengan ponakanku ini. Kita masih benar-benar awam di sini,”
“Ada nasehat begini : There
is a difference between goodbye and letting go. Goodbye is "I'll see you again when i'm ready to
hold your hand, and you're ready to hold mine. Letting go is "I'll miss
your hand. I realized it's not mine to hold, and i will never hold it again.” Lias
tertawa kecil. “Mudah-mudahan, setelah kita lulus, kita bisa bertemu dan
belajar bersama lagi,” ia tersenyum.
Wajah mereka berdua tertunduk. Semacam perasaan cemas tersimpan
dalam pikiran mereka. Tentang dunia yang belum begitu mereka kenal, tentang
orang-orang yang tak mungkin ‘seaneh’ seorang bernama Sulias itu. Tapi, tidak
mungkin ia tak pulang setelah kelulusan. Bahkan, sebelumnya ia pernah bercerita
bahwa ia tak akan mengikuti wisuda. Titel sarjana-nya tak boleh menempel pada
namanya, kata dia.
“Sarjana itu di otak, bukan di nama. Yang penting otak saya sudah
sarjana, tak perlu-lah nama dan upacara membosankan itu saya ikuti,” katanya
suatu saat dalam organisasinya. Dan benar, satu bulan sebelum wisuda, kontrakannya habis. Ia tak memperpanjangnya, juga tak ada kabar lagi. Datang tak jelas, dan hilang tak membekas.
Bersambung,