Kita menolak menerima
kelemahan diri. Menginginkan petik bintang, tapi ketika itu – bintang jatuh –
mendekat, kita ketakutan. Jika kau menginginkan mutiara dengan harga murah, kau
harus menyelam. Tapi kau harus tahu, mutiara terbentuk di dalam lautan, tapi
bukan di sana tempatnya. Pahamilah dengan baik, mana petunjuk dan mana ‘kebenaran’.
Malam takbiran aku datang ke cafe kakaknya si Jon. Kebetulan,
sedang ada promosi dan potongan harga. Kami memesan dua kopi untuk teman
mengobrol.
“Lagi ngapain, Jon?” tanyaku melihatnya asyik menatapi
laptopnya.
“Lagi Kepo nih –
hehe. Lihat tulisan perempuan yang ku suka,” ekspresinya datar. Pengalaman hidupnya
mungkin membuatnya sadar, mana tindakan yang harus membuatnya malu dan mana
tindakan yang tak harus membuatnya malu. Mana mungkin, jatuh cinta itu membuat
seseorang malu?
“Tapi, bukannya udah ada yang punya dia? Hihi,” candaku. Temanku
ini, syaraf-syaraf kemarahannya sudah rusak. Tak mungkin ia marah, apalagi pada
temannya. Ia pernah berkata, ia tak bisa disakiti lagi, kecuali dengan
menyakiti orang-orang yang ia sayangi.
“Sisi gelap gua, Fa,” Jon tertawa kecil. “Tiap orang
sebaiknya menerima sisi gelap diri masing-masing. Gua ‘kan – kulitnya – memang gelap
(hitam), jadi biar metcing – hehe,”
“Setuju. Tiap orang punya sisi lemah masing-masing,” aku
mengiyakan. “Jadi ingat kata-kata seorang sufi : Istighfar itu bukan meminta
ampun pada Tuhan, tapi pada diri sendiri. Tahap pertama, istighfar adalah
memahami bahwa diri ini memiliki sisi gelap. Kedua, menerima. Ketiga, memaafkan
dan mengampuni diri sendiri. Terakhir, memperbaiki terus menerus sisi lemah
itu,” aku berceloteh panjang.
Si Jon menatapi-ku. Seakan pernah mengatakan itu pada satu
momen diskusi.
“Siapa sufi itu?” tanya Jon penasaran.
“Syeikhuna Jon Quixote – hahaha,” aku tertawa puas.
“Ahhh... kampret,” ia meminum kopinya. “Kebanyakan kita ini
munafik. Kita menginginkan segala sesuatu, tapi menolak ‘harganya’,”
“Menolak ‘harganya’? maksudnya?” aku gagal paham.
“Semisal, kita menginginkan sebuah batu mulia, zamrud
misalnya. Maka ‘harga’ untuk itu adalah kita harus mendaki tebing yang tinggi,
atau menyusuri goa-goa terdalam bumi. Kita ingin memetik bintang yang terlihat
indah, tapi kita menolak tahu bahwa bintang adalah matahari yang panasnya luar
biasa,” Jon berceloteh lagi.
“Sisi gelap itu adalah petunjuk bahwa tak ada yang gratis
dalam hidup ini?”
“Lha iya, kamu minum kopi ini juga ‘kan harus bayar,” kata
Jon. “Kita seringkali susah membedakan mana petunjuk dan mana ‘kebenaran’. Betul,
bahwa kebenaran tak akan pernah tergenggam manusia, paling tidak manusia biasa.
Tapi tak mungkin juga, sama sekali kita tak mampu tersinari – cahaya kebenaran –
itu,”
“Semisal, lampu lalu lintas di depan itu hanya petunjuk,
sedangkan kebenarannya adalah bahwa hijau itu jalan dan merah itu berhenti,
begitu?” tanyaku.
“Betul,” Jon membenarkan. “Menurutmu, kitab suci agama itu
petunjuk kebenaran atau kebenaran itu sendiri?”
“Kebenaran lah. Itu kan kata-kata (firman) Tuhan,” aku
sangat yakin dengan jawaban itu.
“Kitab suci adalah petunjuk kebenaran, sedangkan
kebenarannya ada di balik itu,” sanggah Jon.
“Terusin, aku belum begitu paham,” kataku.
“Semisal ayat tentang perang – qutiba alaykumul qital, boleh jadi kita menyenangi sesuatu tapi
sebenarnya itu tak baik/buruk untuk kita, sedang yang kita benci bisa jadi itu
yang akan menyelamatkan. Ini petunjuk. Betul, aku tak bisa menganggap bahwa aku
tahu kebenaran dari ayat itu, tapi aku paham satu kebijaksanaan dalam kalimat
itu. Mengapa kehidupan terkadang memberikan jalan pada apa yang sebenarnya tak
kita sukai, karena memang di sana ada kekuatan. Di sana ada rasa syukur,”
“Semisal tentang pekerjaan. Kita tak diterima bekerja di
suatu tempat, karena memang kita akan susah mensyukuri/menikmati itu jika kita
mendapatkannya, lalu dengan terus berusaha kita akan sampai pada pekerjaan yang
membuat kita mudah mensyukuri/menikmati itu, begitu?” tanyaku lagi. “Jika
begitu, kebenarannya adalah pada rasa syukur,”
“Itu kebijaksanaannya,” kata Jon. “Ikhlas, lahir dari
persenyawaan antara sabar dan syukur. Awalnya, manusia harus sabar terhadap
ujian, lalu syukur ketika ujian itu tergantikan anugerah. Kemudian, yang
terakhir saat hampir sampai pada keikhlasan, manusia harus membaliknya, sabar
terhadap anugerah (menghilangkan pemahaman, bahwa kita pantas diberikan ini dan
itu), dan syukur terhadap ujian yang datang (menghilangkan pemahaman, bahwa
kita paham hidup ini). Karena, manusia diberikan kebaikan bukan karena ia baik,
tapi murni karena ‘keinginan’ Tuhan,”
“Maksudmu, ayat tentang perang/berjuang tadi adalah untuk
tingkatan iman sabar atau syukur, begitu?”
“Aku tak bisa memastikan,” jawab Jon. “Yang aku pahami,
selain pemahaman hidup manusia itu bertingkat, juga pamahaman bahwa adakah
sesuatu yang teranggap buruk oleh orang-orang yang mencapai tingkat keikhlasan?”
Semakin susah saja dipahami temanku yang satu ini.
“Jadi, kamu sudah mengikhlaskan perempuan yang kau suka itu?”
tiba-tiba aku mengalihkan tema bicara. Daripada pusing mendengar pemahamannya
yang begitu dalam?
Jon tertawa.
“Engga tahu – hehe,”