Catatan penutup ramadan

Java Tivi
0
Stay on your happiness...

Kau tahu, apa yang ku rasakan di ramadan kali ini? aku ingin kau tahu, meski sangat mungkin tulisan ini, atau bahkan aku tak begitu penting untukmu.

Ramadan kali ini rasanya hambar, tak ada ‘pencerahan’, juga seperti biasa, berjalan begitu saja – yang aku rasakan – tanpa ada perubahan. Aku bicara dengan seorang teman, mungkin ia telah mendapat ‘malam keberkahan’ : laylatul qadr. Mengapa mungkin? Akan ku ceritakan.

Ia berkata, ramadan baginya adalah bulan ‘pembagian rapot’. Puasa di bulan ramadan, baginya hanya latihan menahan lapar dan haus saja. Sedang melatih pikiran dan hati, ia lakukan tiap hari, tiap saat, tak perlu menunggu datangnya ramadan. Ia bercerita pada kepala sekolah yang baru saja menerima untuk menjadi guru di sekolahnya :

“Anda tahu, mengapa saya meminta anda datang ke rumah saya – untuk wawancara, bukan ke sekolah?”
Apa jawabnya? Kau mau menebak?

“Maafkan saya, pak. Saya sudah lama belajar untuk tidak berprasangka pada siapapun – bahkan pada Tuhan,” jawabnya.

Sang kepala sekolah mengaguminya, menerimanya, bahkan meski baru bertemu, ia menawarkannya untuk menjadi asisten sewaktu-waktu mengisi seminar di universitas : beliau seorang dosen yang merangkap kepala sekolah.

Temanku itu bercerita, malam al qadr itu khusus dirasakan oleh masing-masing hamba. Memang benar ada tanda-tanda alamnya, tanda-tanda umum, ketika itu datang. Tapi seperti yang ia katakan, pembagian hasil rapot kehidupan diterima masing-masing dan berbeda.

“Qadr itu kapasitas, takaran, ukuran,” katanya. “Kau pernah memikirkan, mengapa qur’an turun pada Muhammad ibn Abdullah di malam itu : qadr?”

Ah! Seakan tiba-tiba ada cahaya yang menyinariku – menyilaukan.

“Qur’an itu rapotnya Muhammad rasulullah. Itulah ‘kapasitas’ beliau, dari apa yang ia lakukan dalam hidup ini. Semua malaikat dan ruh – manusia suci – bertemu untuk saling memberi dan menerima rapot itu. Di sana ada transaksi, ada penyatuan. Dan hati-hati yang mengalaminya, hanyalah hati manusia yang mulia – itu mengapa disebut malam kemuliaan,” laylatul qadr khoirum min alfisysyahr.

“Orang-orang yang mendapatkannya, rapot itu – pasti rapot kebaikan, ia bagai hidup dengan kawalan, pengawal yang akan menjaga dan menuntunnya,” Hiyya hatta mathla’il fajr. “Mereka yang mampu menjaga rapot itu di dalam hatinya sampai terbit fajar, akan memiliki hati-hati ‘manusia surga’ : tak ada kebencian, dendam, rasa takut, kesedihan, dan hidup,”

Ia melanjutkan.

“Kau tahu, salah satu pesan peristiwa ketika Adam mendekati ‘Pohon Terlarang’?”

Aku menggeleng. Tak tahu.


“Seakan Tuhan berkata : Tetaplah dalam kebahagiaanmu di sana – surga. Jangan dekati kesenangan (pohon) itu,” ia menjawab sendiri. “Titik pentingnya bukan pada kesenangan hidup yang berbatas waktu. Tapi pada keinginan keluar dari ‘kebahagiaan diri’ menuju kesenangan di luar diri. Keinginan akan mengarah pada kesenangan, itu sangat mungkin tercapai. Tapi konsekuensi ketika manusia sampai pada kesenangan adalah, ia akan jatuh pada kesedihan/kehilangan setelah itu terlewati. Hilangnya kesenangan itu, mungkin yang disebut dalam kitab sebagai azab yang pedih. Keinginan yang terus mengalir menuju kesenangan luar diri, keluar dari ‘surga’ (kebahagiaan diri), lalu jatuh pada kesedihan, rasa kehilangan, terus menerus begitu sampai kita mati, tanpa menyadari sebelumnya,”

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)