Stay on your happiness...
Kau tahu, apa yang ku rasakan di ramadan kali ini? aku ingin
kau tahu, meski sangat mungkin tulisan ini, atau bahkan aku tak begitu penting
untukmu.
Ramadan kali ini rasanya hambar,
tak ada ‘pencerahan’, juga seperti biasa, berjalan begitu saja – yang aku
rasakan – tanpa ada perubahan. Aku bicara dengan seorang teman, mungkin ia
telah mendapat ‘malam keberkahan’ : laylatul qadr. Mengapa mungkin? Akan ku
ceritakan.
Ia berkata, ramadan baginya adalah bulan ‘pembagian rapot’.
Puasa di bulan ramadan, baginya hanya latihan menahan lapar dan haus saja.
Sedang melatih pikiran dan hati, ia lakukan tiap hari, tiap saat, tak perlu
menunggu datangnya ramadan. Ia bercerita pada kepala sekolah yang baru saja
menerima untuk menjadi guru di sekolahnya :
“Anda tahu, mengapa saya meminta anda datang ke rumah saya –
untuk wawancara, bukan ke sekolah?”
Apa jawabnya? Kau mau menebak?
“Maafkan saya, pak. Saya sudah lama belajar untuk tidak
berprasangka pada siapapun – bahkan pada Tuhan,” jawabnya.
Sang kepala sekolah mengaguminya, menerimanya, bahkan meski
baru bertemu, ia menawarkannya untuk menjadi asisten sewaktu-waktu mengisi
seminar di universitas : beliau seorang dosen yang merangkap kepala sekolah.
Temanku itu bercerita, malam al qadr itu khusus dirasakan
oleh masing-masing hamba. Memang benar ada tanda-tanda alamnya, tanda-tanda
umum, ketika itu datang. Tapi seperti yang ia katakan, pembagian hasil rapot kehidupan diterima masing-masing
dan berbeda.
“Qadr itu kapasitas, takaran, ukuran,” katanya. “Kau pernah
memikirkan, mengapa qur’an turun pada Muhammad ibn Abdullah di malam itu :
qadr?”
Ah! Seakan
tiba-tiba ada cahaya yang menyinariku – menyilaukan.
“Qur’an itu rapotnya Muhammad
rasulullah. Itulah ‘kapasitas’ beliau, dari apa yang ia lakukan dalam hidup
ini. Semua malaikat dan ruh – manusia suci – bertemu untuk saling memberi dan
menerima rapot itu. Di sana ada transaksi, ada penyatuan. Dan hati-hati yang mengalaminya, hanyalah hati manusia
yang mulia – itu mengapa disebut malam kemuliaan,” laylatul qadr khoirum min alfisysyahr.
“Orang-orang yang mendapatkannya, rapot itu – pasti rapot kebaikan, ia bagai hidup dengan kawalan,
pengawal yang akan menjaga dan menuntunnya,” Hiyya hatta mathla’il fajr. “Mereka yang mampu menjaga rapot itu di dalam hatinya sampai terbit
fajar, akan memiliki hati-hati ‘manusia surga’ : tak ada kebencian, dendam,
rasa takut, kesedihan, dan hidup,”
Ia melanjutkan.
“Kau tahu, salah satu pesan peristiwa ketika Adam mendekati
‘Pohon Terlarang’?”
Aku menggeleng. Tak tahu.
“Seakan Tuhan berkata : Tetaplah dalam kebahagiaanmu di sana
– surga. Jangan dekati kesenangan (pohon) itu,” ia menjawab sendiri. “Titik
pentingnya bukan pada kesenangan hidup yang berbatas waktu. Tapi pada keinginan
keluar dari ‘kebahagiaan diri’ menuju kesenangan di luar diri. Keinginan akan
mengarah pada kesenangan, itu sangat mungkin tercapai. Tapi konsekuensi ketika
manusia sampai pada kesenangan adalah, ia akan jatuh pada kesedihan/kehilangan
setelah itu terlewati. Hilangnya kesenangan itu, mungkin yang disebut dalam
kitab sebagai azab yang pedih. Keinginan
yang terus mengalir menuju kesenangan luar diri, keluar dari ‘surga’
(kebahagiaan diri), lalu jatuh pada kesedihan, rasa kehilangan, terus menerus
begitu sampai kita mati, tanpa menyadari sebelumnya,”