1

Java Tivi
0
1

Minggu sore menjelang hari raya, kakak Jon launching cafe kopi di rumahnya – pinggir jalan alternatif ke Purwokerto. Setelah kekalahannya dalam pemilu 9 April lalu, keluarga Jon tak lantas menyerah dan tak punya gairah berjuang lagi. Mereka keluarga pejuang.  Jon sendiri, ia selalu berpikir tentang dua jenis bisnis : profit dan padat karya. Bisnis profit salah satunya cafe kopi itu, dan bisnis padat karya, ia kerja sama dengan temannya di Kabupaten untuk membuat perlengkapan pembuatan jalan raya dan rel kereta. Bisnis padat karya, Jon akan investasi. Dan seminggu sekali akan ada semacam pengajian (pembinaan) karyawan bisnis itu. Membahas sektor ekonomi mikro (Produksi, distribusi/marketing, dan komsumsi/kebutuhan), juga tentang penawaran dan permintaan. Orang-orang menyebut Jon seorang sufi yang tak mau disebut sufi, karena wilayah kerjanya bukan Cuma ibadah ritual. Tetapi juga melek ilmu pengetahuan, teknologi, juga perkembangan/kemajuan masyarakat. Ia ingin mendirikan bisnis padat karya itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi memajukan perekonomian masyarakat, sekaligus mendidik mereka bagaimana seharusnya hidup. Tapi, itu dia, modalnya belum punya. (hihi)

Melihat Jon yang lagi beres-beres cafe itu, aku menghampirinya. Puasa belum selesai, jadi aku belum bisa memesan kopi sebelum maghrib datang.

“Kemarin jadi ke Tasik, Jon?” tanya saya. Kabarnya, Sabtu kemarin dia mengisi seminar pendidikan di Tasik. Gila benar, si Jon, temanku yang kerempeng dan tak punya harga diri (haha), bisa berbicara di depan umum bukan sebagai ustadz. (haha)

“Jadi, jadi, hufft,” jawabnya. Nafasnya agak tersengal. Ia sedang angkat-angkat kursi, merapikannya.

“Cuma seminar kok sampai tiga hari? Lu ketemu dulu ya sama cewek lu di sana?” canda saya.

“Cewek pala lu kotak,” jawabnya ketus.

Lah, memang saya spongebobs? Saya membatin.

“Ada janji buka puasa, sama forum yang dulu gua bikin sama teman-teman di sana,” ia duduk di samping saya. “Tadinya mau pulang hari Minggu, tapi ternyata buka puasanya hari Senin,”

“Pantas, lu nyuruh guru sekolah buat palsuin tanda tangan lu waktu mereka ambil bantuan sosial kemarin,”
Jon tertawa kecil. “Darurat. Lagipula, gua juga nggak masalah kok, tanda tangan dipalsukan. Yang penting gua tahu buat apa,”

“Btw, lu jadi merit akhir tahun ini?” tanya saya. Rencananya saya mau mengenalkan seorang teman perempuan padanya.

“Tahu lah. Gua lagi nggak mikirin itu dulu,” jawabnya. Tangannya mengelus-elus kepalanya yang Mowhakian.

“Wah, padahal mau gua kenalin sama teman ngaji,” kata saya lagi.

“Hadeuh, elu tuh. Sengaja gua nggak main ke guru ngaji, soalnya mau disuruh milih mana santriwati yang gua pengin. Nggak tertarik gua brew,”

Awal ramadan lalu, ia cerita tentang keterlambatannya datang pada seseorang yang ia sukai. Aneh benar, mungkin nasib Jon yang benar-benar sial. Ada orang yang dengan begitu mudah menjalin hubungan, lalu sampai pada pernikahan. Lha, teman kecilku itu, si Jon, kok rasanya rumit sekali perjalanan menemukan calon pengantinnya. Dulu, ia pernah hampir menikah, sudah ada komitmen, sudah diberi cincin oleh ibunya : cincin yang dulu ayahnya kasih ke ibuny. Tapi, karena memang hidupnya yang rumit, dan konyol, ia memilih untuk melepasnya.

Saya jadi ingat cerita kakaknya beberapa waktu lalu, saat Jon ditanya ibunya tentang perempuan yang dulu pernah ia ceritakan.

“Kamu jadi sama orang Purbalingga itu?” tanya ibunya tengah ramadan lalu. April sebelum pemilu, saat musyawarah keluarga, Jon menceritakan itu di tengah-tengah keluarganya. Tapi karena saat itu ‘zaman perang’ – menjelang pemilu, Jon memilih untuk tak memikirkan itu dulu. Baginya, kepentingan orang lain yang harus didahulukan. Prinsip hidup orang-orang bodoh. (haha)

“Enggak tahu, Ma. Kemarin aku datang, tapi ternyata dia sudah komitmen sama yang lain,” jawab Jon, pasrah.

“Keluarga mereka sudah bertemu?” tanya seorang kakak Jon.

“Sepertinya belum,” jawab Jon lagi.

“Komitmen itu bisa dibatalkan. Itu wajar. Rasulullah saja melepas komitmen beberapa wanita, padahal wanita itu juga yang meminta ingin jadi istri rasulullah,” nasehat kakaknya.

“Iya, aku tahu itu,” kata Jon.

“Kamu kasih tahu dia nggak tentang itu?”

“Kalau dia sudah nggak ada perasaan, mau bagaimana lagi, mbak? Sekarang kita fokus saja dulu ke pernikahan kakak terakhir. Lagipula, sekolah sudah lima kelas, tapi kita belum punya gedung sendiri. Aku mau fokus ke sana dulu,”

Di satu sisi, Jon sangat menginginkan perempuan itu. tapi di sisi lain, Jon seakan selalu skakmat (check mate), dalam hal wanita. Pernah suatu saat kakak-kakak perempuannya menggoda waktu dia memasak omlet di dapur.

“Wahh... Pria idaman nih. Bisa memasak, bisa jaga anak, bisa ...” kalimatnya belum selesai.

“Kerja, membecak, menggembala sapi, melakukan pekerjaan laki-laki atau perempuan,” Jon melanjutkan, setengah sebal.

Kakak-kakaknya tertawa. “Laki-laki idaman ya Jon,”

“Laki-laki idaman itu yang penting kaya, mapan, banyak duit. Pinter masak atau pinter kerja, tapi kere, siapa yang mau?” Jon tertawa sendiri.

Sore itu, banyak cerita yang Jon bawa dari tempat kuliahnya dulu. Tentang kenangan, persahabatan, petualangan intelektual dan cinta, juga tentang kopi. Tentang petualangan intelektual, kabarnya ada beberapa mahasiswa baru yang tertarik dengan grup diskusi mereka. Seperti di sini, malam puasa pertama lalu, Jon membuat grup diskusi di samping SMA 1. Sekolah yang menjadi raja saat Jon SMA dulu. Sedangkan SMA-nya Jon adalah begundal yang sering membahayakan sekolah lain. Tapi kini, justru alumni SMA 1 yang mengajaknya untuk banyak bicara tentang ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan hidup, meski Jon tahu dalam hal itu ia sangat awam. Barangkali, dibuatnya cafe kopi ini juga untuk itu : pencerdasan masyarakat lewat ngopi. Di daftar menu kopi, roti bakar, bubur ayam dan kacang hijau tertulis slogan cafe-nya : Coffee, Love, and Adventure.

Minggu, 27 Juli 2014



Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)